Trump, Yerusalem dan Analisis Tiga Tingkatan

Jum'at, 12 Januari 2018 - 08:31 WIB
Trump, Yerusalem dan Analisis Tiga Tingkatan
Trump, Yerusalem dan Analisis Tiga Tingkatan
A A A
Khasan Ashari
Alumnus Australian National University, penyusun Kamus Hubungan Internasional

DONALD Trump adalah pribadi yang unik. Karena itu banyak yang maklum jika Presiden Amerika Serikat (AS) ini beberapa kali mengeluarkan pernyataan kontroversial. Namun pernyataannya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel sungguh mengejutkan. Dalam pidato awal Desember tahun lalu, Trump menyebut pengakuan secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah kepentingan terbaik AS (best interests), juga sesuatu yang benar untuk dilakukan (right thing to do).

Kontroversi Yerusalem
Mengapa mengejutkan? Pertama, terdapat konsensus internasional bahwa status Yerusalem tidak boleh ditetapkan secara sepihak dan harus melalui proses negosiasi. Langkah Trump yang secara unilateral mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel jelas-jelas melanggar konsensus tersebut.
Kedua, tidak ada presiden AS sebelum Trump yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Bahkan setelah parlemen AS di tahun 1995 mengesahkan Jerusalem Embassy Act, tidak ada presiden yang mematuhi provisi mengenai pemindahan kedutaan besar ke Yerusalem.


Ketiga, pernyataan seorang presiden AS – negara terkuat di dunia saat ini – membawa dampak besar terhadap masa depan status Yerusalem. Dalam cakupan yang lebih luas, pernyataan Trump dapat berdampak terhadap kelanjutan proses penyelesaian damai konflik Israel-Palestina. Juga terhadap keamanan dan perdamaian kawasan Timur Tengah secara keseluruhan.

Tingkatan Analisis
Menarik untuk meninjau kebijakan Trump dari perspektif tingkatan analisis (level of analysis). Perspektif ini adalah pendekatan dalam studi hubungan internasional untuk menelaah kebijakan luar negeri suatu negara dengan analisis pada tiga tingkatan atau level.

Tingkatan pertama adalah system-level analysis. Tingkatan analisis ini melihat perilaku negara dipengaruhi oleh sistem internasional. Dari tingkatan ini kita dapat mengasumsikan bahwa sistem internasional saat ini membuat Trump berani mengusung kebijakan tersebut.

Banyak yang menyebut sistem internasional saat ini memiliki karakteristik unipolar atau didominasi oleh satu kekuatan besar dan kekuatan besar tersebut adalah AS. Tidak ada kekuatan besar lain yang mampu mengimbangi AS, baik dalam power maupun kebijakan. Uni Eropa selain sedang sibuk dengan dinamika internal, juga jarang menjalankan kebijakan luar negeri yang secara frontal berseberangan dengan AS.
Dua kekuatan besar lain, yaitu Rusia dan China, juga belum mampu mengimbangi AS. Rusia tidak sekuat Uni Soviet, negara pendahulunya. Sementara China lebih banyak memberi perhatian pada pengembangan kekuatan ekonomi.

Dari tingkatan analisis sistem, kita dapat melihat tidak negara lain yang dapat memengaruhi kebijakan AS, termasuk kebijakan soal status Yerusalem. Trump sebagai presiden negara terkuat di dunia memiliki kepercayaan diri tinggi untuk mengusung kebijakan yang oleh sebagian besar negara dianggap kontroversial ini.

Tingkatan kedua adalah state-level analysis atau tingkatan analisis negara. State-level analysis menekankan bahwa politik internasional dapat dipahami melalui analisis tentang bagaimana negara berperilaku karena negara adalah aktor utama hubungan internasional. Elemen terpenting dari tingkatan analisis ini adalah proses penyusunan kebijakan luar negeri sebagai hasil interaksi antar-pemangku kepentingan di tingkat domestik.

Dalam pidatonya Trump menyebut Jerusalem Embassy Act tahun 1995 sebagai dasar kebijakannya. Produk hukum parlemen AS ini menyatakan bahwa Yerusalem harus diakui sebagai ibu kota Israel dan AS harus membangun kedutaan besarnya di kota ini.

Tiga presiden sebelum Trump, yaitu Bill Clinton, George Bush dan Barack Obama, melihat putusan parlemen ini tidak mengikat eksekutif. Sejak 1998 presiden AS setiap enam bulan menerbitkan waiver provision yang memungkinkan penundaan pemindahan kedutaan besar ke Yerusalem.

Perkembangan baru terjadi pada Juni 2017. Senat AS menyetujui sebuah resolusi dalam rangka memperingati 50 tahun penyatuan Yerusalem. Melalui resolusi ini Senat AS juga meminta agar pihak eksekutif mematuhi provisi dalam Jerusalem Embassy Act.

Dari tingkatan analisis negara, kita dapat melihat bahwa dinamika internal memengaruhi keputusan Trump. Berbeda dengan tiga presiden sebelumnya, Trump memilih menuruti seruan parlemen untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Analisis Individu
Tingkatan ketiga adalah individual-level analysis atau tingkatan analisis individu. Tingkatan analisis ini menekankan peran individu sebagai pengambil kebijakan di bidang politik luar negeri. Tingkatan analisis ini berkaitan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh pengambil keputusan. Juga faktor-faktor yang berhubungan dengan kepemimpinan seperti kepribadian, ego, ambisi, pengalaman pribadi, dan persepsi.
Karena Trump adalah pribadi yang unik, tingkatan analisis individu ini menjadi bagian paling menarik. Dalam kampanye pemilihan presiden Trump sering memosisikan dirinya sebagai figur yang berbeda dengan presiden-presiden sebelumnya, termasuk soal status Yerusalem.

Dalam kampanyenya Trump berjanji akan secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindah kedutaan besar AS ke kota itu. Janji ini terbukti mendongkrak popularitas Trump, khususnya di kalangan pemilih yang sangat pro-Israel. Setahun setelah dilantik menjadi presiden, Trump menepati janjinya.
Tak pelak Trump menuai kecaman. Kebijakan kontroversial Trump dibawa ke Dewan Keamanan PBB. AS berhasil menggagalkan resolusi Dewan Keamanan karena memiliki hak veto. Namun mereka harus menghadapi kenyataan bahwa di Majelis Umum 128 dari 193 negara anggota PBB mendukung resolusi yang tidak mengakui penetapan sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Empat anggota tetap Dewan Keamanan selain AS – yaitu China, Inggris, Prancis, dan Rusia – juga memilih posisi yang berseberangan dengan Washington. Singkat kata, sebagian besar masyarakat internasional menentang kebijakan Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Kasus Trump merupakan contoh menarik tentang bagaimana sebuah kebijakan luar negeri dianalisis dari tingkatan sistem, negara, dan individu. Dari ketiga tingkatan analisis itu, Trump memang memiliki “alasan kuat” untuk mengeluarkan kebijakan yang kontroversial tadi. Sayang sekali Trump sepertinya lupa bahwa kebijakan itu dapat memicu eskalasi konflik dan membahayakan keamanan dan perdamaian kawasan Timur Tengah.
(mhd)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3232 seconds (0.1#10.140)