Peraturan KPU yang Loloskan Gibran Jadi Cawapres Di-judicial Review ke MA
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tim Advokasi Penjaga Demokrasi dan Konstitusi (TAPDK) akan mengajukan Judicial Review (JR) ke Mahkamah Agung (MA), Senin (20/11/2023) hari ini. Permohonan JR terkait Peraturan Komisi Pemilihan Umum ( PKPU ) Nomor 23 Tahun 2023 atas perubahan PKPU 19 Tahun 2023 tentang Syarat Usia Pencalonan Capres Cawapres.
Untuk diketahui, PKPU Nomo 19/2023 tertulis, syarat usia capres cawapres minimal 40 tahun. Namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengubah aturan itu ke dalam PKPU 23/2023, yakni syarat batas usia capres dan cawapres menjadi 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk kepala daerah.
Perubahan PKPU itu karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perkara nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Pascaputusan itu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 36 tahun percaya diri mendaftar sebagai cawapres ke kantor KPU.
Salah satu Pemohon, Ridwan Darmawan menjelaskan alasan TAPDK mengajukan JR, karena Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi acuan atau dasar hukum dalam pembentukan PKPU 23/2023. Padahal putusan MK diputus oleh Hakim konstitusi dengan cara-cara yang melawan hukum.
Mejelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga telah memutuskan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Bahkan ketua MK saat itu, Anwar Usman yang juga paman Gibran diberhentikan dari jabatan karena ikut terlibat dalam memutuskan perkara tersebut.
"Dilakukan dengan melanggar kode etik berat, sehingga seharusnya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat dijadikan dasar pembentukan PKPU tersebut. Dengan adanya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dan PKPU 23/2023, demokrasi dan konstitusi Negara Republik Indonesia telah diciderai sehingga tidak boleh dibiarkan terus berlanjut dan harus dilawan," tulis Ridwan dalam keterangan, Minggu (19/11/2023).
Sedangkan, kuasa hukum Imelda Napitupulu mengatakan, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar pembentukan PKPU 23/2023 seharusnya tidak sah. Karena Pasal 17 Ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman telah tegas mengatur hakim dan panitera harus mengundurkan diri dari persidangan apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
"Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka konsekuensinya adalah putusan hakim tersebut tidak sah dan terhadap hakim atau panitera tersebut dikenakan sanksi administratif atau pidana," sambung Imelda.
Dengan hal tersebut, TAPDK meminta kepada MA dapat menyatakan PKPU 23/2023 atas perubahan PKPU 19/2023 tentang pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Untuk diketahui, PKPU Nomo 19/2023 tertulis, syarat usia capres cawapres minimal 40 tahun. Namun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengubah aturan itu ke dalam PKPU 23/2023, yakni syarat batas usia capres dan cawapres menjadi 40 tahun atau pernah sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu termasuk kepala daerah.
Perubahan PKPU itu karena Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan perkara nomor perkara 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Pascaputusan itu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 36 tahun percaya diri mendaftar sebagai cawapres ke kantor KPU.
Salah satu Pemohon, Ridwan Darmawan menjelaskan alasan TAPDK mengajukan JR, karena Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi acuan atau dasar hukum dalam pembentukan PKPU 23/2023. Padahal putusan MK diputus oleh Hakim konstitusi dengan cara-cara yang melawan hukum.
Mejelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) juga telah memutuskan hakim konstitusi yang menyidangkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut terbukti melakukan pelanggaran kode etik. Bahkan ketua MK saat itu, Anwar Usman yang juga paman Gibran diberhentikan dari jabatan karena ikut terlibat dalam memutuskan perkara tersebut.
"Dilakukan dengan melanggar kode etik berat, sehingga seharusnya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 tidak dapat dijadikan dasar pembentukan PKPU tersebut. Dengan adanya Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 dan PKPU 23/2023, demokrasi dan konstitusi Negara Republik Indonesia telah diciderai sehingga tidak boleh dibiarkan terus berlanjut dan harus dilawan," tulis Ridwan dalam keterangan, Minggu (19/11/2023).
Sedangkan, kuasa hukum Imelda Napitupulu mengatakan, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menjadi dasar pembentukan PKPU 23/2023 seharusnya tidak sah. Karena Pasal 17 Ayat (5) dan (6) UU Kekuasaan Kehakiman telah tegas mengatur hakim dan panitera harus mengundurkan diri dari persidangan apabila mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
"Dan apabila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut maka konsekuensinya adalah putusan hakim tersebut tidak sah dan terhadap hakim atau panitera tersebut dikenakan sanksi administratif atau pidana," sambung Imelda.
Dengan hal tersebut, TAPDK meminta kepada MA dapat menyatakan PKPU 23/2023 atas perubahan PKPU 19/2023 tentang pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(abd)