Woman Human Right Defender yang juga Tergerus Hak Asasinya
loading...
A
A
A
Data ini menunjukkan bahwa WHRD yang seharusnya menjadi individu yang dapat menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan hak asasi manusia di masyarakat, masih berada dalam posisi rentan dan justru tidak menutup kemungkinan dapat menjadi korban bahkan tidak menutup kemungkinan tergerus hak asasi manusianya. Ini menggambarkan perlindungan kepada WHRD belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara.
Menelisik regulasi dan kebijakan yang berlaku berkaitan dengan perlindungan HRD sendiri, dapat diketahui bahwa secara internasional, perlindungan terhadap HRD telah menjadi perhatian dunia. Seperti melalui UN General Assembly Resolution 68/181 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pembela HAM termasuk PPHAM; Resolusi Majelis Umum PBB (A/C.3/70/L.46/Rev. 1) tahun 2015 tentang Pembela HAM; CEDAW GR No. 30 mengakui peran Pembela HAM di Indonesia dalam pencegahan konflik, konflik dan pasca konflik.
Lalu, CEDAW GR No.34 mengakui peran WHRD di pedesaan dan risiko kekerasan yang mereka hadapi saat melindungi korban, melakukan perubahan adat setempat atau menyelamatkan sumber daya alam; CEDAW GR No.35 menekankan bahwa berbagai praktik kekerasan terhadap WHRD termasuk politisi, aktivis atau jurnalis perempuan dipengaruhi oleh budaya dan ideologi patriarkis; dan terakhir adalah Deklarasi Marakesh (2018) yang mengakui pentingnya perlindungan bagi WHRD.
baca juga: Bisnis dan Hak Asasi Manusia
Sedangkan di tingkat nasional, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, UU tersebut belum memuat tentang Pembela HAM/HRD, bahkan WHRD sekalipun, walaupun semakin beragam dan meningkatnya modus kekerasan dan ancaman pada HRD.
Upaya perlindungan bagi HRD di tengah kekosongan kebijakan ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah melalui revisi Peraturan Komisi Nasional HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM sebagai satu-satunya aturan di Indonesia yang mendefinisikan Pembela HAM secara eksplisit.
Perkom ini kemudian mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menerbitkan Permen Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang merupakan aturan turunan dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta adanya upaya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024.
baca juga: Ummu Umarah, Shahabiyah Pejuang Hak Asasi Pertama dalam Islam
Meski Permen Anti SLAPP tersebut telah sampai di draft final, namun hingga saat ini Permen tersebut masih belum ditandatangani Menteri LHK.Pemerintah RI mengeluarkan beberapa regulasi tentang Pembela HAM dan jaminan perlindungan meski masih sektoral dan kurang otoritatif sementara untuk Perempuan Pembela HAM kebijakan telah mengenali adanya Perempuan Pembela HAM meski terminologinya berbeda-beda.
Menelisik kondisi ini, maka sesungguhnya berkaitan dengan tugas dan fungsi beberapa lembaga negara yang ada di Indonesia yang seharusnya memiliki peran dalam memberikan perlindungan para WHRD sesuai ketentuan perundang-undangan, baik Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Menelisik regulasi dan kebijakan yang berlaku berkaitan dengan perlindungan HRD sendiri, dapat diketahui bahwa secara internasional, perlindungan terhadap HRD telah menjadi perhatian dunia. Seperti melalui UN General Assembly Resolution 68/181 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pembela HAM termasuk PPHAM; Resolusi Majelis Umum PBB (A/C.3/70/L.46/Rev. 1) tahun 2015 tentang Pembela HAM; CEDAW GR No. 30 mengakui peran Pembela HAM di Indonesia dalam pencegahan konflik, konflik dan pasca konflik.
Lalu, CEDAW GR No.34 mengakui peran WHRD di pedesaan dan risiko kekerasan yang mereka hadapi saat melindungi korban, melakukan perubahan adat setempat atau menyelamatkan sumber daya alam; CEDAW GR No.35 menekankan bahwa berbagai praktik kekerasan terhadap WHRD termasuk politisi, aktivis atau jurnalis perempuan dipengaruhi oleh budaya dan ideologi patriarkis; dan terakhir adalah Deklarasi Marakesh (2018) yang mengakui pentingnya perlindungan bagi WHRD.
baca juga: Bisnis dan Hak Asasi Manusia
Sedangkan di tingkat nasional, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, UU tersebut belum memuat tentang Pembela HAM/HRD, bahkan WHRD sekalipun, walaupun semakin beragam dan meningkatnya modus kekerasan dan ancaman pada HRD.
Upaya perlindungan bagi HRD di tengah kekosongan kebijakan ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah melalui revisi Peraturan Komisi Nasional HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM sebagai satu-satunya aturan di Indonesia yang mendefinisikan Pembela HAM secara eksplisit.
Perkom ini kemudian mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menerbitkan Permen Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang merupakan aturan turunan dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta adanya upaya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024.
baca juga: Ummu Umarah, Shahabiyah Pejuang Hak Asasi Pertama dalam Islam
Meski Permen Anti SLAPP tersebut telah sampai di draft final, namun hingga saat ini Permen tersebut masih belum ditandatangani Menteri LHK.Pemerintah RI mengeluarkan beberapa regulasi tentang Pembela HAM dan jaminan perlindungan meski masih sektoral dan kurang otoritatif sementara untuk Perempuan Pembela HAM kebijakan telah mengenali adanya Perempuan Pembela HAM meski terminologinya berbeda-beda.
Menelisik kondisi ini, maka sesungguhnya berkaitan dengan tugas dan fungsi beberapa lembaga negara yang ada di Indonesia yang seharusnya memiliki peran dalam memberikan perlindungan para WHRD sesuai ketentuan perundang-undangan, baik Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).