Peneliti BRIN Sebut Bansos Kebijakan Negara yang Tak Boleh Dijadikan Instrumen Raup Suara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bantuan sosial (bansos) yang digelontorkan oleh pemerintah di tengah tahap Pemilu 2024 rawan dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan elektoral. Salah satunya melakukan kampanye untuk memilih calon tertentu agar bansos tetap berlanjut.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli menilai kampanye seperti itu tidak etis. Alih-alih bagaimana agar rakyat makmur dan sejahtera, sehingga tidak mengandalkan bansos , kampanye tersebut justru terkesan ingin melestarikannya.
"Ini bisa dikatakan mereka ingin agar rakyat tetap miskin, sehingga akan tergantung terus pada bansos. Ini bentuk politik populis yang salah kaprah," kata Lili Romli di Jakarta, kamis (14/12/2023).
Menurutnya, kampanye politik seharusnya berfokus pada upaya menyejahterakan rakyat seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan, sehingga rakyat bisa keluar dari jerat kemiskinan. "Bukan terus menerus melestarikan bansos," katanya.
Prof Lili melihat program bansos melenceng dari tujuan awal. Saat ini bansos bersifat politis sebagai instrumen klintelisme untuk meraih suara pemenangan pemilu dan pilpres. Padahal pendanaan bansos bersumber dari uang rakyat.
"Anggaran negara, yang berasal dari pajak bahkan dapat dari utang luar negeri, disalahgunanakan, dimanipulasi, dan dimanfaatkan untuk pemenangan pemilu. Ini sangat disayangkan," ujarnya.
Lili menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat bansos secara jernih di tengah masa pemilu. Bansos bukan berasal sosok atau sosok, melainkan negara.
"Moga rakyat sadar dan mengetahui bahwa bansos bukan kemurah-hatian penguasa, karena yang digunakan bukan uang pribadi tapi uang negara, yang hakekatnya adalah uang rakyat," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan sejak lama bansos dipakai untuk meraih kepercayaan publik. Selain untuk melanggengkan kekuasaan, bansos juga memberi harapan kepada masyarakat miskin jika disalurkan dengan tepat.
Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli menilai kampanye seperti itu tidak etis. Alih-alih bagaimana agar rakyat makmur dan sejahtera, sehingga tidak mengandalkan bansos , kampanye tersebut justru terkesan ingin melestarikannya.
"Ini bisa dikatakan mereka ingin agar rakyat tetap miskin, sehingga akan tergantung terus pada bansos. Ini bentuk politik populis yang salah kaprah," kata Lili Romli di Jakarta, kamis (14/12/2023).
Menurutnya, kampanye politik seharusnya berfokus pada upaya menyejahterakan rakyat seperti penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan, sehingga rakyat bisa keluar dari jerat kemiskinan. "Bukan terus menerus melestarikan bansos," katanya.
Baca Juga
Prof Lili melihat program bansos melenceng dari tujuan awal. Saat ini bansos bersifat politis sebagai instrumen klintelisme untuk meraih suara pemenangan pemilu dan pilpres. Padahal pendanaan bansos bersumber dari uang rakyat.
"Anggaran negara, yang berasal dari pajak bahkan dapat dari utang luar negeri, disalahgunanakan, dimanipulasi, dan dimanfaatkan untuk pemenangan pemilu. Ini sangat disayangkan," ujarnya.
Lili menekankan pentingnya kesadaran publik untuk melihat bansos secara jernih di tengah masa pemilu. Bansos bukan berasal sosok atau sosok, melainkan negara.
"Moga rakyat sadar dan mengetahui bahwa bansos bukan kemurah-hatian penguasa, karena yang digunakan bukan uang pribadi tapi uang negara, yang hakekatnya adalah uang rakyat," ujarnya.
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mengatakan sejak lama bansos dipakai untuk meraih kepercayaan publik. Selain untuk melanggengkan kekuasaan, bansos juga memberi harapan kepada masyarakat miskin jika disalurkan dengan tepat.