Peraturan Kejaksaan 15/2020 Jawaban Suara Keadilan Masyarakat

Kamis, 06 Agustus 2020 - 19:08 WIB
loading...
Peraturan Kejaksaan...
Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) menyebut terbitnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dipandang sebagai jawaban suara keadilan di masyarakat. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Terbitnya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dipandang sebagai jawaban suara keadilan di masyarakat dan berbagai problematika lain seperti penumpukan beban perkara di pengadilan dan dilematis over capacity di pengadilan.

Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum) yang kini dipercaya sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) Sunarta menyampaikan selama berpuluh tahun kejaksaan mengalami dilema dalam proses penegakkan hukum dan sistem peradilan di Indonesia. Mulai dari perkara kecil yang harus dibawa ke meja hijau, perkara dengan kerugian kecil hingga keinginan korban yang ingin berdamai namun terbelenggu peraturan berlaku. (Baca juga: Kejagung Rotasi Jamwas dan Jamintel, Ada Apa?)

“Bapak ibu, para Jaksa di seluruh Tanah Air bangga rasanya, kami menerbitkan suatu regulasi yang menenangkan perasaan keadilan masyarakat. Setelah, berpuluh-puluh tahun, kita harus membawa perkara kecil ke pengadilan, perkara yang tidak besar kerugiannya, atau menyaksikan bapak-bapak atau ibu-ibu sepuh, memasuki ruang sidang pengadilan yang mungkin harus dipapah,” kata Sunarta saat menjadi keynote speech di kegiatan Bimtek Virtual Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Kamis (6/8/2020).

“Belum lagi ketika korban yang kita wakili kepentingannya, justru tidak ingin memperpanjang kasusnya dan ingin berdamai, namun kita terpaksa harus melanjutkan perkaranya, sebab tidak ada alasan secara yuridis yang dapat dipakai untuk menghentikan perkara,” lanjutnya. (Baca juga: Raih Predikat WTP, Momentum Kejagung Tingkatkan Transparansi)

Sunarta menilai, pendekatan keadilan saat ini telah bergeser. Hal itu terlihat dari bagaimana kritikan masyarakat saat kejaksaan membawa kasus Nenek Minah ke pengadilan karena mencuri tiga biji kakao. Ataupun perkara Rasminah, asisten rumah tangga yang mencuri enam buah piring atau kakek Samirin di Simalungun, yang melakukan pencurian getah karet dengan berat 1,9 kilogram dengan harga Rp17.000 kemudian didakwa dengan UU Perkebunan.

“Begitu banyak kasus-kasus ini menjadi viral, oleh karena bagi masyarakat, hukum tidak lagi untuk memroses terdakwa. Penumpukan beban perkara di pengadilan; Penjara yang menjadi penuh; serta orang-orang kecil seperti Samirin yang makan sehari-hari saja susah sehingga seringkali jatuh pada khilaf nafsu, melakukan perbuatan pidana, yang bahkan kadang tidak mereka sadari, kemudian harus mendekam di dalam sel tahanan berbulan-bulan,” paparnya.

Menurut Sunarta, mereka akan kehilangan pekerjaan, apalagi kesempatan untuk memberi makan anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Sampai perkara diputus akan ada banyak kerugian yang apabila dianalisis secara ekonomi maka kerugian yang timbul dibandingkan dengan keuntungan dalam penegakkan hukum sangat tidak efisien. Untuk itu, Sunarta menekankan bagi penegakkan hukum, ketidakefisienan hanya akan membawa pada kesengsaraan masyarakat. (Baca juga: Penerapan Digitalisasi Birokrasi Jadi Terobosan Kebijakan Kejagung)

Mengutip Prof Satjipto Rahardjo, Sunarta menuturkan hukum buatan manusia seharusnya tidak mereduksi kemuliaan dan hormat sebatas yang dikatakan dalam undang-undang. Sunarta menceritakan lahirnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 tak lepas dari berbagai kritikan segenap lapisan masyarakat itu terhadap penanganan perkara Nenek Minah dan lainnya. Kritikan itu membuat Jaksa Agung merasa sudah saatnya penuntut umum menangkap suara keadilan di masyarakat dan menerapkan penghentian penuntutan terhadap perkara-perkara yang tidak layak di bawa ke pengadilan.

“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya (vide pasal 8 ayat (4) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI),” tukasnya.

Lebih jauh Sunarta meyakinkan UU Kejaksaan melandasi jaksa untuk menggali nilai keadilan di masyarakat. Di situlah, kewenangan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif lahir. “Ketika Penuntut Umum memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa sarana koersif (pengendalian yang bersifat paksaan) yang berupa sarana penal (pidana) dapat diganti dengan sarana reparatif (perbaikan dan pemulihan) dengan syarat tertentu,” pesannya.

Kendati akan ada konsekuensi perlawanan yuridisnya, namun Sunarta meyakini Peraturan Kejaksaan tersebut dibangun dengan bangunan kognisi dan konstruksi logika. “Karena hukum acara pidana kita tidak mengenal mediasi penal. Karena hukum pidana materiil dan formil kita masih berorientasi pada pembalasan terhadap perbuatan pidananya saja (Daad Strafrecht) dan belum bergeser kepada perbuatan dan pelaku tindak pidana (Daad – Dader Strafrecht), apalagi terhadap paradigma kepentingan korban,” beber Sunarta.

Dia menambahkan, filosofi keadilannya masih membalas daripada memulihkan. ” Oleh karena itu kami harus membangun construction logic-nya dengan membuat penyesuaian pada hukum yang masih berlaku (existing),” sambungnya.

Sunarta juga berpesan agar jajaran kejaksaan dapat menerapkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15/2020 dengan baik. Menurut Sunarta, dalam Pasal 3 Peraturan Kejaksaan tersebut dinyatakan bahwa penuntut umum berwenang menutup perkara demi kepentingan hukum. Penutupan perkara demi kepentingan hukum tersebut dilakukan ketika terdakwa meninggal dunia, kedaluwarsa penuntutan pidana, telah ada putusan pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap seseorang atas perkara yang sama (nebis in idem). Hal lain yang dapat menjadi alasan penutupan perkara yaitu pengaduan untuk tindak pidana aduan dicabut atau ditarik kembali serta telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sesuai Pasal 4 dalam beleid tersebut dilakukan dengan memperhatikan kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang dilindungi; penghindaran stigma negatif; penghindaran pembalasan; respons dan keharmonisan masyarakat; serta kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Adapun syarat tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif diatur dalam Pasal 5. Ayat 1 pasal ini di antaranya menyebutkan syarat penutupan tindak pidana meliputi tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2,5 juta.
(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1925 seconds (0.1#10.140)