Putusan MK 143 Berpotensi Timbulkan Kekacauan dan Bernuansa Politik Elektoral

Sabtu, 30 Desember 2023 - 04:00 WIB
loading...
Putusan MK 143 Berpotensi Timbulkan Kekacauan dan Bernuansa Politik Elektoral
Putusan MK mengabulkan permohonan tujuh kepala daerah yang menggugat Pasal 201 ayat (5) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berpotensi menimbulkan kekacauan. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan tujuh kepala daerah yang menggugat Pasal 201 ayat (5) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada berpotensi menimbulkan kekacauan. Putusan itu dinilai bernuasan politik elektoral.

Pandangan ini disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) sekaligus Koordinator Pergerakan Advokat (Perekat) Nusantara Petrus Selestinus menanggapi putusan MK atas perkara No nomor 143/PUU-XXI/2023 tertanggal 21 Desember 2023. Dalam putusannya, MK membatalkan ketentuan di UU Pilkada yang menyebut 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.

Dengan putusan MK itu, maka 48 kepala daerah hasil Pilkada 2018 tapi dilantik 2019 dapat menjabat hingga 5 tahun atau maksimal sampai sebulan menjelang hari-H pemungutan suara Pilkada 2024.



"Putusan MK Nomor 143/PUU-XXI/2023 tanggal 21 Desember 2023 berpotensi melahirkan kekacauan dan bernuasan politik electoral Pilpres 2024," kata Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis, Jumat (28/12/2023).

Petrus heran dengan putusan MK tersebut. Sebab, sebelumnya telah ada enam gugatan dengan substansi sama tapi semuanya ditolak. Dari catatan itu, enam gugatan itu adalah:

1. Perkara No 55/PUU-XXI/2019, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (9), dengan batu uji Pasal 1 ayat (2), Pasal 4 ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 18 ayat (3) dan ayat (4) UUD 45.

2. Perkara No 67/PUU-XXI/2021, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8), dengan batu uji Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 45.

3. Perkara No 81/PUU-XXI/2022, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (7), batu uji Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 45.

4. Perkara No 37/PUU-XXI/2022, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (9), Penjelasan Pasal 201 ayat (9), Pasal 201 ayat (10) dan Pasal 201 ayat (11). Batu Uji Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 45.

5. Perkara No 95/PUU-XXI/2022, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8), Batu Uji Pasal 22E ayat (1) UUD 45.

6. Perkara No 62/PUU-XXI/2023, Objek Pengajuan Ketentuan Pasal 201 ayat (5), batu uji Pasal 18 Ayat (4), Ayat (5), Ayat (7) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.

"Semuanya memiliki substansi yang sama, yaitu periodisasi masa jabatan yang terkurangi akibat berlakunya Ketentuan Pilkada Serentak pada tahun 2024," ujar Petrus.

Namun, kata Petrus, belum ada satu pun yang menguji Ketentuan Pasal 201 Ayat (5), sebagaimana dimohonkan dalam Perkara Uji Materiil Nomor 62/PUU-XXI/2023. Perkara ini dimohonkan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Elly Engelbert Lasut (Bupati) dan Moktar Arunde Parapaga (Wakil Bupati), Kabupaten Kepulauan Talaud.

"Hasilnya ternyata sama, yaitu MK menolak Permohonan Uji Materiil No 62/PUU-XXI/2023 yang dimohon Yusril Ihza dkk," ujar Petrus.

Menurut Petrus, putusan MK nomor 143/PUU-XXI/2023 menimbulkan ketidakpastian hukum dan kekacauan berupa bongkar pasang kebijakan pembentukan UU dan bermotif politik elektoral 2024. Sebab, satu putusan perkara itu menabrak 6 putusan lain yang amarnya sama.

Karena itu, Petrus meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tidak mengeksekusi putusan MK tersebut agar tidak menimbulkan kekacauan dalam pemerintahan. Sebab pejabat pelaksana tugas yang sudah dilantik telah kehilangan jabatan strategis lainnya sebelum jadi Plt Gubernur, Bupati, dan Wali kota.

"Ini beraroma politik elektoral Pilpres 2024," katanya.

Sementara Anggota Perakat Nusantara Carrel Ticualu menilai putusan MK Nomor 143 berpotensi jadi alat kepentingan politik untuk meraup suara di Pilpres 2024. Kepentingan politik yang dimaksud adalah banyaknya kepala daerah yang 'diharapkan' bisa dikondisikan untuk Pemilu 2024.

"Pjs Kepala Daerah dianggap tak bisa memenuhi kepentingan politik itu, jadi diperpanjanglah jabatan kepala daerah pilihan rakyat karena mereka memiliki basis massa yang bisa digerakkan untuk kepentingan elektoral Pilpres," kata Carrel di Jakarta, Jumat (29/12/2024).

Carrel mencontohkan, ada kontestan Pilpres yang beririsan dengan keluarga penguasa saat ini. Sementara didukung banyaknya partai pendukung yang memiliki banyak kepala daerah yang diusung. "Itu kepentingan politiknya," kata Carrel.

Dia mencontohkan banyak kepala daerah yang terafiliasi dengan koalisi salah satu capres. "Jadi, kepala daerah yang memiliki basis massa hasil Pilkada ini dianggap bisa digerakkan untuk elektoral. Apalagi banyak kepala daerah yang berafiliasi dengan partai pendukung calon," ungkapnya.

Carrel mengingatkan, kepada semua pihak untuk hati-hati dalam menyikapi putusan ini. Agar tak tercatat dalam sejarah sebagai bagian dari kelompok yang memicu ketidakpastian politik dan hukum.

Untuk diketahui, tujuh kepala daerah menggugat Pasal 201 Ayat (5) UU Pilkada yang mengatur 'Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023'.

Mereka adalah Gubernur Maluku Murad Ismail, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Wali Kota Gorontalo Marten A Taha, Wali Kota Padang Hendri Septa, dan Wali Kota Tarakan Khairul.

Atas putusan MK yang mengabulkan sebagian gugatan, maka ada 48 kepala daerah yang mendapat manfaat bisa menyelesaikan masa jabatan hingga 5 tahun atau maksimal sebulan sebelum pencoblosan Pilkada 2024. Rinciannya 4 gubernur, 8 wali kota/wakil wali kota, dan 36 bupati/wakil bupati.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1881 seconds (0.1#10.140)