BNPT Sebut Kelompok Radikal Bentuk Militansi Perempuan melalui Budaya Patriarki
loading...
A
A
A
JAKARTA - Banyak budaya dan tradisi di Indonesia yang cenderung patriarkis atau menempatkan posisi pria di atas wanita. Budaya inilah yang dimanfaatkan kelompok radikal untuk melakukan brainwashing terhadap banyak perempuan Indonesia. Imbasnya banyak perempuan yang terlibat jaringan teroris, termasuk keikutsertaan anak-anak mereka.
Kepala Seksi Analisis Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Leebarty Taskarina menjelaskan, patriarkisme di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam penyebaran paham radikal pada kaum perempuan. Pasalnya, patriarkisme memiliki korelasi dengan kerentanan perempuan untuk terpapar paham radikal.
Hal ini sebagaimana temuan studi yang pernah dilakukan Leebary. Dari 20 perempuan pelaku terorisme, ditemukan fakta bahwa ajakan keluarga, dalam hal ini khususnya pasangan/suami dan saudara laki-laki, menjadi salah satu penyebab terbesar perempuan terlibat aksi teror.
"Parahnya lagi, perbuatan keji yang perempuan itu lakukan dianggap sebagai sebuah bentuk ketaatan terhadap suaminya. Hal ini juga menandakan bahwa aksi teror yang dilakukan perempuan tidak bisa lepas dari pengaruh dominasi laki-laki terhadapnya," kata Leebarty dalam keterangannya dikutip, Selasa (11/3/2024).
Leebarty mengungkapkan, paradigma masyarakat Indonesia secara umum masih cenderung membatasi kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri mereka. Fenomena ini yang dilihat sebagai suatu kesempatan oleh jaringan teror.
Kelompok radikal dan jaringannya seolah-olah memberikan kesempatan pada perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan bisa berada di garis terdepan perjuangan agama. Karena hal tersebut, perjuangan agama melalui kekerasan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa.
"Oleh karena itu, agensi dan semi otonomi perempuan dalam aktivitas terorisme sejatinya dilatari pengalaman penindasan, viktimisasi, manipulasi, dan mistifikasi yang mendahului yang seluruhnya berakar dari budaya patriarki," papar Leebarty.
Ia menekankan, perlu edukasi yang lebih komprehensif agar perempuan Indonesia mengerti bahwa jihad semestinya tidak didefinisikan begitu saja tanpa konteks waktu, ruang, dan tujuan. Penting ditanamkan pemahaman bahwa terorisme tidak berada dalam satu napas dengan pemaknaan jihad, bahkan jihad dapat direalisasikan dengan cara-cara positif dan sederhana dalam kehidupan perempuan sehari-hari.
BNPT yang mewakili pemerintah Indonesia dalam persoalan ini, hadir untuk ikut menentukan arah kebijakan nasional yang nantinya akan menghasilkan penurunan angka keterlibatan perempuan dalam gerakan teror. Dalam menangani isu keterlibatan perempuan, Leebarty menerangkan bahwa BNPT melakukan pendekatan dari berbagai aspek, seperti ideologi, psikososial, ekonomi, dan regulasi.
Menurut pendiri dan Ketua Komunitas Perempuan Peduli Toleransi (KPP) ini, aspek ideologi mencakup hadirnya pendidikan melalui kurikulum yang moderat dan menyerukan perdamaian antar golongan. Nilai toleransi juga harus ditegakkan secara maksimal melalui kementerian terkait.
Kepala Seksi Analisis Intelijen Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Leebarty Taskarina menjelaskan, patriarkisme di Indonesia memiliki andil yang cukup besar dalam penyebaran paham radikal pada kaum perempuan. Pasalnya, patriarkisme memiliki korelasi dengan kerentanan perempuan untuk terpapar paham radikal.
Hal ini sebagaimana temuan studi yang pernah dilakukan Leebary. Dari 20 perempuan pelaku terorisme, ditemukan fakta bahwa ajakan keluarga, dalam hal ini khususnya pasangan/suami dan saudara laki-laki, menjadi salah satu penyebab terbesar perempuan terlibat aksi teror.
"Parahnya lagi, perbuatan keji yang perempuan itu lakukan dianggap sebagai sebuah bentuk ketaatan terhadap suaminya. Hal ini juga menandakan bahwa aksi teror yang dilakukan perempuan tidak bisa lepas dari pengaruh dominasi laki-laki terhadapnya," kata Leebarty dalam keterangannya dikutip, Selasa (11/3/2024).
Leebarty mengungkapkan, paradigma masyarakat Indonesia secara umum masih cenderung membatasi kesempatan perempuan untuk mengembangkan diri mereka. Fenomena ini yang dilihat sebagai suatu kesempatan oleh jaringan teror.
Kelompok radikal dan jaringannya seolah-olah memberikan kesempatan pada perempuan untuk bisa setara dengan laki-laki dan bisa berada di garis terdepan perjuangan agama. Karena hal tersebut, perjuangan agama melalui kekerasan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum hawa.
"Oleh karena itu, agensi dan semi otonomi perempuan dalam aktivitas terorisme sejatinya dilatari pengalaman penindasan, viktimisasi, manipulasi, dan mistifikasi yang mendahului yang seluruhnya berakar dari budaya patriarki," papar Leebarty.
Ia menekankan, perlu edukasi yang lebih komprehensif agar perempuan Indonesia mengerti bahwa jihad semestinya tidak didefinisikan begitu saja tanpa konteks waktu, ruang, dan tujuan. Penting ditanamkan pemahaman bahwa terorisme tidak berada dalam satu napas dengan pemaknaan jihad, bahkan jihad dapat direalisasikan dengan cara-cara positif dan sederhana dalam kehidupan perempuan sehari-hari.
BNPT yang mewakili pemerintah Indonesia dalam persoalan ini, hadir untuk ikut menentukan arah kebijakan nasional yang nantinya akan menghasilkan penurunan angka keterlibatan perempuan dalam gerakan teror. Dalam menangani isu keterlibatan perempuan, Leebarty menerangkan bahwa BNPT melakukan pendekatan dari berbagai aspek, seperti ideologi, psikososial, ekonomi, dan regulasi.
Menurut pendiri dan Ketua Komunitas Perempuan Peduli Toleransi (KPP) ini, aspek ideologi mencakup hadirnya pendidikan melalui kurikulum yang moderat dan menyerukan perdamaian antar golongan. Nilai toleransi juga harus ditegakkan secara maksimal melalui kementerian terkait.