Mendekap Para Korban Terorisme Seutuhnya

Kamis, 06 Agustus 2020 - 07:04 WIB
loading...
Mendekap Para Korban Terorisme Seutuhnya
Tak hanya merenggut nyawa, kejahatan yang dilakukan terorisme juga memicu rasa trauma dan kesedihan mendalam bagi para korban. Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tindak pidana terorisme adalah kejahatan luar biasa sekaligus kejahatan kemanusiaan. Tak hanya merenggut nyawa, kejahatan ini juga memicu rasa trauma dan kesedihan mendalam bagi para korban. Negara pun dituntut hadir untuk melindungi dan menjamin hak-hak korban terorisme.

Vivi Normasari mungkin tak akan melupakan peristiwa ledakan di JW Marriot Hotel pada 17 tahun lalu. Peristiwa yang terjadi Selasa, 5 Agustus 2003, itu meninggalkan trauma mendalam bagi dirinya. Betapa tidak, peristiwa yang merenggut 14 nyawa dan melukai 156 orang lainnya itu telah membuat dirinya cacat seumur hidup.

Luka akibat dampak ledakan bom mobil itu membekas di tangan, kaki, punggung, leher, dan pinggangnya. Akibat luka-luka fisik tersebut, Vivi mengalami kesulitan bergerak secara normal. “Saya sampai dengan saat ini tidak bisa berjongkok, berlari, memegang benda yang berat, akibat tangan saya cacat. Untuk menengok kiri-kanan di bagian leher saya juga kaku dan kadang-kadang sakit,” ujarnya.

Selain bagian fisik yang mengalami luka, secara psikologi Vivi juga mengalami trauma dan mengubah cita-cita kehidupannya secara drastis. Di sisi lain, dia bersyukur keluarganya serta saudara-saudara dan sesama korban ikut membantu Vivi dalam pemulihan guna menghadapi dan meneruskan hidup.

“Alhamdulillah, keluarga saya, saudara-saudara saya, dan bahkan teman-teman sesama korban ikut membantu saya dalam pemulihan maupun motivasi hidup agar bangkit sehingga tidak merasa terpuruk,” tuturnya.

Sebagai korban, Vivi sempat hampir putus asa. Dirinya tidak bisa lagi bekerja dengan normal akibat cacat di tubuh. Di sisi lain, negara seolah-olah melupakannya begitu saja. Tak ada bantuan, baik medis maupun psikologis bagi dirinya sebagai korban aksi terorisme. Tetapi, kondisi mulai berubah sejak dua tahun lalu. Dirinya mengaku mulai mendapatkan pendampingan bantuan medis dari LPSK melalui payung hukum UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Ditambah lagi, kata Vivi, dengan adanya UU Terorisme, yakni UU Nomor 5/2018 ikut andil membantu para korban dalam pemenuhan hak-hak korban berupa layanan kompensasi, psikososial, dan psikologi. “Saya sangat terbantu sekali dalam layanan medis yang diberikan oleh negara melalui LPSK. Hingga saat ini saya bisa menggunakan layanan tersebut dan mengurangi beban biaya yang harus saya dan keluarga tanggung. Karena sudah lama sejak 2013, saya tidak bekerja dan tidak memiliki asuransi kesehatan pribadi,” ungkapnya.

Berikutnya Vivi juga terbantu oleh bantuan psikologi yang diberikan layanannya LPSK. Kadang-kadang Vivi menggunakan layanan itu mana kala dirinya sedang merasa trauma terhadap aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia beberapa waktu lalu. Selain LPSK, Vivi pun terbantu dengan layanan yang diberikan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui program psikososial.

Program ini dalam bentuk pemberian modal usaha bagi Vivi dan para penyintas atau korban terorisme serta diberi bimbingan kewirausahaan. “Alhamdulillah, Pak, pada akhirnya Pemerintah Indonesia bisa membantu dan mendukung para penyintas terorisme di Indonesia melalui lembaga LPSK dan BNPT sesuai yang diamanahkan melaui UU Terorisme Nomor 5 tahun 2018,” katanya.

Di sini lain, Vivi mengungkapkan, dia belum mendapatkan layanan kompensasi dari negara. Sebabnya, Vivi sebagai korban bom masa lalu dan para penyintas tindak pidana terorisme masa lalu harus menunggu peraturan pemerintah sebagai turunan dari UU Nomor 5/2018. Vivi bersyukur bahwa pada 7 Juli 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani PP Nomor 35/2020 sebagai turunan dari UU tersebut.

Kesyukuran itu, kata dia, karena dua hal. Pertama, Vivi dan para penyintas telah menunggu lama sekitar lebih 10 tahun. Kedua, dalam PP Nomor 35/2020 sudah jelas tertuang bahwa untuk mendapatkan layanan kompensasi bagi para korban masa lalu tidak perlu menunggu putusan pengadilan. “Jadi, saya dan teman-teman korban bom masa lalu sedang menunggu realisasi dari layanan kompensasi tersebut. Doakan kami, ya Pak agar prosesnya bisa cepat,” katanya.

Vivi mengatakan, layanan kompensasi yang sudah diatur melalui PP Nomor 35/2020 sebagai turunan dari UU Nomor 5/2018 adalah harapan terbesar semua para korban terorisme masa lalu. Dia berpandangan, PP itu sebagai bentuk negara bertanggung jawab atas kerugian yang dialami para penyintas, baik kerugian material, immaterial, dan psikologi.

“Semoga dalam waktu dekat kami bisa menerima layanan kompensasi dari negara melalui lembaga negara LPSK. Agar bantuan tersebut nanti dapat membantu saya dan teman-teman menata kembali kehidupan perekonomian kami sebagai modal nantinya. Mohon doanya ya,” ucapnya.

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo menyatakan, pihaknya sangat bersyukur atas terbitnya PP Nomor 35/2020. Dengan PP tersebut, menurutnya, menunjukkan bukti kuatnya komitmen pemerintah untuk hadir bagi para korban tindak pidana khusus korban tindak pidana terorisme.

Dia menegaskan, Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maupun PP Nomor 35 Tahun 2020 sebagai turunannya merupakan salah satu aturan di dunia yang komprehensif dalam penanganan terorisme.

“Setelah PP 35 tahun 2020 terbit, LPSK akan langsung mengambil langkah cepat. PP diharapkan bisa menjadi jalan untuk mengoptimalkan pemenuhan hak korban, khususnya para korban terorisme seperti yang telah LPSK lakukan selama ini,” kata Hasto.

Hasto mengatakan, hakikatnya PP ini merupakan kesempatan sangat berharga khususnya bagi korban tindak pidana terorisme masa lalu untuk mendapatkan hak-haknya di luar proses peradilan. Sebabnya, putusan hakim dalam mengadili perkara terorisme pada masa lalu belum banyak menyentuh pemenuhan hak bagi para korban. Dalam praktiknya, melalui UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebenarnya LPSK telah memberikan perlindungan kepada korban terorisme yang terjadi di masa lalu dalam bentuk bantuan medis, psikologis, dan psikososial.

“LPSK mencatat cukup banyak korban terorisme masa lalu belum menerima kompensasi dari negara. Patut diakui PP ini merupakan terobosan besar dalam sistem hukum Indonesia karena biasanya kompensasi baru didapatkan melalui putusan pengadilan,” ujarnya.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar menyatakan, dalam konteks perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana terorisme, maka BNPT senantiasa semaksimal mungkin berusaha memberikan dukungan kepada penyintas. Dia mengatakan, selain perlindungan dan pemulihan bagi para penyintas, maka hak mereka untuk mendapatkan kompensasi juga harus dipenuhi negara.

“Berbagai upaya telah dilaksanakan BNPT kepada para penyintas dengan bekerja sama dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) melalui berbagai pendampingan, seperti layanan psikososial, pemberian bantuan medis, rehabilitasi, hingga kompensasi,” ungkap Boy. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1179 seconds (0.1#10.140)