Jelang Pemilu 2024, Pakar Tekankan soal Netralitas Aparat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Netralitas aparat kembali disorot menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 . Pandangan ini disampaikan oleh Ketua Umum Netfid Indonesia, Muhammad Afit Khomsani.
Pasalnya, ia melihat potensi ketidaknetralan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, di Pemilu yang masih mungkin terjadi.
"Sangat sulit menjelaskan ketika ada bagian dari kekuasaan tertinggi di suatu negara ikut berkompetisi," kata pria yang akrab disapa Afit ini, Rabu (13/12/2023).
"Meskipun secara legalitas secara konstitusi tidak ada larangan, tetapi potensi adanya conflict of interest dan abuse of power itu sangat ada," tambahnya.
Meskipun sudah banyak lembaga negara kata dia, kementerian yang melakukan deklarasi yang menunjukkan komitmen mereka menjaga netralitas, namun Afit berharap, semua itu jangan cuma seremonial belaka.
"Kita sebagai masyarakat, insan media dan kelompok lainnya yang mengawasi bersama, apakah netralitas ASN, TNI, Polri itu benar-benar ada atau sekadar seremonial belaka. Penyelenggara Pemilu, parpol dan instansi terkait juga," jelas Afit.
Afit menekankan, segala laporan, temuan dan dugaan pelanggaran harus diproses aparat penegak hukum dengan tepat.
"Aparat penegak hukum harus juga berlaku imparsial, dan patuh pada peraturan yang berlaku dan bisa menegakkan hukum," tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman menegaskan, perlunya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunjukkan komitmennya dalam menegakkan netralitas di Pemilu 2024.
Hal itu penting, agar aparat di bawah tidak terbawa arus euforia karena kandidasi Anak Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden Prabowo Subianto.
"Meskipun sulit (menepis ketidaknetralan), namun penting bagi Jokowi untuk memberikan statemen. Hal ini untuk menjaga iklim pemilu agar tetap berjalan demokratis," ujarnya.
Airlangga menyampaikan, kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sudah mengalami pelemahan, jangan sampai semakin terpuruk karena jalannya pemilu yang diwarnai oleh ketidaknetralan perangkat negara.
Menurutnya, Jokowi perlu bersikap sebagai negarawan untuk mengakhiri krisis demokrasi saat ini. "Jangan sampai persoalan etika, yang kedudukannya lebih mulia dari hukum, justru diabaikan," tuturnya.
"Persoalan di MK (Mahkamah Konstitusi) jelas menggambarkan bagaimana para elite justru mengabaikannya, padahal hal itu jelas-jelang bukti pemanfaatan hukum untuk kepentingan kekuasaan," tutupnya.
Pasalnya, ia melihat potensi ketidaknetralan oleh Aparat Sipil Negara (ASN), TNI-Polri, di Pemilu yang masih mungkin terjadi.
"Sangat sulit menjelaskan ketika ada bagian dari kekuasaan tertinggi di suatu negara ikut berkompetisi," kata pria yang akrab disapa Afit ini, Rabu (13/12/2023).
"Meskipun secara legalitas secara konstitusi tidak ada larangan, tetapi potensi adanya conflict of interest dan abuse of power itu sangat ada," tambahnya.
Meskipun sudah banyak lembaga negara kata dia, kementerian yang melakukan deklarasi yang menunjukkan komitmen mereka menjaga netralitas, namun Afit berharap, semua itu jangan cuma seremonial belaka.
"Kita sebagai masyarakat, insan media dan kelompok lainnya yang mengawasi bersama, apakah netralitas ASN, TNI, Polri itu benar-benar ada atau sekadar seremonial belaka. Penyelenggara Pemilu, parpol dan instansi terkait juga," jelas Afit.
Afit menekankan, segala laporan, temuan dan dugaan pelanggaran harus diproses aparat penegak hukum dengan tepat.
"Aparat penegak hukum harus juga berlaku imparsial, dan patuh pada peraturan yang berlaku dan bisa menegakkan hukum," tegasnya.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman menegaskan, perlunya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menunjukkan komitmennya dalam menegakkan netralitas di Pemilu 2024.
Hal itu penting, agar aparat di bawah tidak terbawa arus euforia karena kandidasi Anak Presiden Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil Presiden Prabowo Subianto.
"Meskipun sulit (menepis ketidaknetralan), namun penting bagi Jokowi untuk memberikan statemen. Hal ini untuk menjaga iklim pemilu agar tetap berjalan demokratis," ujarnya.
Airlangga menyampaikan, kondisi demokrasi di Indonesia saat ini sudah mengalami pelemahan, jangan sampai semakin terpuruk karena jalannya pemilu yang diwarnai oleh ketidaknetralan perangkat negara.
Menurutnya, Jokowi perlu bersikap sebagai negarawan untuk mengakhiri krisis demokrasi saat ini. "Jangan sampai persoalan etika, yang kedudukannya lebih mulia dari hukum, justru diabaikan," tuturnya.
"Persoalan di MK (Mahkamah Konstitusi) jelas menggambarkan bagaimana para elite justru mengabaikannya, padahal hal itu jelas-jelang bukti pemanfaatan hukum untuk kepentingan kekuasaan," tutupnya.
(maf)