Kredibilitas MK Tangani Sengketa Pemilu Diragukan Pascaputusan Usia Cawapres
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kredibilitas Mahkamah Konstitusi ( MK ) menangani sengketa pemilu diragukan pascaputusan terkait usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden ( cawapres ). Diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan materiil Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden (Capres Cawapres) yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru Re A.
Dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Menurut Koordinator Advokat Perekat Nusantara sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, MK juga sudah tidak bisa dipercaya lagi pascaputusan tersebut.
“Bukan hanya diragukan, tetapi sudah tidak bisa dipercaya lagi, karena Ketua MK Anwar Usman tidak mampu melepaskan dirinya dari hubungan keluarga semenda dengan Presiden Jokowi, sebagaimana terbukti dari putusan uji materiil perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membawa misi kepentingan Gibran Rakabuming Raka,” kata Petrus Selestinus kepada SINDOnews, Kamis (19/10/2023).
Petrus mengungkapkan kondisi MK di mana Anwar Usman tidak bisa netral, bahkan berkepentingan dan menjadi kaki dari kekuasaan eksekutif. Menurut dia, kondisi itu akan menjadi ancaman serius terhadap posisi MK ke depan menghadapi sengketa Pilpres 2024.
“Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi harus memecat Anwar Usman agar memutus mata rantai nepotisme menciptakan dinasti politik Jokowi dalam pemerintahan tidak saja di eksekutif, tetapi juga di yudikatif khususnya MK,” pungkasnya.
Hal senada dikatakan oleh Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam. “Benar, hal itu berdampak pada kredibilitas MK. Hal ini juga bisa akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap MK selaku lembaga yang akan menyidangkan sengketa pemilu dan Pilpres 2024 nanti,” kata Umam yang juga sebagai Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) ini.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan MK tersebut tidak sah. “Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,” kata Denny dalam keterangan tertulisnya.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini mengatakan, putusan yang tidah sah itu sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
“Bahwa siapa pun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024, bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka, dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan berisiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024,” tuturnya.
Bahkan, menurut dia, kalaupun berhasil terpilih, berisiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah.
“Mahkamah Konstitusi, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.
Dalam perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu, Almas Tsaqibbirru Re A meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Menurut Koordinator Advokat Perekat Nusantara sekaligus Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus, MK juga sudah tidak bisa dipercaya lagi pascaputusan tersebut.
“Bukan hanya diragukan, tetapi sudah tidak bisa dipercaya lagi, karena Ketua MK Anwar Usman tidak mampu melepaskan dirinya dari hubungan keluarga semenda dengan Presiden Jokowi, sebagaimana terbukti dari putusan uji materiil perkara nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membawa misi kepentingan Gibran Rakabuming Raka,” kata Petrus Selestinus kepada SINDOnews, Kamis (19/10/2023).
Petrus mengungkapkan kondisi MK di mana Anwar Usman tidak bisa netral, bahkan berkepentingan dan menjadi kaki dari kekuasaan eksekutif. Menurut dia, kondisi itu akan menjadi ancaman serius terhadap posisi MK ke depan menghadapi sengketa Pilpres 2024.
“Mahkamah Kehormatan Hakim Konstitusi harus memecat Anwar Usman agar memutus mata rantai nepotisme menciptakan dinasti politik Jokowi dalam pemerintahan tidak saja di eksekutif, tetapi juga di yudikatif khususnya MK,” pungkasnya.
Hal senada dikatakan oleh Dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam. “Benar, hal itu berdampak pada kredibilitas MK. Hal ini juga bisa akan mempengaruhi kepercayaan publik terhadap MK selaku lembaga yang akan menyidangkan sengketa pemilu dan Pilpres 2024 nanti,” kata Umam yang juga sebagai Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic) ini.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana menilai putusan MK tersebut tidak sah. “Putusan 90 mempunyai kecacatan konstitusional yang mendasar, dan karenanya tidak sah,” kata Denny dalam keterangan tertulisnya.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ini mengatakan, putusan yang tidah sah itu sebijaknya tidak dijadikan dasar dan pertimbangan dalam perhelatan sepenting Pilpres 2024 yang akan sangat menentukan arah kepemimpinan bangsa Indonesia, yaitu Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029.
“Bahwa siapa pun yang menjadi pasangan calon dalam Pilpres 2024, bukan hanya terkait Gibran Rakabuming Raka, dengan hanya menyandarkan diri pada Putusan 90 akan berisiko dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai paslon dalam Pilpres 2024,” tuturnya.
Bahkan, menurut dia, kalaupun berhasil terpilih, berisiko dimakzulkan (impeachement) karena sebenarnya tidak memenuhi syarat sebagai pasangan calon presiden ataupun wakil presiden, karena hanya berdasarkan dengan Putusan 90 yang cacat konstitusional dan tidak sah.
“Mahkamah Konstitusi, dengan dukungan seluruh elemen yang masih sadar dan cinta Indonesia, sebaiknya memproses pelanggaran kode etik yang terjadi dalam Putusan 90, dengan tujuan menegakkan kembali marwah, harkat, martabat, dan kehormatan Mahkamah Konstitusi,” pungkasnya.
(rca)