Digitalisasi Terorisme: Mengkaji Makna Menimbulkan Rasa Takut Secara Meluas di UU No 5/2018

Senin, 02 Oktober 2023 - 18:36 WIB
loading...
Digitalisasi Terorisme: Mengkaji Makna “Menimbulkan Rasa Takut Secara Meluas” di UU No 5/2018
Emi Wiranto Mahasiswi Program Doktoral Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian. Foto/SINDOnews
A A A
Emi Wiranto
Mahasiswi Program Doktoral Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian

SEPERTI yang kita ketahui bersama, dalam bingkai yuridis, salah satu elemen utama dari pengertian terorisme termaktub dalam Pasal 1 dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 (perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003), yakni mendefinisikan terorisme sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas. Sejurus, tidak ada yang janggal dari pengertian tersebut.

Namun, pertanyaan lebih menarik patut untuk direnungkan: apa maksud dari “rasa takut secara meluas”? Bagaimana cara mengukur bahwa dalam suatu masyarakat telah mengalami rasa takut? Dan parameter apa yang dapat menyatakan bahwa rasa takut tersebut sudah “meluas”¬¬—apakah kecemasan yang dialami oleh sekelompok warga di satu kecamatan sudah dapat dikategorikan sebagai rasa takut yang meluas? Apakah tiga netizen yang masing-masing berdomisili secara fisik di Kota Jakarta, Palembang, dan Pontianak yang merasa risau ketika mendengar adanya aksi bom bunuh diri di Surabaya pada tahun 2018 juga sudah mewakilkan kondisi perluasan ketakutan tersebut? Tentu saja, rangkaian pertanyaan tersebut akan sangat berimplikasi terhadap penegakkan hukum, terutama dalam hal menentukan penentuan unsur pidana apakah suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai aksi terorisme sebagaimana dengan apa yang sudah diatur oleh undang-undang positif di Indonesia.

Mungkinkah Penyebaran Ketakutan Terjadi Secara Digital?

Untuk memahami pengertian terorisme sebagaimana Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018, maka pembaca perlu mempertimbangkan konteks sosial dan kultural masyarakat Indonesia dan modus operandi terorisme pada kala itu. Dahulu, tidak dipungkiri bahwa aksi menebarkan ketakutan kerap dilakukan secara langsung. Dimana pelaku terorisme melancarkan pengeboman, penembakan, maupun perbuatan eksplisit lain di Tengah-tengah keramaian publik, yang mana sasarannya menargetkan kerusakan maupun kehancuran terhadap objek vital yang strategis.

Terdapat banyak sekali kasus yang dapat dijadikan contoh, semisal Bom Bali tahun 2002, serangan teror Sarinah di tahun 2016, kerusuhan Mako Brimob di tahun 2018, atau pengeboman Gereja Katedral Makassar di penghujung tahun 2021, serta ledakan bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar di tahun 2022. Sederetan contoh berikut menggambarkan bagaimana para teroris akan mencoba melakukan kekerasan yang dilakukan untuk merusak fasilitas umum maupun sarana prasarana yang esensial bagi publik.

Terlebih, bilamanapun bukan membidik target kepada objek vital, maka yang menjadi sasaran adalah tokoh masyarakat selaku figur publik—semisal, penusukan Wiranto selaku Menko Polhukam di tahun 2019 silam—yang terlepas apapun motifnya baik itu demi ideologi, politik, maupu gangguan keamanan—telah berhasil menggegerkan publik. Tindakan-tindakan inilah kelak dinilai sebagai suatu aksi terorisme yang sudah berhasil menyebarkan ketakutan secara luas karena bersifat massal dan dilakukan secara terbuka di ruang publik.

Adapun, hingga saat ini, belum ada penjelasan konkrit apakah media sosial dan aktivitas dunia maya agar dapat diperhitungkan juga sebagai media untuk menyebarkan ketakutan secara luas. Perkembangan teknologi informasi dewasa ini sangat signifikan. Mayoritas masyarakat terlepas kelas sosialnya sudah menginkorporasikan alat-alat elektronik untuk mempermudah kelangsungan hidup dalam bermasyarakat sehari-hari.

Dari rombongan pemakai gadget dan handphone tersebut, berapa banyak yang memiliki media sosial sebagai wadah berkomunikasi dan bertukar informasi? Bermedia sosial merupakan alternatif interaksi sosial yang sangat diminati mengingat platform yang ada di dunia maya membuat tata masyarakat menjadi terlepas dari batasan ruang dan waktu, yang mana komunikasi harus dilakukan dengan bertemu fisik, namun keuntungan dari kemajuan teknologi telah memampukan serta memudahkan untuk mengakselerasi persebaran informasi menjangkau pihak-pihak lain tanpa mempedulikan variabel jarak dan tempat.

Kemudian, keuntungan lain dari bermedia sosial adalah memangkas ongkos transportasi dan logistik, sebagaimana yang harus dikerahkan semisal seorang harus membayar biaya bahan bakar, tiket transportasi umum, atau harga jasa antar dokumen surat jika ingin melakukan korespondensi antar satu dengan lain. Sekarang bayangkan semua kemudahan tersebut juga dimanfaatkan untuk kepentingan penyebaran paham radikalisme terorisme.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1571 seconds (0.1#10.140)