Uighur dalam Kerangka Separatisme dan Gerakan Politik

Senin, 06 November 2023 - 20:11 WIB
loading...
A A A
Dengan adanya insiden ini, Pemerintah China di bawah kepemimpinan Xi Jinping kemudian mengumumkan pemberlakuan kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp (Zahrah & Windiani, 2023). Kebijakan ini mencakup upaya penertiban situasi serta menjaga stabilitas keamanan nasional di tengah gejolak konflik yang semakin bereskalasi.

Hadirnya kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp ini sedikit banyak telah menimbulkan polemik dan kontroversi di kalangan komunitas internasional - sebut saja sikap PBB yang cenderung kontra atas kebijakan Pemerintah China. Tuduhan praktik pelanggaran HAM yang disematkan untuk Pemerintah China atas sikap “keras”-nya kepada Muslim Uighur di Xinjiang menjadi tagline utama dalam narasi propaganda negara pesaing China yang dibangun dalam beberapa tahun belakangan ini.

Di sisi lain, bentuk dukungan kepada tindakan Pemerintahan China justru datang dari negara-negara dengan latar belakang mayoritas Muslim sekaliber Palestina, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk. Dalam lawatan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas ke Beijing pada Juni 2023 lalu, Abbas menyatakan dukungan terhadap pendekatan China di Xinjiang.

Mahmoud Abbas juga sepakat bahwa masalah di Xinjiang bukan soal permasalahan hak asasi manusia, melainkan agenda konter-terorisme, deradikalisasi, dan anti-separatisme (Kashgar, 2023).

Sejak diberlakukannya kebijakan Strike Hard Against Extremist Terrorism dan Reeducation Camp, Pemerintah China selalu konsisten dan sejalan dengan upaya-upaya untuk mereduksi tindakan kekerasan oleh kelompok separatis dan mempromosikan perdamaian serta kestabilan keamanan, baik ditingkat domestik maupun global.

Hal ini terlihat jelas melalui posisi China yang konsisten mendukung perdamaian dan keadilan bagi rakyat Palestina dalam menjaga hak-hak nasionalnya yang direnggut oleh Israel (Singh, 2023).

Di lain pihak, justru terdapat adanya narasi yang kontradiktif dengan posisi Pemerintah China yang datang dari World Uyghur Congress (WUC). WUC yang merupakan NGO yang berupaya mengadvokasi kepentingan etnis Uighur secara transnasional, justru menampilkan standing position yang ambivalen terhadap fenomena kekerasan di Palestina.

Alih-alih menyuarakan kesamaan nasib yang juga dialami oleh etnis Uighur, WUC justru terkesan menutup mata atas tragedi yang menimpa saudara-saudara muslim di Palestina.

Narasi yang cukup kentara adalah statemen dari WUC yang dimuat dalam rilis berita/media tanggal 9 Oktober 2023 lalu – bahwa WUC mengutuk keras tindakan kekerasan terhadap warga sipil Israel dan mengungkapkan sikap perihatin serta ajakan solidaritas untuk korban-korban yang menderita dalam serangan tersebut (World Uyghur Congress, 2023). Bahkan para aktivis Uyghur seperti Dolkun Isa, Rushan Abbas, Idris, dan Omer Kanat memuat narasi yang serupa di kanal media sosialnya masing-masing.

Sejalan dengan hal tersebut, temuan lain mengatakan bahwa WUC juga terafiliasi dengan negara-negara barat sekaliber Amerika Serikat dengan UAA (Uyghur America Association) dan negara-negara Uni Eropa, serta organisasi-organisasi bentukan negara barat lainnya sepertiAmnesty International (AI), Human Right Watch (HRW), Association for Threatened People, Unrepresented Nations and People Organization (UNPO) and National Endowment for Democracy (NED).
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1671 seconds (0.1#10.140)