Membaca Mentalitas Hakim Konstitusi Kita

Sabtu, 04 November 2023 - 12:54 WIB
loading...
Membaca Mentalitas Hakim Konstitusi Kita
Fikri Suadu, dokter yang mendalami kajian neurosains. Foto/Dok
A A A
Fikri Suadu
Dokter yang mendalami kajian neurosains

PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) terkait batas minimal usia yang menjadi syarat bagi calon presiden dan calon wakil presiden menuai kontroversi. Pro dan kontra berkaitan dengan dugaan ada atau tidaknya pelanggaran etik dan hukum di balik putusan tersebut terus bergulir. Terbaru, sidang etik oleh MKMK dengan target utama ketua MK, dan mencuatnya wacana hak angket terhadap MK di DPR.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk melihat kasus ini dari perspektif hukum, akan tetapi lebih pada upaya untuk membaca orientasi dan posisi mental hakim konstitusi di MK, lebih spesifik, hakim konstitusi Anwar Usman-Ketua MK-yang dicurigai menjadi aktor utama di balik lolosnya pasal kontroversi tersebut. Pertanyaan akademisnya adalah: "apakah posisi mental Anwar Usman bisa disalahkan/dibenarkan?".

Berpikir cepat dan lambat

Berdasarkan pada fakta empiris tentang studi otak manusia (human brain) yang dilakukan oleh para ilmuwan neurosains, tidak bisa dibantah bahwa dunia mental manusia sangat erat kaitannya dengan aktivitas sel-sel saraf otak. Studi-studi yang otoritatif dalam bidang neurosains mendalilkan bahwa dunia mental dan pikiran seseorang adalah identik dengan proses yang terjadi pada level sel-sel saraf otak manusia.

Misalnya studi yang dilakukan oleh Rita carter dkk (2019) menunjukkan bahwa sirkut-sirkuit sel saraf otak pada struktur otak tertentu bertanggung jawab atas pikiran-pikiran dan jenis-jenis perilaku tertentu, misalnya yang berkaitan dengan memori, emosi, kognisi, dan lain sebagainya; termasuk di dalamnya dalam hal pengambilan keputusan.

Pikiran, dunia mental, dan struktur otak menusia menyediakan dua jalan yang sangat berbeda berkaitan dengan cara seseorang mengambil, melakukan, dan atau membuat keputusan: jalur cepat yang otonom dan tidak dapat dikontrol (tidak disadari), dan jalur lambat yang tidak otonom dan dapat dikontrol (disadari). Dua proses ini memainkan peranan signifikan dalam setiap proses berpikir manusia.

Berdasarkan literatur-literatur neurosains yang otoritatif, misalnya studi yang dilakukan oleh Jaak Panksepp (1998), disebutkan bahwa proses berpikir cepat ini melibatkan struktur-struktur otak pada daerah otak subkortikal. Cara kerja otak subkortikal ini adalah bersifat otonom dan sepenuhnya "dikendalikan" oleh sistem stimulus-respons, dengan orientasi utamanya adalah survivalitas.

Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa otak subkortikal ini adalah perangkat mental atau pikiran yang didesain khusus untuk fungsi "surviv" setiap makhluk hidup. Perangkat mental ini akan bekerja sangat cepat dan sangat dominan khususnya dalam merespons situasi-situasi yang dianggap "berbahaya" dan mengancam kelangsungan hidup spesies.

Dalam konteks untuk bertahan hidup dan melangsungkan kehidupan, dunia mental manusia, termasuk hewan didalamnya, telah didesain sedemikian istimewa sehingga mampu mengenali secara alamiah (naluri dan insting) segala sesuatu ancaman bahaya dan merusak tanpa harus melibatkan proses berpikir kortikal (sadar). Otak subkortikal akan mengambil alih kemudi dunia mental dan pikiran manusia ketika berhadapan dengan situasi yang merusak dan berbahaya bagi kelangsungan hidup individu, klan, dan spesies.

Berbeda dengan jalur berpikir cepat, jalur berpikir lambat atau yang dikenal dengan pikiran sadar, melibatkan struktur otak yang disebut sebagai otak kortikal. Otak kortikal ini bertanggung jawab atas pikiran-pikiran yang bersifat reflektif dan penilaian yang penuh pertimbangan.

Pertimbangan moral etika, pertimbangan baik buruk, pertimbangan benar salah, semuanya melibatkan struktur otak ini. Tidak sebatas itu, struktur otak ini juga memiliki otoritas penuh untuk memutuskan segala sesuatu berdasarkan pertimbangan, kehendak, dan keinginan yang bersifatsadar dan terencana.

Jika jalur berpikir cepat memustus segala perkara secara otonom atas nama survivalitas, maka jalur lambat akan memutus segala perkara dengan cara manipulatif. Manipulasi di sini bisa baik, juga bisa buruk. Otak kortikal adalah otak manipulatif yang secara spesifik menjadi penanda keunikan manusia. Dengan otak ini manusia bisa mencapai kemuliaan dirinya, disaat yang sama, bisa terjerumus kepada kondisi yang hina dina.

Anwar Usman dan dunia mental yang terancam

Pertanyaan hipotesisnya adalah ancaman apa yang tergambar dalam dunia mental Anwar Usman selaku Ketua MK sehingga yang bersangkutan terpaksa dan nekat mengambil keputusan kontroversial yang berkaitan dengan batas minimal usia Capres dan Cawapres itu?

Berdasarkan apa yang telah kita uraikan di atas, fakta empiris menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan dalam mengambil "pilihan cepat" otak subkortikal hanya bisa terstimulasi oleh adanya situasi yang mengancam. Adanya ancaman yang bersifat merusak dan berbahaya bagi kelangsungan hidup adalah alasan mutlak otak subkortikal mengambil alih peta mental seseorang dalam membuat keputusan.

Ancaman ini harus tergambar nyata di dalam dunia mental dan imajinasi seseorang sehingga sistem berpikirnya terkondisikan dalam mode pengaturan primitif untuk kepentingan survivalitas: dia harus tetap bertahan dan melangsungkan kehidupannya dengan aman dan nyaman. Apakah ini salah? Tentu saja tidak.

Tidak ada yang salah dalam kamus mempertahankan kehidupan. Peperangan (perkelahian) sekali pun harus ditempuh untuk alasan ini. Ini prinsip utama dalam hukum evolusi Darwin, "survival of the fittest", hewan harus beradaptasi terhadap semua stimulus eksternalnya, termasuk di dalamnya hewan yang bernama manusia.

Lantas ancaman apa yang tergambar secara imajinatif dalam dunia mental hakim konstitusi-Ketua MK-Anwar Usman sehingga ia nekat mengambil keputusan kontroversial dan menghadapi penghakiman publik secara terbuka?

Apakah benar semua risiko tersebut diambil semata-mata untuk menyelamatkan kehidupan politik dinasti Presiden Jokowi sebagaimana yang diasumsikan oleh banyak kalangan? Kalau pun benar keputusan tersebut diambil demi menyelamatkan kehidupan politik dinasi Presiden Jokowi, lantas apakah hal itu bisa disalahkan secara etik?

Padahal kita tahu Bersama bahwa dunia mental manusia memang dirancang secara alamiah dan otonom untuk menghindari rasa sakit dan penderitaan yang disebabkan oleh marabahaya yang bisa merusak dirinya dan keluarga terdekatnya? Artinya, siapa pun dia, ketika diperhadapkan pada situasi yang mengancam dan dapat mengakhiri keberlangsungan hidupnya dan anak-anaknya, secara alamiah akan melakukan hal yang sama.

Seperti itulah dalil evolusi dan hukum besi dunia mental manusia. Termasuk di dalamnya dunia mental hakim konstitusi Anwar usman.

Walahualam bishawab…
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2063 seconds (0.1#10.140)