Woman Human Right Defender yang juga Tergerus Hak Asasinya

Minggu, 15 Oktober 2023 - 09:51 WIB
loading...
Woman Human Right Defender yang juga Tergerus Hak Asasinya
Foto: Istimewa
A A A
Indryasari
Koordinator Hukum Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

SITUASI Perempuan Pembela Hak Asasi Manusia (P-PHAM) atau yang juga dikenal dengan Woman Human Right Defender(WHRD)masih sangat rentan. Hal ini berkaitan dengan potensi atau ancaman dan kekerasan yang mereka alami. Bagaimana perlindungannya?

baca juga: Belajar Patriotisme dan Hak Asasi Wanita dari Nusaibah binti Ka’ab Al-Ansariyah

Ancaman dan kekerasan yang dialami oleh WHRD memiliki keberagaman baik dari segi bentuk maupun aktor yang diduga melakukan. Tidak jarang bentuk ancaman dan kekerasan terhadap WHRD menyasar tubuh, seksualitas, identitas, keluarga atau bahkan pekerjaan dari WHRD tersebut.

Penyebutan WHRD sendiri muncul bukan berarti mengkhususkan perempuan dari peran pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM), namun semata karena seringkali keterlibatan WHRD dalam upaya-upaya pembelaan HAM kerap tidak diakui dan tidak terlihat.

Setidaknya terdapat dua persoalan yang dapat terpotret yang menjadi penyebab kerja-kerja WHRD kurang diakui. Pertama, ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan,di mana perempuan masih menjadi ‘warga kelas dua’dalam masyarakat. Kedua, isu perempuan masih menjadi wacana yang marjinal akibat posisi inferior perempuan tersebut.

Akibatnya, masih muncul pemikiran bahwa hak asasi perempuan adalah bagian dari hak asasi manusia (women rights is human rights) yang juga patut diperjuangkan. Padahal sesungguhnya, perempuan pembela HAM, selain berhadapan dengan risiko dan kerentanan yang juga dialami oleh rekan laki-laki pembela HAM pada umumnya. Juga berhadapan dengan risiko dan kerentanan yang berbasis gender, karena mereka perempuan, dan khususnya bila isu yang diusung adalah isu hak perempuan.

Berdasarkan data yang dihimpun dari komnasperempuan.go.id terdapat data CatahuKomnas Perempuandalam rentang 2015-2021,yang mencatat terdapat 87 kasus kekerasan terhadap WHRDyang diadukan secara langsung.Kenaikan signifikan terjadi pada dua tahun ke sebelumnya. Tahun2020 terdapat 36 kasus kekerasan, pada 2021 tercatat 23 kasus,sedangkanpada 2019 terdapat 5 kasus.

baca juga: Tragedi Pembela Hak Asasi Manusia

Selanjutnya masih berdasarkan data yang sama, bahwa berdasarkan data hasil kajian cepat kriminalisasi WHRD yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa sepanjang 2018-2021 ada 15 WHRD, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam komunitas, dari berbagai sektor, mengalami kriminalisasi. Sektor-sektor tersebut antara lain sektor sumber daya alam, anti korupsi, kekerasan berbasis gender, buruh, dan hak menentukan nasib sendiri (self-determination).

Data ini menunjukkan bahwa WHRD yang seharusnya menjadi individu yang dapat menjadi salah satu elemen kunci dalam mendorong penegakan hak asasi manusia di masyarakat, masih berada dalam posisi rentan dan justru tidak menutup kemungkinan dapat menjadi korban bahkan tidak menutup kemungkinan tergerus hak asasi manusianya. Ini menggambarkan perlindungan kepada WHRD belum sepenuhnya dilakukan dan menjadi perhatian negara.

Menelisik regulasi dan kebijakan yang berlaku berkaitan dengan perlindungan HRD sendiri, dapat diketahui bahwa secara internasional, perlindungan terhadap HRD telah menjadi perhatian dunia. Seperti melalui UN General Assembly Resolution 68/181 Tahun 2013 tentang Perlindungan Pembela HAM termasuk PPHAM; Resolusi Majelis Umum PBB (A/C.3/70/L.46/Rev. 1) tahun 2015 tentang Pembela HAM; CEDAW GR No. 30 mengakui peran Pembela HAM di Indonesia dalam pencegahan konflik, konflik dan pasca konflik.

Lalu, CEDAW GR No.34 mengakui peran WHRD di pedesaan dan risiko kekerasan yang mereka hadapi saat melindungi korban, melakukan perubahan adat setempat atau menyelamatkan sumber daya alam; CEDAW GR No.35 menekankan bahwa berbagai praktik kekerasan terhadap WHRD termasuk politisi, aktivis atau jurnalis perempuan dipengaruhi oleh budaya dan ideologi patriarkis; dan terakhir adalah Deklarasi Marakesh (2018) yang mengakui pentingnya perlindungan bagi WHRD.

baca juga: Bisnis dan Hak Asasi Manusia

Sedangkan di tingkat nasional, penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Akan tetapi, UU tersebut belum memuat tentang Pembela HAM/HRD, bahkan WHRD sekalipun, walaupun semakin beragam dan meningkatnya modus kekerasan dan ancaman pada HRD.

Upaya perlindungan bagi HRD di tengah kekosongan kebijakan ini telah dilakukan oleh berbagai pihak, salah satunya adalah melalui revisi Peraturan Komisi Nasional HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM sebagai satu-satunya aturan di Indonesia yang mendefinisikan Pembela HAM secara eksplisit.

Perkom ini kemudian mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera menerbitkan Permen Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang merupakan aturan turunan dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta adanya upaya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024.

baca juga: Ummu Umarah, Shahabiyah Pejuang Hak Asasi Pertama dalam Islam

Meski Permen Anti SLAPP tersebut telah sampai di draft final, namun hingga saat ini Permen tersebut masih belum ditandatangani Menteri LHK.Pemerintah RI mengeluarkan beberapa regulasi tentang Pembela HAM dan jaminan perlindungan meski masih sektoral dan kurang otoritatif sementara untuk Perempuan Pembela HAM kebijakan telah mengenali adanya Perempuan Pembela HAM meski terminologinya berbeda-beda.

Menelisik kondisi ini, maka sesungguhnya berkaitan dengan tugas dan fungsi beberapa lembaga negara yang ada di Indonesia yang seharusnya memiliki peran dalam memberikan perlindungan para WHRD sesuai ketentuan perundang-undangan, baik Komnas HAM, Komnas Perempuan, maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Mekanisme respon bersama tiga lembaga harus dibuat, yang nantinya akan menjadi sebuah strategi yang diharapkan dapat menjadi patron jalan keluar dalam merespon peristiwa yang dialami oleh WHRD yang mengalami ancaman dan kekerasan sebagai implikasi dari aktvitas pembelaan hak asasi manusia yang dilakukannya.*
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1756 seconds (0.1#10.140)