Uighur dalam Kerangka Separatisme dan Gerakan Politik

Senin, 06 November 2023 - 20:11 WIB
loading...
Uighur dalam Kerangka...
Muhammad Rizki Yusro, Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Pasundan. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Muhammad Rizki Yusro
Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP
Universitas Pasundan

XINJIANG merupakan wilayah di bagian barat laut China yang telah menjadi pusat perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini berkenaan dengan hadirnya berbagai narasi kontroversial yang menyoal sikap dan kebijakan Pemerintah China terhadap etnis Uighur - sebuah kelompok Muslim yang tinggal di wilayah daerah otonom seluas 1,6 juta km persegi dan dihuni oleh sekitar 25,8 juta jiwa (Hsieh & Falkenheim, 2023).

Pada dasarnya, China telah berkembang menjadi negara yang kaya akan keragaman etnis. Negara berjuluk Tirai Bambu ini telah menjadi rumah bagi puluhan etnis yang hidup berdampingan dalam harmoni.

Kebijakan Pemerintah China di masa kekuasaan Deng Xiaoping selalu mengedepankan pentingnya memelihara perdamaian dan menghargai hak-hak etnis minoritas. Berakhirnya revolusi kebudayaan China tahun 1978 menjadi tonggak awal pendekatan kebijakan harmonisasi terhadap etnis minoritas - Partai Komunis China melalui Asosiasi Islam China telah berupaya untuk mengatur semua etnis dan agama minoritas, termasuk Islam.

Tempat-tempat ibadah baru mulai dibangun dan masjid-masjid lama yang rusak selama revolusi kebudayaan kembali dipulihkan (Dillon, 2016). Pada masa ini, kebebasan beragama dan beribadah menjadi lebih terbuka. Seluruh kepentingan etnis minoritas diakomodir sebagai upaya dalam memenuhi hak-hak dasar setiap individu dan kelompok yang ada di China.

Namun pascakeruntuhan Uni Soviet, fenomena Arab Spring, dan tragedi 9/11, pendekatan Pemerintah China terhadap etnis Uighur menjadi kian bergeser. Akumulasi dari berbagai tren global tersebut seolah memaksa Pemerintah China untuk terkonsentrasi pada upaya menjaga stabilitas keamanan, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat China.

Hal ini mengingat bagaimana gelombang protes yang kerap bermunculan, khususnya di wilayah Xinjiang Selatan akibat aktivitas keagamaan ilegal dan mengarah kepada perilaku ekstremisme agama atau bahkan terorisme. Pemerintah China merasa perlu mengambil langkah serius untuk hal ini (Pinghul, 2014).

Dalam melihat cakupan aktivitas terorisme yang diprakarsai oleh Uighur di China dari 1990-2014, terlihat adanya dua gelombang yang berbeda. Pertama, pascaruntuhnya Uni Soviet dalam agenda mendorong otonomi wilayah Xinjiang. Aktivitas terorisme ini mencapai puncaknya pada 1997 ketika 15 serangan teroris mengakibatkan 50 warga China tewas dan 98 lainnya terluka.

Kedua, gelombang aktivitas terorisme menjelang Olimpiade Beijing 2008 yang mencapai puncaknya pada 2014 dengan total 28 insiden. Tragedi ini menewaskan 164 orang dan 426 orang terluka (LaFree et al., 2015). Data ini menunjukkan serangan teroris Uighur mengalami peningkatan dari waktu ke waktu dengan penargetan warga sipil bahkan pemerintah, sehingga hal ini sangat sesuai dengan perilaku dan tren terorisme global.

Serangan mobil dan insiden bom Urumqi pada 2014 menyebabkan sedikitnya 31 orang tewas. Jumlah korban ini merupakan yang tertinggi dari serangkaian insiden kekerasan di Xinjiang yang dilakukan oleh kelompok ekstrimis Uighur sejak 1990 (The Guardian, 2014).
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1813 seconds (0.1#10.140)