Ketua MK Anwar Usman Diduga Langgar Etik, Guru Besar Unpad: Pertaruhan Kepercayaan Publik Ada di MKMK

Jum'at, 27 Oktober 2023 - 03:56 WIB
loading...
Ketua MK Anwar Usman...
Pertaruhan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini berada di tangan Majelis Kehormatan MK (MKMK). FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan, pertaruhan legitimasi dan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini berada di tangan Majelis Kehormatan MK (MKMK). Ia berharap seluruh hakim dapat bersikap koperatif dengan MKMK.

"Saya berharap seluruh hakim dapat bersikap kooperatif dengan MKMK. Pertaruhan legitimasi dan kepercayaan publik berada di tangan MKMK dan para Hakim Konstitusi," kata Susi saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Kamis (26/10/2023).

Untuk diketahui, sebanyak 16 guru besar bidang hukum melaporkan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim Ketua MK Anwar Usman terkait putusan gugatan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) ke MKMK. Susi berharap MKMK dapat melaksanakan tugas dengan baik dan mempertimbangkan semua bukti secara berimbang.



"Dengan masuknya laporan dugaan pelanggaran etik, saya berharap MKMK dpt melaksanakan tugas dan wewenang dengan sebaiknya, dengan mempertimbangkan semua bukti yang diserahkan secara berimbang dan dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum," ucapnya.

Susi menyoroti hukum acara dan legal standing dalam putusan gugatan batas usia capres-cawapres. Menurutnya, putusan tersebut ganjil dalam beberapa hal. Pertama hukum acara, permohonan sudah ditarik tapi dimasukkan kembali. Kedua, legal standing, biasanya MK ketat tentang legal standing tapi untuk pemohon kali ini terkesan sangat longgar.

Untuk diketahui, 16 guru besar yang tergabung dalam koalisi Constitutional and Administrative Law Society (CALS) dengan didampingi oleh kuasa hukum dari YLBHI, PSHK, ICW, IM57 melaporkan Ketua MK Anwar Usman ke MKMK terkait dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim.



Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Violla Reininda mengatakan ada 4 poin dalam laporan pelanggaran kode etik tersebut. Yang pertama yakni soal konflik kepentingan Anwar Usman.

"Conflict of interest ketika memeriksa dan mengadili perkara nomor 90, yang memberikan ruang atau privillege kepada keponakan yang bersangkutan untuk mencalonkan menjadi calon wakil presiden, yaitu Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka," katanya di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (26/10/2023).

Menurutnya, hal itu terbuktikan dengan Gibran yang sudah resmi menjadi cawapres mendampingi capres Prabowo Subianto.

Laporan pelanggaran kode etik Anwar Usman ini bermula ketika, para hakim MK menangani perkara soal uji materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tepatnya, soal batas usia capres-cawapres, dari 11 gugatan hanya 1 saja yang dikabulkan oleh MK, yakni yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A. Dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota.

Gugatan tersebut ditengarai untuk memuluskan Gibran Raka Buming Raka menjadi Cawapres. Sebab, dia baru berusia 36 tahun namun memiliki pengalaman menjadi Walikota Solo.

Benar atau tidak anggapan tersebut, sepekan pascauji materiil itu dikabulkan MK, Gibran resmi diumumkan menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto, Minggu (22/10/2023). Mereka juga sudah mendaftar di KPU sebagai pasangan capres-cawapres.

Hubungan kekeluargaan antara Gibran dan Anwar Usman pun disorot. Anwar merupakan paman dari Gibran. Lantaran hubungan kekeluargaan itu, Anwar Usman dikhawatirkan ada konflik kepentingan dalam perkara tersebut.

Poin kedua, lanjut Violla, berkaitan dengan kepemimpinan Anwar Usman. Menurutnya, tidak ada kepemimpinan peradilan dalam memeriksa dan memutuskan perkara tersebut.

"Kenapa? Karena satu, tidak menaati hukum acara sebagaimana mestinya, karena ada proses yang dilakukan secara terburu-buru dan juga secara tidak sesuai dengan prosedur, terutama berkenaan dengan tidak diinvestigasinya kejanggalan berupa penarikan kembali permohonan," jelasnya.

Lalu, ketiadaan kepemimpinan peradilan ini juga berdasarkan adanya concurring opinion atau alasan berbeda. Menurut Violla, subtansi yang dipaparkan hakim ternyata dissenting opinion atau perbedaan pendapat. "Sehingga menimbulkan keganjilan juga di dalam putusan Mahkamah Konstitusi," katanya.
(abd)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1350 seconds (0.1#10.140)