Setara Institute Mengetuk Hati Lembaga Survei
loading...
A
A
A
JAKARTA - Setara Institute sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya. Bukan hanya standar etik yang dipedomani, tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani dalam siaran pers, Senin (20/11/2023). “Demi keadilan pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan, dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi,” kata Ismail.
Dia mengatakan, survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia. “Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini sering kali berjarak,” tuturnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan akademik. Bahkan, jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik.
Dia menuturkan, kritik hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika. Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei.
“Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi,” katanya yang juga sebagai Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Dalam situasi yang demikian, kata dia, maka disayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya.
“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika, dan merusak demokrasi,” tuturnya.
Dia melanjutkan, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. Dia mengatakan, menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei yang sebenarnya adalah mangampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Badan Pengurus Setara Institute Ismail Hasani dalam siaran pers, Senin (20/11/2023). “Demi keadilan pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan, dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi,” kata Ismail.
Dia mengatakan, survei adalah instrumen pengetahuan dan teknologi penyerap aspirasi masyarakat yang sudah sejak lama dipraktikkan dalam negara demokratis, termasuk di Indonesia. “Survei juga telah menghubungkan aspirasi publik yang tersumbat dengan para pengambil kebijakan negara, yang selama ini sering kali berjarak,” tuturnya.
Oleh karenanya, lanjut dia, survei adalah bentuk kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan akademik. Bahkan, jika hasil survei menjadi kontroversi, maka bukan hasil survei yang dikritik.
Dia menuturkan, kritik hanya pantas ditujukan pada metodologi survei termasuk soal etika. Baik etika pengambilan data, etika menjauhkan diri dari konflik kepentingan, termasuk etika publikasi yang seringkali berhubungan erat dan menjadi bagian yang paling berbenturan dengan posisi lembaga survei.
“Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi,” katanya yang juga sebagai Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini.
Dalam situasi yang demikian, kata dia, maka disayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya.
“Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika, dan merusak demokrasi,” tuturnya.
Dia melanjutkan, agitasi agenda satu putaran oleh kandidat pilpres tentu sahih sebagai bagian dari injeksi energi bagi tim kampanye dan pendukung. Dia mengatakan, menjadi persoalan serius ketika agitasi itu didukung dengan survei dan publikasi survei yang sebenarnya adalah mangampanyekan pasangan capres dan cawapres tertentu.