Soroti Putusan Batasan Usia Capres-Cawapres, Ketua DPD: MK Sudah Tercemar Tradisi Politik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPD AA LaNyalla Mahmud Mattalitti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah tercemar tradisi terkait putusan batasan usia capres-cawapres . Pernyataan itu sekaligus menanggapi perbedaan pendapat (dissenting opinion) Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 tentang gugatan batas usia capres-cawapres.
Dalam pendapatnya, Saldi mengakui ada peristiwa aneh saat memutus perkara kepala daerah bisa maju pilpres meski di bawah umur 40 tahun. LaNyalla merasa hal itu telah menunjukkan Indonesia semakin krisis negarawan karena semua lembaga sudah berpolitik praktis, termasuk hakim konstitusi.
“Pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra itu menunjukkan bahwa MK sebagai the guardian of constitution sudah tercemar tradisi politik. Ini tentu sangat buruk bagi Indonesia,” ujar LaNyalla dalam keterangan resminya yang dikutip, Selasa (17/10/2023).
Lebih lanjut, LaNyalla merasa negeri ini semakin kehilangan jati diri, dan nilai-nilai adab, etika, dan moral. Perasaan itu, lanjutnya, mulai terlihat sejak Indonesia menganut sistem liberal dengan pemilihan presiden dan kepala daerah langsung dan dominasi partai politik sebagai pemegang kedaulatan.
“Negara yang menganut liberalisme dan terseret ke neoliberal serta ekonomi yang kapitalistik, pasti ditandai dengan kemenangan materialisme atas idealisme. Itu sudah prinsip. Sehingga perilaku politik Indonesia semakin tidak punya malu dan mendapat pemakluman dari elite. Rakyat terus diberi pertunjukan dan contoh buruk seperti itu,” jelas LaNyalla.
Ia pun menyinggung soal batas usia capres dan cawapres. Menurutnya, Indonesia tak bisa disamakan dengan negara-negara kecil di Eropa atau Skandinavia sehingga pemimpin Indonesia dibutuhkan orang yang matang dan dewasa secara usia.
"Karena negara ini berdasarkan ketuhanan, maka tradisi di dalam pemahaman agama, bahwa usia matang seseorang itu juga harus menjadi rujukan. Jangan ditabrak, hantam kromo begitu saja. Ini bukan negara suka-suka dan uji coba,” katanya.
Kendati demikian, LaNyalla merasa sudah saatnya Indonesia menyadari bila sistem saat ini semakin kebablasan dan semakin meninggalkan Pancasila. Untuk itu, ia merasa negeri ini harus kembali ke falsafah dasar bangsa.
“Sistem yang dirumuskan pendiri bangsa itu bukan sistem Orde Baru, tetapi sistem demokrasi Pancasila murni yang belum pernah diterapkan secara benar,” pungkasnya.
Dalam pendapatnya, Saldi mengakui ada peristiwa aneh saat memutus perkara kepala daerah bisa maju pilpres meski di bawah umur 40 tahun. LaNyalla merasa hal itu telah menunjukkan Indonesia semakin krisis negarawan karena semua lembaga sudah berpolitik praktis, termasuk hakim konstitusi.
“Pernyataan Hakim Konstitusi Saldi Isra itu menunjukkan bahwa MK sebagai the guardian of constitution sudah tercemar tradisi politik. Ini tentu sangat buruk bagi Indonesia,” ujar LaNyalla dalam keterangan resminya yang dikutip, Selasa (17/10/2023).
Lebih lanjut, LaNyalla merasa negeri ini semakin kehilangan jati diri, dan nilai-nilai adab, etika, dan moral. Perasaan itu, lanjutnya, mulai terlihat sejak Indonesia menganut sistem liberal dengan pemilihan presiden dan kepala daerah langsung dan dominasi partai politik sebagai pemegang kedaulatan.
“Negara yang menganut liberalisme dan terseret ke neoliberal serta ekonomi yang kapitalistik, pasti ditandai dengan kemenangan materialisme atas idealisme. Itu sudah prinsip. Sehingga perilaku politik Indonesia semakin tidak punya malu dan mendapat pemakluman dari elite. Rakyat terus diberi pertunjukan dan contoh buruk seperti itu,” jelas LaNyalla.
Ia pun menyinggung soal batas usia capres dan cawapres. Menurutnya, Indonesia tak bisa disamakan dengan negara-negara kecil di Eropa atau Skandinavia sehingga pemimpin Indonesia dibutuhkan orang yang matang dan dewasa secara usia.
"Karena negara ini berdasarkan ketuhanan, maka tradisi di dalam pemahaman agama, bahwa usia matang seseorang itu juga harus menjadi rujukan. Jangan ditabrak, hantam kromo begitu saja. Ini bukan negara suka-suka dan uji coba,” katanya.
Kendati demikian, LaNyalla merasa sudah saatnya Indonesia menyadari bila sistem saat ini semakin kebablasan dan semakin meninggalkan Pancasila. Untuk itu, ia merasa negeri ini harus kembali ke falsafah dasar bangsa.
“Sistem yang dirumuskan pendiri bangsa itu bukan sistem Orde Baru, tetapi sistem demokrasi Pancasila murni yang belum pernah diterapkan secara benar,” pungkasnya.