Uighur dalam Kerangka Separatisme dan Gerakan Politik
loading...
A
A
A
Selain itu, WUC secara aktif membuat kontak dengan media-media barat seperti CNN, BBC, Reuters, CBC, dan media lainnya untuk memberikan tekanan kepada Pemerintah Tiongkok dalam konfrontasinya dengan etnis Uighur di Xinjiang (Rustam, 2021).
Di sisi lain, adanya indikasi keterlibatan pihak eksternal dalam tubuh WUC juga tidak bisa dilepaskan dari persaingan ekonomi global. China pascarevolusi kebudayaan, telah tumbuh menjadi negara yang maju secara ekonomi. Belt and Road Initiative (BRI) menjadi pendekatan dan kebijakan ekonomi politik internasional China dalam membangun kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan negara lain, tidak terkecuali bagi negara-negara di Timur Tengah termasuk Palestina. Kerja sama ini juga yang melatarbelakangi kedekatan antara China dengan Palestina.
Kemajuan ekonomi dan kedekatan China dengan negara-negara Timur Tengah tersebut di satu sisi juga menimbulkan resistensi bagi negara-negara barat yang merasa tersaingi dalam peta hegemoni ekonomi politik global. Dalam kaca mata Ilmu Hubungan Internasional, situasi ini sejalan dengan perspektif neo-realisme yang berpandangan bahwa dalam struktur internasional yang anarki, perilaku suatu negara akan turut mempengaruhi dan merubah sikap negara lain dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing (Waltz, 1979).
Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa juga turut memperkuat upaya mencapai hegemoni globalnya melalui pendekatan atau inisiatif yang serupa dengan BRI China. Sebut saja Global Gateway yang digagas oleh negara-negara Uni Eropa, Overseas Private Invesment Corporation (OPIC) dan Free and Open Indo Pasific (FOIP) oleh Amerika Serikat, Build Back Beter World Initiative oleh negara-negara G-7, Asia-Africa Growth Corridor (AAGC), dan inisiatif ekonomi lainnya.
Tendensi ini semakin tampak jelas ketika dikaitkan dengan fenomena semacam konflik Israel-Palestina. Amerika Serikat dan negara-negara barat yang cenderung memiliki keberpihakan terhadap Israel. Sedangkan China yang tegak mendukung Palestina – memberikan rasionalisasi atas indikasi keterlibatan negara-negara barat melalui WUC untuk memberikan tekanan secara psikologis maupun taktis kepada China dalam kerangka konfrontasi etnis Uighur di Xinjiang dan keberpihakan dalam konflik Israel-Palestina.
Dengan demikian, irisan anomali antara independensi WUC dalam memperjuangkan kepentingan etnis Uighur di Xinjiang dengan indikasi adanya keterlibatan kepentingan pihak eksternal menimbulkan tanda tanya besar bagi publik Internasional.
Apakah kehadiran WUC merupakan upaya murni untuk mengakomodasi suara orang-orang etnis Uighur? Atau justru WUC dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kecenderungan keberpihakan terhadap isu konflik Israel-Palestina dan untuk menekan Pemerintah China agar terjadi ketidakstabilan keamanan nasional, politik, ekonomi, dan sosial negara China?
Tentunya hal ini perlu dikaji lebih mendalam, karena konfrontasi etnis Uighur di Xinjiang juga turut bersinggungan dengan berbagai aspek dan bersifat multidimensi.
Di sisi lain, adanya indikasi keterlibatan pihak eksternal dalam tubuh WUC juga tidak bisa dilepaskan dari persaingan ekonomi global. China pascarevolusi kebudayaan, telah tumbuh menjadi negara yang maju secara ekonomi. Belt and Road Initiative (BRI) menjadi pendekatan dan kebijakan ekonomi politik internasional China dalam membangun kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan negara lain, tidak terkecuali bagi negara-negara di Timur Tengah termasuk Palestina. Kerja sama ini juga yang melatarbelakangi kedekatan antara China dengan Palestina.
Kemajuan ekonomi dan kedekatan China dengan negara-negara Timur Tengah tersebut di satu sisi juga menimbulkan resistensi bagi negara-negara barat yang merasa tersaingi dalam peta hegemoni ekonomi politik global. Dalam kaca mata Ilmu Hubungan Internasional, situasi ini sejalan dengan perspektif neo-realisme yang berpandangan bahwa dalam struktur internasional yang anarki, perilaku suatu negara akan turut mempengaruhi dan merubah sikap negara lain dalam rangka mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing (Waltz, 1979).
Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa juga turut memperkuat upaya mencapai hegemoni globalnya melalui pendekatan atau inisiatif yang serupa dengan BRI China. Sebut saja Global Gateway yang digagas oleh negara-negara Uni Eropa, Overseas Private Invesment Corporation (OPIC) dan Free and Open Indo Pasific (FOIP) oleh Amerika Serikat, Build Back Beter World Initiative oleh negara-negara G-7, Asia-Africa Growth Corridor (AAGC), dan inisiatif ekonomi lainnya.
Tendensi ini semakin tampak jelas ketika dikaitkan dengan fenomena semacam konflik Israel-Palestina. Amerika Serikat dan negara-negara barat yang cenderung memiliki keberpihakan terhadap Israel. Sedangkan China yang tegak mendukung Palestina – memberikan rasionalisasi atas indikasi keterlibatan negara-negara barat melalui WUC untuk memberikan tekanan secara psikologis maupun taktis kepada China dalam kerangka konfrontasi etnis Uighur di Xinjiang dan keberpihakan dalam konflik Israel-Palestina.
Dengan demikian, irisan anomali antara independensi WUC dalam memperjuangkan kepentingan etnis Uighur di Xinjiang dengan indikasi adanya keterlibatan kepentingan pihak eksternal menimbulkan tanda tanya besar bagi publik Internasional.
Apakah kehadiran WUC merupakan upaya murni untuk mengakomodasi suara orang-orang etnis Uighur? Atau justru WUC dimanfaatkan pihak-pihak tertentu yang memiliki kecenderungan keberpihakan terhadap isu konflik Israel-Palestina dan untuk menekan Pemerintah China agar terjadi ketidakstabilan keamanan nasional, politik, ekonomi, dan sosial negara China?
Tentunya hal ini perlu dikaji lebih mendalam, karena konfrontasi etnis Uighur di Xinjiang juga turut bersinggungan dengan berbagai aspek dan bersifat multidimensi.
(poe)