Membaca Mentalitas Hakim Konstitusi Kita
loading...
A
A
A
Fikri Suadu
Dokter yang mendalami kajian neurosains
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimal usia yang menjadi syarat bagi calon presiden dan calon wakil presiden menuai kontroversi. Pro dan kontra berkaitan dengan dugaan ada atau tidaknya pelanggaran etik dan hukum di balik putusan tersebut terus bergulir. Terbaru, sidang etik oleh MKMK dengan target utama ketua MK, dan mencuatnya wacana hak angket terhadap MK di DPR.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melihat kasus ini dari perspektif hukum, akan tetapi lebih pada upaya untuk membaca orientasi dan posisi mental hakim konstitusi di MK, lebih spesifik, hakim konstitusi Anwar Usman-Ketua MK-yang dicurigai menjadi aktor utama di balik lolosnya pasal kontroversi tersebut. Pertanyaan akademisnya adalah: "apakah posisi mental Anwar Usman bisa disalahkan/dibenarkan?".
Berpikir cepat dan lambat
Berdasarkan pada fakta empiris tentang studi otak manusia (human brain) yang dilakukan oleh para ilmuwan neurosains, tidak bisa dibantah bahwa dunia mental manusia sangat erat kaitannya dengan aktivitas sel-sel saraf otak. Studi-studi yang otoritatif dalam bidang neurosains mendalilkan bahwa dunia mental dan pikiran seseorang adalah identik dengan proses yang terjadi pada level sel-sel saraf otak manusia.
Misalnya studi yang dilakukan oleh Rita carter dkk (2019) menunjukkan bahwa sirkut-sirkuit sel saraf otak pada struktur otak tertentu bertanggung jawab atas pikiran-pikiran dan jenis-jenis perilaku tertentu, misalnya yang berkaitan dengan memori, emosi, kognisi, dan lain sebagainya; termasuk di dalamnya dalam hal pengambilan keputusan.
Pikiran, dunia mental, dan struktur otak menusia menyediakan dua jalan yang sangat berbeda berkaitan dengan cara seseorang mengambil, melakukan, dan atau membuat keputusan: jalur cepat yang otonom dan tidak dapat dikontrol (tidak disadari), dan jalur lambat yang tidak otonom dan dapat dikontrol (disadari). Dua proses ini memainkan peranan signifikan dalam setiap proses berpikir manusia.
Berdasarkan literatur-literatur neurosains yang otoritatif, misalnya studi yang dilakukan oleh Jaak Panksepp (1998), disebutkan bahwa proses berpikir cepat ini melibatkan struktur-struktur otak pada daerah otak subkortikal. Cara kerja otak subkortikal ini adalah bersifat otonom dan sepenuhnya "dikendalikan" oleh sistem stimulus-respons, dengan orientasi utamanya adalah survivalitas.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa otak subkortikal ini adalah perangkat mental atau pikiran yang didesain khusus untuk fungsi "surviv" setiap makhluk hidup. Perangkat mental ini akan bekerja sangat cepat dan sangat dominan khususnya dalam merespons situasi-situasi yang dianggap "berbahaya" dan mengancam kelangsungan hidup spesies.
Dalam konteks untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan, dunia mental manusia, termasuk hewan didalamnya, telah didesain sedemikian istimewa sehingga mampu mengenali secara alamiah (naluri dan insting) segala sesuatu ancaman bahaya dan merusak tanpa harus melibatkan proses berpikir kortikal (sadar). Otak subkortikal akan mengambil alih kemudi dunia mental dan pikiran manusia ketika berhadapan dengan situasi yang merusak dan berbahaya bagi kelangsungan hidup individu, klan, dan spesies.
Dokter yang mendalami kajian neurosains
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimal usia yang menjadi syarat bagi calon presiden dan calon wakil presiden menuai kontroversi. Pro dan kontra berkaitan dengan dugaan ada atau tidaknya pelanggaran etik dan hukum di balik putusan tersebut terus bergulir. Terbaru, sidang etik oleh MKMK dengan target utama ketua MK, dan mencuatnya wacana hak angket terhadap MK di DPR.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melihat kasus ini dari perspektif hukum, akan tetapi lebih pada upaya untuk membaca orientasi dan posisi mental hakim konstitusi di MK, lebih spesifik, hakim konstitusi Anwar Usman-Ketua MK-yang dicurigai menjadi aktor utama di balik lolosnya pasal kontroversi tersebut. Pertanyaan akademisnya adalah: "apakah posisi mental Anwar Usman bisa disalahkan/dibenarkan?".
Berpikir cepat dan lambat
Berdasarkan pada fakta empiris tentang studi otak manusia (human brain) yang dilakukan oleh para ilmuwan neurosains, tidak bisa dibantah bahwa dunia mental manusia sangat erat kaitannya dengan aktivitas sel-sel saraf otak. Studi-studi yang otoritatif dalam bidang neurosains mendalilkan bahwa dunia mental dan pikiran seseorang adalah identik dengan proses yang terjadi pada level sel-sel saraf otak manusia.
Misalnya studi yang dilakukan oleh Rita carter dkk (2019) menunjukkan bahwa sirkut-sirkuit sel saraf otak pada struktur otak tertentu bertanggung jawab atas pikiran-pikiran dan jenis-jenis perilaku tertentu, misalnya yang berkaitan dengan memori, emosi, kognisi, dan lain sebagainya; termasuk di dalamnya dalam hal pengambilan keputusan.
Pikiran, dunia mental, dan struktur otak menusia menyediakan dua jalan yang sangat berbeda berkaitan dengan cara seseorang mengambil, melakukan, dan atau membuat keputusan: jalur cepat yang otonom dan tidak dapat dikontrol (tidak disadari), dan jalur lambat yang tidak otonom dan dapat dikontrol (disadari). Dua proses ini memainkan peranan signifikan dalam setiap proses berpikir manusia.
Berdasarkan literatur-literatur neurosains yang otoritatif, misalnya studi yang dilakukan oleh Jaak Panksepp (1998), disebutkan bahwa proses berpikir cepat ini melibatkan struktur-struktur otak pada daerah otak subkortikal. Cara kerja otak subkortikal ini adalah bersifat otonom dan sepenuhnya "dikendalikan" oleh sistem stimulus-respons, dengan orientasi utamanya adalah survivalitas.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa otak subkortikal ini adalah perangkat mental atau pikiran yang didesain khusus untuk fungsi "surviv" setiap makhluk hidup. Perangkat mental ini akan bekerja sangat cepat dan sangat dominan khususnya dalam merespons situasi-situasi yang dianggap "berbahaya" dan mengancam kelangsungan hidup spesies.
Dalam konteks untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan, dunia mental manusia, termasuk hewan didalamnya, telah didesain sedemikian istimewa sehingga mampu mengenali secara alamiah (naluri dan insting) segala sesuatu ancaman bahaya dan merusak tanpa harus melibatkan proses berpikir kortikal (sadar). Otak subkortikal akan mengambil alih kemudi dunia mental dan pikiran manusia ketika berhadapan dengan situasi yang merusak dan berbahaya bagi kelangsungan hidup individu, klan, dan spesies.