Digitalisasi Terorisme: Mengkaji Makna Menimbulkan Rasa Takut Secara Meluas di UU No 5/2018

Senin, 02 Oktober 2023 - 18:36 WIB
loading...
A A A
Selama ini, perekrutan dan indoktrinasi dilakukan secara manual yakni di tempat ibadah, harus bertatap muka, menyediakan tempat dan waktu untuk berkumpul. Sementara, dengan adanya media sosial, para oknum dapat melakukan aktivitas yang sama, namun menjangkau lapisan masyarakat yang lebih luas, baik secara usia, gender, dan keadaan sosio-ekonomiknya.

Peran Media Sosial Terhadap Penyuburan Radikalisme dan Terorisme

Terdapat 4 (empat) peran utama media sosial sebagai medium aksi radikalisme dan terorisme untuk menyebarkan teror secara luas. Pertama, aksi kekerasan yang semula dilakukan dengan unsur di hadapan publik berubah dengan media sosial, dimana para pelaku dapat mengunggah video menebar teror yang dapat dilakukan di tempat terpencil dan dilakukan segelintir orang, namun karena direkam dan disebarkan, maka para netizen yang menonton dapat terdampak dan mengalami kerisauan secara psikis, sehingga tujuan utama menyebarkan rasa takut secara massal juga tercapai tanpa perlu memikirkan risiko diringkus penegak hukum.

Kedua, munculnya berbagai akun dan konten di dunia maya bernuansa radikal kepada penonton maupun pembacanya sebagai calon dari mereka yang berpotensi untuk didoktrinasi paham radikalisme dan terorisme. Upaya ini akan beranjak pada poin ketiga, yakni proses perekrutan atau pembacaan baiat yang dapat dilakukan secara online, yang mana dapat terfasilitasi melalui group media sosial. Keempat, karena dunia sudah menjadi semakin bordeless, maka media sosial dapat dimanfaatkan teroris nasional untuk berafiliasi dengan jaringan terorisme internasional termasuk didalamnya menjalin kerjasama maupun mencontoh tindakan aksi teror yang dilakukan oleh organisasi teroris di belahan dunia lain.

Fenomena digitalisasi radikalisme ini berdampak pada peningkatan kuantitas rekrutmen calon teroris, dan melahirkan kesulitan untuk melacak pergerakan maupun menentukan pelaku terorisme dikarenakan domisili dan perekrutan yang sporadis dari segi lokasi, usia, pekerjaan, dan gender, mengingat tidak ada yang dapat memastikan siapa yang sudah resmi mendaftar, atau siapa yang masih sekedar tertarik dan menonton, maupun menentukan motif terhadap rencana melakukan aksi terorisme tersebut. Begitu renggangnya kebebasan yang ditawarkan sosial media untuk penyebaran paham radikalisme dan terorisme juga membuka peluang lebar untuk netizen segala usia dapat terpapar tanpa memperhatikan apakah netizen tersebut sudah memiliki kedewasaan literasi untuk dapat membedakan mana konten yang salah ataupun benar.

Upaya Pemerintah Terkait Digitalisasi Terorisme

Karena kesuburan teknologi dan pemanfaatan sosial media sudah tidak dapat terelakkan lagi, maka yang dapat dilakukan pemerintah adalah melakukan manajemen konflik secara preventif dan bukan hanya fokus secara represif saja. Salah satunya dapat dicapai dengan menyusun regulasi terhadap pencegahan dan penindakan radikalisme dan terorisme, termasuk didalamnya mengkiriminalisasi pihak yang masih berindikasi untuk menyebarkan paham radikalisme.

Walaupun masih bahaya laten, namun upaya bagi pemerintah untuk melakukan screening, dan sweeping akun yang memiliki potensi menyebarkan paham radikalisme dan aksi terorisme yang berdampak pada peningkatan kuantitas doktrinasi menjadi teroris, ataupun melakukan take down konten aksi kekerasan terorisme yang membuat publik merasa takut.

Kemudian, penegak hukum diberikan wewenang untuk menetapkan tersangka semua pihak yang terlibat dalam hal konten dan akun sosial media tersebut, karena apabila hanya melakukan take down, maka tidak menutup kemungkinan bagi oknum tersebut untuk membuat konten radikal dengan akun sosial media lain.
(cip)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1763 seconds (0.1#10.140)