Jessica Oh Jessica....
loading...
A
A
A
Akhirnya, pada 21 Maret 2019, Komisaris Kinasiyumki Kimble dari Pengadilan Distrik Louisiana membuat keputusan setelah bukti sidik jari baru, yang mengecualikan Williams, dicocokkan melalui database sidik jari nasional milik Stephen Forbes, seorang pria yang juga telah melakukan serangkaian serangan seksual. Singkatnya, Archie Williams kemudian dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan Negara Bagian Louisiana setelah menjalani 36 tahun.
Anda bisa menyaksikan sendiri kisah Archie Williams ini dalam kompetisi American Got Talent. Rupanya, selama di penjara Archie belajar menyanyi dan bermain tinju.
Jika pembentukan LSM seperti The Innocence Project di atas adalah usulan pertama, maka usulam kedua saya adalah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dibentuk lembaga adhoc – yang bisa saja menjadi permanen— untuk melihat kembali berbagai kasus yang “mencurigakan” untuk dievaluasi dari awal. Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah agar setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Keadilan yang subtantif. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka putusan harus dikoreksi, direhabilitasi, atau korban dibebaskan.
Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya.
Lalau apa bedanya kedua usulan saya itu dengan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sudah ada sekarang? Ada beberapa perbedaannya. PK dibatasi waktu atau jumlahnya dan “korban” harus aktif, yang antara lain terpaksa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Pemeriksa PK juga bisa jadi orang “itu-itu saja” yang bisa diragukan integritasnya. Sedangkan dua lembaga yang saya swebut di atas, “korban” cukup melapor dengan menyertakan kronologis disertai bukti baru (jika ada), dan selanjutnya kedua lembaga itu yang aktif dan gratis.
Hukum seharusnya memang bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Hukum adalah keputusan. Hanya orang baik yang bisa membuat keputusan yang baik.
Tetapi, dalam hal putusan terhadap Jessica, perlu juga diketahui bahwa putusan itu kabarnya sudah diuji mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai Peninjauan Kembali (PK). Dan konon dalam empat sampai lima kali “pengujian” itu, tidak ada satu pun hakim yang menyatakan dissenting opinion alias pendapat yang berbeda. Semua hakim dalam setiap level meyakini bahwa Jessica adalah pelakunya. Sementara Jessica kabarnya tetap pada pendirian bahwa bukan dia pelakuknya. Itu sebabnya dia tidak mau meminta grasi kepada presiden, yang salah syaratnya adalah bahwa dia harus mengaku bersalah.
Demikian juga dengan kata pengacaranya, beberapa saksi ahli dari pihak Jessica, serta sebagian masyarakat kita. Mereka masih merasa ada yang “janggal” dalam keputusan terrhadap Jessica itu.
Apakah putusan itu benar-benar error in persona (salah orang) atau hanya ada beberapa prosedur yang kurang sempurna saja? Lalu, jika benar-benar bukan Jessica pelakunya, siapa dong? Hantu? Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa berharap bagaimana kasus ini bisa dibuat terang benderang sehingga tidak ada keraguan tengtang siapa sebenarnya pelakunya.
Anda bisa menyaksikan sendiri kisah Archie Williams ini dalam kompetisi American Got Talent. Rupanya, selama di penjara Archie belajar menyanyi dan bermain tinju.
Jika pembentukan LSM seperti The Innocence Project di atas adalah usulan pertama, maka usulam kedua saya adalah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dibentuk lembaga adhoc – yang bisa saja menjadi permanen— untuk melihat kembali berbagai kasus yang “mencurigakan” untuk dievaluasi dari awal. Tim Independen ini bisa membuka kembali semua berkas dari awal, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah jika ditemukan hal-hal yang dianggap keliru atau tidak adil. Tujuan akhir dari proses ini adalah agar setiap orang mendapatkan keadilan sesuai dengan perbuatannya. Keadilan yang subtantif. Jika ada putusan yang keliru atau rekayasa, maka putusan harus dikoreksi, direhabilitasi, atau korban dibebaskan.
Di Amerika Serikat, hal ini dilakukan dengan membentuk Conviction Review Units (CRU) di sebuah negara bagian yang mengevaluasi putusan-putusan di wilayahnya. Di Philadelphia, misalnya, ada CRU yang dapat memeriksa kembali putusan-putusan peradilan yang dianggap salah oleh pencari keadilan. Dengan syarat-syarat tertentu, misalnya, pemohon harus masih hidup dan ada bukti otentik, orang yang merasa menjadi korban bisa melaporkan kepada CRU untuk membuka serta meneliti kembali kasusnya.
Lalau apa bedanya kedua usulan saya itu dengan mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang sudah ada sekarang? Ada beberapa perbedaannya. PK dibatasi waktu atau jumlahnya dan “korban” harus aktif, yang antara lain terpaksa menyewa pengacara dengan biaya mahal. Pemeriksa PK juga bisa jadi orang “itu-itu saja” yang bisa diragukan integritasnya. Sedangkan dua lembaga yang saya swebut di atas, “korban” cukup melapor dengan menyertakan kronologis disertai bukti baru (jika ada), dan selanjutnya kedua lembaga itu yang aktif dan gratis.
Hukum seharusnya memang bukanlah sesuatu yang abstrak. Hukum adalah sesuatu yang Anda dan saya ciptakan dan wujudkan dalam pengalaman hidup sehari-hari. Dan keadilan tidak datang dari langit. Keadilan terjadi ketika orang baik membuat hal itu terjadi. Hukum adalah keputusan. Hanya orang baik yang bisa membuat keputusan yang baik.
Tetapi, dalam hal putusan terhadap Jessica, perlu juga diketahui bahwa putusan itu kabarnya sudah diuji mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai Peninjauan Kembali (PK). Dan konon dalam empat sampai lima kali “pengujian” itu, tidak ada satu pun hakim yang menyatakan dissenting opinion alias pendapat yang berbeda. Semua hakim dalam setiap level meyakini bahwa Jessica adalah pelakunya. Sementara Jessica kabarnya tetap pada pendirian bahwa bukan dia pelakuknya. Itu sebabnya dia tidak mau meminta grasi kepada presiden, yang salah syaratnya adalah bahwa dia harus mengaku bersalah.
Demikian juga dengan kata pengacaranya, beberapa saksi ahli dari pihak Jessica, serta sebagian masyarakat kita. Mereka masih merasa ada yang “janggal” dalam keputusan terrhadap Jessica itu.
Apakah putusan itu benar-benar error in persona (salah orang) atau hanya ada beberapa prosedur yang kurang sempurna saja? Lalu, jika benar-benar bukan Jessica pelakunya, siapa dong? Hantu? Sebagai rakyat kecil, kita hanya bisa berharap bagaimana kasus ini bisa dibuat terang benderang sehingga tidak ada keraguan tengtang siapa sebenarnya pelakunya.
(wur)