Mendekap Para Korban Terorisme Seutuhnya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tindak pidana terorisme adalah kejahatan luar biasa sekaligus kejahatan kemanusiaan. Tak hanya merenggut nyawa, kejahatan ini juga memicu rasa trauma dan kesedihan mendalam bagi para korban. Negara pun dituntut hadir untuk melindungi dan menjamin hak-hak korban terorisme.
Vivi Normasari mungkin tak akan melupakan peristiwa ledakan di JW Marriot Hotel pada 17 tahun lalu. Peristiwa yang terjadi Selasa, 5 Agustus 2003, itu meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya. Betapa tidak, peristiwa yang merenggut 14 nyawa dan melukai 156 orang lainnya itu telah membuat dirinya cacat seumur hidup.
Luka akibat dampak ledakan bom mobil itu membekas di tangan, kaki, punggung, leher, dan pinggangnya. Akibat luka-luka fisik tersebut, Vivi mengalami kesulitan bergerak secara normal. “Saya sampai dengan saat ini tidak bisa berjongkok, berlari, memegang benda yang berat, akibat tangan saya cacat. Untuk menengok kiri-kanan di bagian leher saya juga kaku dan kadang-kadang sakit,” ujarnya.
Selain bagian fisik yang mengalami luka, secara psikologi Vivi juga mengalami trauma dan mengubah cita-cita kehidupannya secara drastis. Di sisi lain, dia bersyukur keluarganya serta saudara-saudara dan sesama korban ikut membantu Vivi dalam pemulihan guna menghadapi dan meneruskan hidup.
“Alhamdulillah, keluarga saya, saudara-saudara saya, dan bahkan teman-teman sesama korban ikut membantu saya dalam pemulihan maupun motivasi hidup agar bangkit sehingga tidak merasa terpuruk,” tuturnya.
Sebagai korban, Vivi sempat hampir putus asa. Dirinya tidak bisa lagi bekerja dengan normal akibat cacat di tubuh. Di sisi lain, negara seolah-olah melupakannya begitu saja. Tak ada bantuan, baik medis maupun psikologis bagi dirinya sebagai korban aksi terorisme. Tetapi, kondisi mulai berubah sejak dua tahun lalu. Dirinya mengaku mulai mendapatkan pendampingan bantuan medis dari LPSK melalui payung hukum UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ditambah lagi, kata Vivi, dengan adanya UU Terorisme, yakni UU Nomor 5/2018 ikut andil membantu para korban dalam pemenuhan hak-hak korban berupa layanan kompensasi, psikososial, dan psikologi. “Saya sangat terbantu sekali dalam layanan medis yang diberikan oleh negara melalui LPSK. Hingga saat ini saya bisa menggunakan layanan tersebut dan mengurangi beban biaya yang harus saya dan keluarga tanggung. Karena sudah lama sejak 2013, saya tidak bekerja dan tidak memiliki asuransi kesehatan pribadi,” ungkapnya.
Berikutnya Vivi juga terbantu oleh bantuan psikologi yang diberikan layanannya LPSK. Kadang-kadang Vivi menggunakan layanan itu mana kala dirinya sedang merasa trauma terhadap aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia beberapa waktu lalu. Selain LPSK, Vivi pun terbantu dengan layanan yang diberikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui program psikososial.
Program ini dalam bentuk pemberian modal usaha bagi Vivi dan para penyintas atau korban terorisme serta diberi bimbingan kewirausahaan. “Alhamdulillah, Pak, pada akhirnya Pemerintah Indonesia bisa membantu dan mendukung para penyintas terorisme di Indonesia melalui lembaga LPSK dan BNPT sesuai yang diamanahkan melaui UU Terorisme Nomor 5 tahun 2018,” katanya.
Di sini lain, Vivi mengungkapkan, dia belum mendapatkan layanan kompensasi dari negara. Sebabnya, Vivi sebagai korban bom masa lalu dan para penyintas tindak pidana terorisme masa lalu harus menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor 5/2018. Vivi bersyukur bahwa pada 7 Juli 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP Nomor 35/2020 sebagai turunan dari UU tersebut.
Vivi Normasari mungkin tak akan melupakan peristiwa ledakan di JW Marriot Hotel pada 17 tahun lalu. Peristiwa yang terjadi Selasa, 5 Agustus 2003, itu meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya. Betapa tidak, peristiwa yang merenggut 14 nyawa dan melukai 156 orang lainnya itu telah membuat dirinya cacat seumur hidup.
Luka akibat dampak ledakan bom mobil itu membekas di tangan, kaki, punggung, leher, dan pinggangnya. Akibat luka-luka fisik tersebut, Vivi mengalami kesulitan bergerak secara normal. “Saya sampai dengan saat ini tidak bisa berjongkok, berlari, memegang benda yang berat, akibat tangan saya cacat. Untuk menengok kiri-kanan di bagian leher saya juga kaku dan kadang-kadang sakit,” ujarnya.
Selain bagian fisik yang mengalami luka, secara psikologi Vivi juga mengalami trauma dan mengubah cita-cita kehidupannya secara drastis. Di sisi lain, dia bersyukur keluarganya serta saudara-saudara dan sesama korban ikut membantu Vivi dalam pemulihan guna menghadapi dan meneruskan hidup.
“Alhamdulillah, keluarga saya, saudara-saudara saya, dan bahkan teman-teman sesama korban ikut membantu saya dalam pemulihan maupun motivasi hidup agar bangkit sehingga tidak merasa terpuruk,” tuturnya.
Sebagai korban, Vivi sempat hampir putus asa. Dirinya tidak bisa lagi bekerja dengan normal akibat cacat di tubuh. Di sisi lain, negara seolah-olah melupakannya begitu saja. Tak ada bantuan, baik medis maupun psikologis bagi dirinya sebagai korban aksi terorisme. Tetapi, kondisi mulai berubah sejak dua tahun lalu. Dirinya mengaku mulai mendapatkan pendampingan bantuan medis dari LPSK melalui payung hukum UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Ditambah lagi, kata Vivi, dengan adanya UU Terorisme, yakni UU Nomor 5/2018 ikut andil membantu para korban dalam pemenuhan hak-hak korban berupa layanan kompensasi, psikososial, dan psikologi. “Saya sangat terbantu sekali dalam layanan medis yang diberikan oleh negara melalui LPSK. Hingga saat ini saya bisa menggunakan layanan tersebut dan mengurangi beban biaya yang harus saya dan keluarga tanggung. Karena sudah lama sejak 2013, saya tidak bekerja dan tidak memiliki asuransi kesehatan pribadi,” ungkapnya.
Berikutnya Vivi juga terbantu oleh bantuan psikologi yang diberikan layanannya LPSK. Kadang-kadang Vivi menggunakan layanan itu mana kala dirinya sedang merasa trauma terhadap aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia beberapa waktu lalu. Selain LPSK, Vivi pun terbantu dengan layanan yang diberikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui program psikososial.
Program ini dalam bentuk pemberian modal usaha bagi Vivi dan para penyintas atau korban terorisme serta diberi bimbingan kewirausahaan. “Alhamdulillah, Pak, pada akhirnya Pemerintah Indonesia bisa membantu dan mendukung para penyintas terorisme di Indonesia melalui lembaga LPSK dan BNPT sesuai yang diamanahkan melaui UU Terorisme Nomor 5 tahun 2018,” katanya.
Di sini lain, Vivi mengungkapkan, dia belum mendapatkan layanan kompensasi dari negara. Sebabnya, Vivi sebagai korban bom masa lalu dan para penyintas tindak pidana terorisme masa lalu harus menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor 5/2018. Vivi bersyukur bahwa pada 7 Juli 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP Nomor 35/2020 sebagai turunan dari UU tersebut.