Zainal Arifin Mochtar: Harus Ada Reformasi Besar-besaran di Mahkamah Konstitusi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar mengatakan harus ada reformasi besar-besaran di Mahkamah Konstitusi (MK) . Pasalnya, Zainal menilai banyak hakim MK yang melakukan praktif lobi sebelum dijatuhkannya putusan.
"Di MK itu ada banyak praktik yang seharusnya kita perbaiki. Ada gejala seperti hakim itu melobi dan menyatakan sesuatu untuk mengubah ubah keputusan," ujar Zainal dalam Diskusi Publik bertajuk 'Politik Dinasti Jokowi, Konflik Kepentingan, dan Bencana Court Capture MK' yang digelar Sahabat ICW, Jumat (3/11/2023).
Menurutnya, prakti lobi yang dilakukan oleh para hakim MK itu menghilangkan independensi hakim sendiri.
"MK sering memutus tidak lagi berbasis hukum tapi berbasis pada konfigurasi politik bahkan sering kali berbasis take and give," jelasnya.
Dirinya mencotohkan putusan MK yang menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Siapa yang membuat KPK menjadi eksekutif? Kan MK sebenarnya, putusan 2017 itulah yang MK tiba-tiba melahirkan kalimat bahwa yang namanya KPK itu eksekutif," tandasnya.
Tak hanya itu, hadirnya Guntur Hamzah sebagai Hakim MK tanpa proses pemilihan bahkan dilakukan secara melanggar konstitusi pun dinilainya sebagai penyakit.
"Kita lihat putusan MK soal Ciptaker, kan diputusan Cipta Kerja yang terakhir kemarin nggak banyak perubahan sebenarnya, karena 8 hakim itu keukeuh siapa yang mengubah putusan tiba-tiba berpindah menjadi menolak permohonan yaitu Guntur Hamzah," paparnya.
"Hakim ini lah saya kira yang kemudian juga punya penyakit yang tidak sederhana di MK itu karena dia hadir dalam konteks inkonsitusionalitas. Dia lahir dari proses tiba-tiba mendepak Hakim Aswanto dan kemudian masuk di tengah jalan bahkan mengubah konstalasi," sambungnya.
Dari seluruh peristiwa tersebut, Zainal memandang perlu adanya reformasi besar-besar di MK. Sebab menurutnya, ini akan menjadi kebutuhan besar untuk menghadapi proses pengadilan untuk Pemilu 2024.
"Kalau tetap saja MK membuka kesempatan yang namanya saling mengunjungi hakim kemudian saling lobi, membuka kesempatan untuk take and give sesama hakim, saya kira ini faktor berulang saja," tutupnya.
"Di MK itu ada banyak praktik yang seharusnya kita perbaiki. Ada gejala seperti hakim itu melobi dan menyatakan sesuatu untuk mengubah ubah keputusan," ujar Zainal dalam Diskusi Publik bertajuk 'Politik Dinasti Jokowi, Konflik Kepentingan, dan Bencana Court Capture MK' yang digelar Sahabat ICW, Jumat (3/11/2023).
Menurutnya, prakti lobi yang dilakukan oleh para hakim MK itu menghilangkan independensi hakim sendiri.
"MK sering memutus tidak lagi berbasis hukum tapi berbasis pada konfigurasi politik bahkan sering kali berbasis take and give," jelasnya.
Dirinya mencotohkan putusan MK yang menjadikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Siapa yang membuat KPK menjadi eksekutif? Kan MK sebenarnya, putusan 2017 itulah yang MK tiba-tiba melahirkan kalimat bahwa yang namanya KPK itu eksekutif," tandasnya.
Tak hanya itu, hadirnya Guntur Hamzah sebagai Hakim MK tanpa proses pemilihan bahkan dilakukan secara melanggar konstitusi pun dinilainya sebagai penyakit.
"Kita lihat putusan MK soal Ciptaker, kan diputusan Cipta Kerja yang terakhir kemarin nggak banyak perubahan sebenarnya, karena 8 hakim itu keukeuh siapa yang mengubah putusan tiba-tiba berpindah menjadi menolak permohonan yaitu Guntur Hamzah," paparnya.
"Hakim ini lah saya kira yang kemudian juga punya penyakit yang tidak sederhana di MK itu karena dia hadir dalam konteks inkonsitusionalitas. Dia lahir dari proses tiba-tiba mendepak Hakim Aswanto dan kemudian masuk di tengah jalan bahkan mengubah konstalasi," sambungnya.
Dari seluruh peristiwa tersebut, Zainal memandang perlu adanya reformasi besar-besar di MK. Sebab menurutnya, ini akan menjadi kebutuhan besar untuk menghadapi proses pengadilan untuk Pemilu 2024.
"Kalau tetap saja MK membuka kesempatan yang namanya saling mengunjungi hakim kemudian saling lobi, membuka kesempatan untuk take and give sesama hakim, saya kira ini faktor berulang saja," tutupnya.
(kri)