Fenomena Calon Tunggal, Demokrasi Dirongrong Kotak Kosong

Jum'at, 07 Agustus 2020 - 08:35 WIB
loading...
Fenomena Calon Tunggal, Demokrasi Dirongrong Kotak Kosong
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Fenomena calon tunggal di pilkada perlu disikapi serius. Pilkada dengan calon tunggal berpotensi mendegradasi demokrasi karena tidak menghadirkan adu gagasan antarpasangan calon. Padahal, itu sangat diperlukan agar masyarakat bisa melihat siapa figur yang pantas untuk memimpin daerahnya.

Pilkada dengan calon tunggal otomatis akan menghadirkan kotak kosong sebagai lawan. Dari sisi aturan hal ini sah karena diperbolehkan oleh undang-undang. Hanya, menjadi ironi karena saat ini kotak kosong seolah menjadi strategi baru bagi calon, khususnya petahana, untuk meraih kemenangan dengan cara mudah.

Fakta menunjukkan, dari 28 pasangan calon tunggal yang bertarung pada tiga kali pilkada serentak yang sudah digelar, nyaris semuanya menang dengan mudah. Satu-satunya kemenangan kotak kosong hanya terjadi di Pilkada Makassar 2018. (Baca: Pilkada 2020, Masyarakat dan Parpol Diminta Jangan Dukung Mantan Narapidana)

Meski mendegradasi demokrasi, namun faktanya kemunculan calon tunggal terus menunjukkan tren kenaikan di tiap pilkada. Pada pilkada serentak 2015, calon tunggal hanya ada di tiga daerah.

Pada pilkada serentak berikutnya pada 2017, jumlahnya bertambah menjadi sembilan. Setahun kemudian, pertarungan calon tunggal melawan kotak kosong terjadi di 16 daerah. Di pilkada serentak tahun ini, potensi calon tunggal bisa terjadi di 31 kabupaten/kota.

Kendati pendaftaran calon belum dibuka, namun potensi calon tunggal sudah tergambar jelas di sejumlah daerah. Salah satu yang paling menyita perhatian adalah pencalonan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang diusung PDIP di Pilkada Solo.

Gibran ikut didukung parpol lain yakni PAN Gerindra, Golkar dan PSI. Padahal, PDIP saja sudah memborong 30 dari 45 kursi yang ada. Tersisa lima kursi yang dimiliki PKS dan itu tidak cukup untuk mengusung pasangan calon.

Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Gowa Sulawesi Selatan. Petahana Adnan Purichta mengusai sekitar 30 kursi dari 45 kursi DPRD Gowa. Tersisa 10 kursi milik Gerindra (tujuh kursi) dan PKS (tiga kursi). Secara kalkulasi, dua partai ini bisa mengusung, namun sampai saat ini belum ada figur yang disebut akan dicalonkan. (Baca juga: Calon dari Klan Dinasti Lebih Berpeluang Menangkan Pilkada)

Di Soppeng, Sulawesi Selatan, pasangan petahana Kaswadi Razak-Lutfi Halide sudah mengantongi dukungan Nasdem, PPP, PKB, dan Golkar dengan total total 29 kursi dari 30 kursi yang ada. Padahal, syarat untuk maju di Pilkada Soppeng hanya butuh minimal enam kursi.

Dipicu Banyak Faktor
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1542 seconds (0.1#10.140)