Episentrum Krisis Ekonomi

Kamis, 30 April 2020 - 06:41 WIB
loading...
A A A
Defisist APBN untuk tahun 2020 ditargetkan melebar dari 1,8% menjadi 5,1% dari PDB. Angka defisit tersebut didasarkan pada asumsi penerimaan mencapai Rp1.761 triliun 21% lebih rendah dibanding target sebelumnya. Asumsi belanja sebesar Rp2.614 triliun atau 3% lebih tinggi dari sebelumnya. Tambahan Anggaran Belanja Pemerintah tahun 2020 meliputi kesehatan penanganan COVID19 dan subsidi BPJS sebesar Rp75 triliun. Jaring Pengaman Sosial Rp110 triliun. Dukungan terhadap industry berupa pajak impor dan lain senilai Rp70 triliun. Pendanaan Program Penyehatan Ekonomi Nasional sebesar Rp150 triliun. Total tambahan Rp405.1 triliun.

Pembiayaan defisit sebesar ini direncankan berasal dari beberapa sumber sisa lebih anggaran tahun-tahun sebelumnya. Endowment fund yang dikeleola Kementerian Keuangan misalnya LPDP, dana yang dikelola Badan Layanan Umum, Penerbitan surat utang berdenominasi IDR dan valas, pinjaman luar negeri dari lembaga bilateral dan multilaterar, serta penerbitan surat utang baru yang diberi label “Pandemi Bond”.

Dalam prakteknya, tidaklah mudah untuk merealisasi target defisit sebesar 5,1%. Kendala akan bersumber pada beberapa factor. Pertama, target penerimaan kemungkinan besar akan meleset. Turun tajamnya level keseimbangan supplay-demand memberikan indikasi bahwa realisasi penerimaan pajak di 2020 akan mirip dengan kondisi di tahun 2018 atau tahun 2019. Lebih mudah membayangkan turunnya prospek penerimaan PPh dan PPN sebagai konsekuensi dari turunya aktivitas ekonomi.

Berbagai macam tax-break serta penurunan tarif pajak badan dari 25% ke 22% akan menggerus penerimaan pajak secara cukup signifikan. Jatuhnya harga minyak juga akan mengurangi penerimaan non pajak. Rata-rata harga Brent di tahun 2020 diperkirakan turun ke angka USD 40 per barel versus rata-rata harga Brent USD 65 per barel di tahun 2019. Sementara rata-rata kurs Rupiah ke Dollar berada di 15.625 di tahun 2020. Yang artinya rata rata depresiasi sebesar 10% dibanding tahun 2019. Turunya harga minyak sebanyak hampir 40% tidak ter-offset oleh naiknya penerimaan rupiah akibat depresiasi IDR.

Indonesia Memasuki Resesi

Episentrum krisis yang tersebar di semua belahan dunia menyebabkan investor obligasi di banyak negara akan lebih mengarahkan amunisi mereka untuk membantu pembiayaan fiskal di negara masing-masing. Bank Indonesia memberikan solusi moneter untuk membantu pembiayaan fiskal yaitu lewat peningkatan rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan penurunan rasio GWM dengan proporsi yang sama.

Solusi moneter ini akan mendorong perbankan untuk mengalokasikan IDR 100 triliun untuk menyerap penerbitan obligasi pemerintah di pasar primer. Akibatnya, kebutuhan penerbitan kotor (gross insurance) obligasi pemerintah sebesar lebih kurang Rp. 900 triliun diharapkan mampu dijembatani lewat operasi perbankan. Dengan pertimbangan realisasi defisit APBN berada di kisaran 4,5% dari PDB alias lebih rendah 0,57% dibanding target.

Indonesia setidaknya pernah mengalami krisis ekonomi dunia tahun 1998, 2008 dan tahun 2020. Namun krisis tahun 1998 dan 2008 tidak bisa dibandingkan dengan krisis tahun 2020. Krisis tahun 1998 dipicu krisis coorporasi namun tidak semua negara terdampak. Krisis tahun 2008 dipicu oleh krisis keuangan global, tapi transaksi antar negara masih berjalan. Krisis tahun 2020 berdampak multi dimensi. Seluruh negara terkena, seluruh negara terhenti kegiatan businessnya. Semua negara menutup diri. Seluruh negara mengalami pengangguran dan defisit anggaran. Hanya prosentasi dan daya tahan masing masing negara yang berbeda.

Dengan kondisi mikro maupun makro bisa dikatakan kita memasuki resesi ekonomi tahun 2020. Tingginya ketidakpastian akan lintasan data serta perubahan fundamental dalam hubungan antar variable akibat perubahan perilaku membuat gambaran ekonomi jadi berbeda. Fakta menunjukan pertumbuhan ekonomi di kwartal 1 tahun 2020 akan lebih rendah dari kwartal keempat tahun 2019, bahkan bila memperhitungkan faktor musiman.

Pertumbuhan PDB juga akan negatif di kwartal kedua tahun 2020. Untuk keseluruhan tahun 2020, pertumbuhan PDB hanya mencapai 1,8% year to year dengan rata rata inflasi di angka 2,7%. Tingkat pengangguran cukup konsisten dengan definisi pengangguran terbuka yang dianut Indonesia adalah 8%. Yang akan naik tajam adalah jumlah pekerja paruh waktu dan setengah menganggur. Dengan demikian, krisis 2020 akan mengubah komposisi angkatan kerja Indonesia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2563 seconds (0.1#10.140)