Gemoy tapi Kejam: Kisah Kekejaman Dinasti Kim Jong-un
loading...
A
A
A
Arjuna Putra Aldino
Ketua Umum DPP GMNI
KISAH ini bermula dari seorang pemuda Korea bernama Kim Song-ju. Ia lahir di Desa Mangyongdae, Pyongyang Utara pada 15 April 1912.
Kim muda menghabiskan waktunya menjadi gerilyawan komunis Korea. Bermula dengan bergabung dalam organisasi Liga Pemuda Komunis Korea kemudian ia memilih masuk menjadi bagian Tentara Revolusi Rakyat Korea.
Saat menjadi gerilyawan dia aktif bergerilya dan menghancurkan kantor administrasi Jepang, sekolah dasar, kantor pos, bahkan kantor polisi. Akibat peristiwa itu, ia pernah mendekam di penjara hingga harus menjadi pelarian politik ke Uni Soviet. Namun ketika Jepang diluluhlantahkan bom atom, pada 19 September 1945 Jepang menyerah dan harus angkat kaki dari negeri Korea.
Di saat itulah, Kim pulang ke negerinya. Dan tak lama, Joseph Stalin pemimpin diktator komunis Soviet mengangkatnya sebagai kepala negara. Namun Kim bukanlah orang yang percaya pada demokrasi. Bahkan ia tak tertarik dengan demokrasi. Untuk mengkonsolidasikan kekuasaanya, ia mempersiapkan tiga generasi dalam dinasti keluarganya untuk memerintah.
Membangun dinasti politik baginya adalah jaminan untuk mewujudkan negara komunis yang dia impikan. Tentu Karl Marx penggagas ajaran komunisme tak menganjurkan demikian. Namun baginya kekuasaan dapat utuh bukan dengan debat, diskusi atau musyawarah layaknya yang dianjurkan oleh teori demokrasi melainkan dengan membersihkan, membunuh saingan dan elit, kadang-kadang bahkan harus membunuh saingan di dalam keluarganya sendiri.
Karena tak percaya dengan demokrasi, Kim membangun negaranya dengan cara yang sangat tertutup. Ia selalu curiga dengan apa yang disebut “asing/aseng”, sebuah pengaruh dari luar yang baginya bisa merusak tatanan yang ia bangun bersama dinasti politiknya. Hingga kini tak ada demokrasi di Korea Utara.
Korea Utara kini dipimpin oleh Kim Jong-un, cucu Kim Song-ju. Kim Jong-un menaiki tahta dengan sangat dramatis dan kejam. Dia berkuasa dengan memberangus pamannya sendiri dengan cara yang sangat keji yakni dengan mengumpankannya pada anjing kelaparan. Tentu pamannya bukanlah seorang hakim, melainkan seorang pejabat pimpinan Badan Intelijen Nasional.
Bukan tanpa alasan pembantaian yang dilakukan Kim atas pamannya karena si paman adalah orang nomor dua di Korea Utara, yang digadang-gadang berpeluang menggantikan dirinya. Tentu Kim tak mau itu terjadi.
Dia menginginkan darah dagingnya sendiri yang harus menggantikannya. Maka Kim tak segan membantai siapapun dengan cara yang kejam untuk mempertahankan dinasti politiknya, termasuk membantai pamannya sendiri.
Ketua Umum DPP GMNI
KISAH ini bermula dari seorang pemuda Korea bernama Kim Song-ju. Ia lahir di Desa Mangyongdae, Pyongyang Utara pada 15 April 1912.
Kim muda menghabiskan waktunya menjadi gerilyawan komunis Korea. Bermula dengan bergabung dalam organisasi Liga Pemuda Komunis Korea kemudian ia memilih masuk menjadi bagian Tentara Revolusi Rakyat Korea.
Saat menjadi gerilyawan dia aktif bergerilya dan menghancurkan kantor administrasi Jepang, sekolah dasar, kantor pos, bahkan kantor polisi. Akibat peristiwa itu, ia pernah mendekam di penjara hingga harus menjadi pelarian politik ke Uni Soviet. Namun ketika Jepang diluluhlantahkan bom atom, pada 19 September 1945 Jepang menyerah dan harus angkat kaki dari negeri Korea.
Di saat itulah, Kim pulang ke negerinya. Dan tak lama, Joseph Stalin pemimpin diktator komunis Soviet mengangkatnya sebagai kepala negara. Namun Kim bukanlah orang yang percaya pada demokrasi. Bahkan ia tak tertarik dengan demokrasi. Untuk mengkonsolidasikan kekuasaanya, ia mempersiapkan tiga generasi dalam dinasti keluarganya untuk memerintah.
Membangun dinasti politik baginya adalah jaminan untuk mewujudkan negara komunis yang dia impikan. Tentu Karl Marx penggagas ajaran komunisme tak menganjurkan demikian. Namun baginya kekuasaan dapat utuh bukan dengan debat, diskusi atau musyawarah layaknya yang dianjurkan oleh teori demokrasi melainkan dengan membersihkan, membunuh saingan dan elit, kadang-kadang bahkan harus membunuh saingan di dalam keluarganya sendiri.
Karena tak percaya dengan demokrasi, Kim membangun negaranya dengan cara yang sangat tertutup. Ia selalu curiga dengan apa yang disebut “asing/aseng”, sebuah pengaruh dari luar yang baginya bisa merusak tatanan yang ia bangun bersama dinasti politiknya. Hingga kini tak ada demokrasi di Korea Utara.
Korea Utara kini dipimpin oleh Kim Jong-un, cucu Kim Song-ju. Kim Jong-un menaiki tahta dengan sangat dramatis dan kejam. Dia berkuasa dengan memberangus pamannya sendiri dengan cara yang sangat keji yakni dengan mengumpankannya pada anjing kelaparan. Tentu pamannya bukanlah seorang hakim, melainkan seorang pejabat pimpinan Badan Intelijen Nasional.
Bukan tanpa alasan pembantaian yang dilakukan Kim atas pamannya karena si paman adalah orang nomor dua di Korea Utara, yang digadang-gadang berpeluang menggantikan dirinya. Tentu Kim tak mau itu terjadi.
Dia menginginkan darah dagingnya sendiri yang harus menggantikannya. Maka Kim tak segan membantai siapapun dengan cara yang kejam untuk mempertahankan dinasti politiknya, termasuk membantai pamannya sendiri.