Denny Indrayana Sebut Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres Kejahatan Terorganisasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum tata negara Denny Indrayana menilai putusan batas usia capres-cawapres 40 tahun atau punya pengalaman jadi kepala daerah merupakan kejahatan terorganisasi. Hal itu disampaikan saat memberikan keterangan pada sidang perdana laporan pelanggaran kode etik Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman cs yang beragendakan pemeriksaan pelapor.
"Putusan 90 terindikasi merupakan hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime, sehingga layak pelapor anggap sebagai megaskandal mahkamah keluarga," ujar Denny secara daring, Selasa (31/10/2023).
Lanjut Denny, tingkat pelanggaran etik dan kejahatan politik yang dilakukan sifatnya sangat merusak dan meruntuhkan pilar kewibawaan MK. Menurutnya, skandal MK itu melibatkan tiga elemen yakni Ketua MK Anwar Usman, keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Kantor Staf Kepresidenan.
"Sehingga dengan semua elemen tertinggi demikian, tidaklah patut jika pelanggaran etika dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan kejahatan yang biasa-biasa saja dan cukup dijatuhkan sanksi etika semata," katanya.
Menurut Denny, kerusakan yang dihasilkan terlalu dahsyat. Sehingga prinsip bahwa putusan MK harus dihormati namun terjadi pengecualian. Seharusnya, kata Denny, MKMK berperan sebagai pintu solusi untuk melakukan koreksi mendasar.
"Bukan hanya dengan menjatuhkan sanksi etik dengan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap hakim terlapor. Tapi juga menilai dan memberi ruang koreksi atas putusan 90 yang sudah direkayasa dan dimanipulasi hakim terlapor, dan kekuatan kekuasaan yang telah mendesain kejahatan yang terencana dan terorganisasi tersebut," jelasnya.
Denny menambahkan, pemanfaatan relasi keluarga bukan hanya koruptif, kolutif, dan nepotisme (KKN), tapi juga merendahkan dan mempermalukan MK. Oleh sebab itu, Denny dalam laporannya meminta agar putusan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar pendaftaran capres-cawapres.
"Perlu ada putusan provisi untuk menunda pelaksanaan dari putusan 90 yang menabrak nalar dan moral konstitusional tersebut," ucapnya.
"Lebih jauh, dengan menerapkan penyelamatan keadilan konstitusional, constitutional restorative justice, MKMK Yang Mulia semoga berkenan untuk menyatakan tidak sah putusan 90 atau paling tidak memerintahkan agar MK melakukan pemeriksaan ulang perkara 90 itu dengan komposisi hakim yang berbeda, tanpa hakim terlapor," jelasnya.
"Putusan 90 terindikasi merupakan hasil kerja dari suatu kejahatan yang terencana dan terorganisir, planned and organized crime, sehingga layak pelapor anggap sebagai megaskandal mahkamah keluarga," ujar Denny secara daring, Selasa (31/10/2023).
Lanjut Denny, tingkat pelanggaran etik dan kejahatan politik yang dilakukan sifatnya sangat merusak dan meruntuhkan pilar kewibawaan MK. Menurutnya, skandal MK itu melibatkan tiga elemen yakni Ketua MK Anwar Usman, keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Kantor Staf Kepresidenan.
"Sehingga dengan semua elemen tertinggi demikian, tidaklah patut jika pelanggaran etika dan kejahatan politik yang terjadi dipandang hanya sebagai pelanggaran dan kejahatan yang biasa-biasa saja dan cukup dijatuhkan sanksi etika semata," katanya.
Menurut Denny, kerusakan yang dihasilkan terlalu dahsyat. Sehingga prinsip bahwa putusan MK harus dihormati namun terjadi pengecualian. Seharusnya, kata Denny, MKMK berperan sebagai pintu solusi untuk melakukan koreksi mendasar.
"Bukan hanya dengan menjatuhkan sanksi etik dengan pemberhentian dengan tidak hormat terhadap hakim terlapor. Tapi juga menilai dan memberi ruang koreksi atas putusan 90 yang sudah direkayasa dan dimanipulasi hakim terlapor, dan kekuatan kekuasaan yang telah mendesain kejahatan yang terencana dan terorganisasi tersebut," jelasnya.
Denny menambahkan, pemanfaatan relasi keluarga bukan hanya koruptif, kolutif, dan nepotisme (KKN), tapi juga merendahkan dan mempermalukan MK. Oleh sebab itu, Denny dalam laporannya meminta agar putusan tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dasar pendaftaran capres-cawapres.
"Perlu ada putusan provisi untuk menunda pelaksanaan dari putusan 90 yang menabrak nalar dan moral konstitusional tersebut," ucapnya.
"Lebih jauh, dengan menerapkan penyelamatan keadilan konstitusional, constitutional restorative justice, MKMK Yang Mulia semoga berkenan untuk menyatakan tidak sah putusan 90 atau paling tidak memerintahkan agar MK melakukan pemeriksaan ulang perkara 90 itu dengan komposisi hakim yang berbeda, tanpa hakim terlapor," jelasnya.