Masyarakat Melapor ke Polisi, Lalu?

Jum'at, 14 Juli 2017 - 08:07 WIB
Masyarakat Melapor ke Polisi, Lalu?
Masyarakat Melapor ke Polisi, Lalu?
A A A
Reza Indragiri Amriel
Peserta Community Policing Development Program, Jepang

DI MABES Polri, seorang petingginya menyatakan bahwa Polri tidak akan menindaklanjuti laporan warga terkait video "Ndeso" bikinan Kaesang, putra Presiden Jokowi. Di kantor Lembaga Perlindungan Anak Indonesia, seorang ibu dari Kalimantan mengadu bahwa laporannya tentang (dugaan) kekerasan terhadap anak gadisnya berulang kali ditolak kepolisian setempat.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa jumlah personel Polri belum ideal untuk memberikan layanan yang memenuhi ekspektasi masyarakat. Dengan kuantitas petugas yang belum proporsional, polisi dituntut cermat dalam bekerja. Termasuk terkait penanganan kasus yang dilaporkan masyarakat. Seiring dengan hal itu, dibutuhkan kearifan dalam berkomunikasi dengan publik, terutama pelapor, agar mereka bisa memaklumi ketika polisi membuat keputusan untuk mengesampingkan atau tidak menindaklanjuti laporan-laporan tertentu.

Dari sisi pelapor, kasus yang mereka laporkan kepada polisi tentu dirasa memiliki bobot serius. Setiap masyarakat, spesifiknya korban, mempunyai sensasi masing-masing atas pengalaman viktimisasi yang mereka lalui. Pengalaman viktimisasi yang berlanjut dengan keputusan melaporkannya ke polisi bisa dibilang subjektif. Kendati begitu, penyikapan polisi atas laporan orang yang merasa telah menjadi korban tersebut harus tetap objektif.

Parameter penyikapannya merujuk slogan kekinian Polri, mesti profesional, modern, dan terpercaya (promoter). Tidak sepatutnya -ambil misal- polisi menolak menindaklanjuti suatu laporan karena kasus yang dilaporkan itu dipandang mengada-ada, jika acuan serius sepelenya suatu laporan adalah pengalaman individual si polisi sendiri. Alih-alih bisa dipertanggungjawabkan sesuai parameter promoter, penolakan sedemikian rupa justru memperlihatkan bias subjektif personel polisi sendiri.

Anggapan bahwa pelapor tidak rasional perlu dikoreksi. Masyarakat (korban) yang mengadukan masalahnya ke polisi justru mengindikasikan sikap melek hukum bersangkutan. Ia paham betul bahwa hukum merupakan langkah bertanggung jawab yang harus ditempuh oleh setiap warga negara. Ia, si pelapor, menghindari tindakan main hakim sendiri. Ia juga tidak menggunakan dunia maya dan media sosial sebagai instrumen balas dendam dengan menebar ancaman, umpatan, maupun kampanye hitam. Betapa pun pelapor merasa telah tersakiti dan terugikan dalam sebuah peristiwa viktimisasi, ia tetap memperlakukan pelaku secara bermartabat.

Sebagian dengan itu, masyarakat yang melapor merupakan pertanda bahwa ia menaruh kepercayaan pada institusi kepolisian. Pelapor tahu betul tugas polisi selaku pelayan, pelindung, pengayom, sekaligus penegak hukum. Ia melapor dengan berangkat dari sebuah keyakinan atau setidaknya harapan bahwa polisi akan serius menangani laporannya tersebut.

Manakala masyarakat telah memiliki keinsafan penuh akan supremasi hukum seperti itu, maka sungguh tepat menyebut mereka sebagai warga yang rasional. Bahkan rasional dan konstitusional. Apalagi kalau secara paralel lembaga kepolisian berhasil menjelmakan dirinya sebagai pihak yang bisa diandalkan, maka diperkirakan bahwa polisi akan menerima laporan masyarakat dalam jumlah kian lama dan kian banyak. Sentra pengaduan di kantor-kantor polisi akan riuh sepanjang hari, menerima masyarakat yang mengadukan masalah mereka seraya menanti adanya solusi hukum atas itu semua.

Memang keraguan publik bahwa polisi akan sungguh-sungguh menangani laporan hanya salah satu alasan yang membuat korban memutuskan tidak melaporkan pengalaman viktimisasi mereka ke polisi. Alasan-alasan lainnya adalah korban sudah mengatasi masalahnya dengan cara selain hukum, korban merasa masalahnya tidak terlalu penting, dan kekhawatiran adanya aksi balasan dari pihak yang dilaporkan.

Khusus terkait alasan pertama, yaitu keraguan pada polisi, terdapat empat tren sebagaimana diulas Langton, Berzofsky, Krebs, dan Smiley-McDonald (2012). Pertama, keyakinan korban bahwa polisi tidak akan menganggap serius masalah yang dilaporkan. Kedua, pandangan korban bahwa polisi tidak akan bisa melakukan apa pun. Ketiga, persepsi bahwa melapor ke polisi tidak efisien dan tidak efektif. Keempat , dugaan korban bahwa polisi akan bias karena polisi memiliki kepentingannya sendiri atas masalah korban tersebut. Studi di atas dilakukan di Amerika. Namun secara tipikal, faktor-faktor itu pula yang acap menjadi pertimbangan masyarakat di sini kala urung melaporkan pengalaman viktimisasi mereka ke polisi.

Atas dasar itu semua, semestinya dibangun sikap baru bahwa berbondong-bondong masyarakat mengadukan problem mereka ke kantor polisi merupakan peristiwa yang pantas disambut dengan sukacita, bukan dengan perkataan terkesan merendahkan akal sehat pelapor. Berulangnya masyarakat melaporkan kasus mereka ke polisi tidak elok ditafsirkan sebagai watak terlalu sensitif dan terlalu ringkih (baper; bawa perasaan) pelapor. Tinggal bagaimana polisi lebih berempati terhadap setiap pelapor yang menilai dirinya telah dijahati serta selanjutnya merespons setiap laporan warga dengan bentuk-bentuk penyikapan yang -sekali lagi- promoter.

Prioritas

Ketika polisi bersikap bahwa pelapor mengada-ada dan isi laporannya sepele serta pada saat yang sama menyatakan ada kasus-kasus lain lebih penting, muncul satu pertanyaan: jenis-jenis kejahatan apa yang menjadi prioritas kerja kepolisian dalam periode tertentu?

Jawaban atas pertanyaan itu akan meletakkan dasar objektif bagi masyarakat mengukur masalah mereka sebelum melaporkannya ke polisi. Pelapor juga akan bisa memperhitungkan derajat keseriusan polisi setelah menerima laporan tersebut. Di sisi lain, polisi akan mempunyai patokan resmi tentang skala prioritas kerja mereka di tengah timbunan laporan masyarakat.

Terpenting, siapa pun pada akhir periode dimaksud akan bisa menakar kesungguhan dan keberhasilan polisi dalam menangani jenis-jenis kejahatan yang telah mereka prioritaskan tersebut. Hasil penakaran terburuk adalah ketika pada satu sisi polisi gagal mendemonstrasikan kerja yang meyakinkan dalam menangani kasus-kasus dari jenis kejahatan yang mereka prioritaskan. Sementara pada sisi lain melakukan penyepelean terhadap kasus dari jenis kejahatan nonprioritas yang publik laporkan.

Tanpa ketetapan resmi dari otoritas kepolisian mengenai jenis-jenis kejahatan yang penanganannya diutamakan, polisi akan rentan dinilai diskriminatif. Masyarakat, pelapor, dan korban, pun bisa merasa telah mengalami viktimisasi sekunder. Viktimisasi sekunder, banyak peneliti menyimpulkan, ironisnya sering diderita korban yang sesungguhnya ingin mengandalkan proses pidana sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Dampak terburuk viktimisasi sekunder adalah runtuhnya kepercayaan pada lembaga penegakan hukum dan pudarnya harapan untuk memperoleh keadilan (Orth, 2002).

Kian Kompleks

Jika pekerjaan legislasi di DPR dewasa ini dijadikan sebagai acuan, maka bagi Polri setidaknya ada dua tipe kejahatan patut berada pada prioritas tertinggi, yaitu kejahatan terkait perlindungan anak dan terorisme. Pasalnya, dua undang-undang mengenai dua jenis kejahatan itulah paling kencang mengalami revisi, dan revisi mengindikasikan tingginya atensi khalayak luas.

Satu jenis kejahatan lagi adalah bertitik tolak dari situasi penegakan hukum di Tanah Air dalam kurun sembilan bulan terakhir ini. Yakni adanya peningkatan intensitas dan kompleksitas dalam kasus-kasus kejahatan dengan kerugian tidak signifikan secara material. Pada rentang waktu tersebut, tindak kriminalitas yang mengakibatkan kerugian nonmaterial (sosiokultural dan psikologis) tampak sangat mengemuka dan menguras stamina.

Apabila diasumsikan bahwa ketiga jenis kejahatan tersebut menjadi prioritas utama polisi, maka tak pelak itu harus direspons dengan penguatan kemampuan kerja spesifik polisi. Polisi dengan kemampuan kerja yang kedaluwarsa dalam menangani tiga ragam kejahatan di atas, jelas akan menghasilkan penilaian miring terhadap sikap konsekuen lembaga kepolisian atas skala prioritas yang telah ditetapkannya sendiri.

Jangan sampai pengabaian terhadap laporan masyarakat disebabkan oleh majalnya kemampuan institusi penegakan hukum dalam menangani kasus pelik.

Allahu alam.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4523 seconds (0.1#10.140)