BNPT Gelar FGD Peran Media Massa Cegah Radikal Terorisme

Rabu, 20 Maret 2024 - 17:49 WIB
loading...
BNPT Gelar FGD Peran Media Massa Cegah Radikal Terorisme
BNPT menggelar diskusi Focus Group Discussion (FGD) berjudul Peran Media Massa dalam Pencegahan Radikal Terorisme, di Jakarta, Selasa (19/3/2024). FOTO/MPI/NURIWAN TRIHENDRAWAN
A A A
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Teroris ( BNPT ) menggelar diskusi Focus Group Discussion (FGD) berjudul Peran Media Massa dalam Pencegahan Radikal Terorisme , di Jakarta, Selasa (19/3/2024). Diskusi menghadirkan narasumber Direktur Pencegahan BNPT Prof Irfan Idris, Wakil Ketua Dewan Pers Muhammad Agung Dharmajaya, dan pengamat terorisme Irjen Pol (Purn) Hamli.

Direktur Pencegahan BNPT Prof Irfan Idris mengatakan, metamorfosa dan tranformasi gerakan kelompok radikal terus berubah dalam bentuk nama organisasi dan pola gerakannya. "Kini cenderung bergerak di bawah permukaan. Juga terjadi tren peningkatan proses radikalisasi di kalangan perempuan, anak dan remaja," kata Irfan.

Menurutnya, sesuai dengan 7 program prioritas BNPT 2024, media massa harus ikut terlibat aktif menyukseskan program BNPT. Sebab tanggung jawab pencegahan radikal terorisme merupakan tanggung jawab bersama dan membutuhkan kerjasama dari seluruh pihak.

"Kunci dalam upaya pencegahan dan penanggulangan paham intoleransi, radikalisme, dan terorisme adalah public awareness, community engagement, community resilience, dan national resilience. Keempat hal ini sekiranya bisa diwujudkan dengan keterlibatan media massa dan pers," kata Irfan.

Irfan mengatakan, pertemuan kali ini adalah salah satu bentuk sinergi pemerintah, dalam hal ini BNPT sebagai leading sector penanggulangan terorisme dengan kalangan media. "Pers harus bisa bersinergi dalam upaya membangun deteksi dini dan daya tangkal masyarakat melalui pemberitaan yang akurat, inspiratif, dan bertanggung jawab," kata Irfan.

Sementara itu, pengamat terorisme, Irjen Pol (Purn) Hamli mengatakan, hal-hal yang memicu mudah masuknya propaganda di antaranya adalah faktor solidaritas komunal, dendam, serta ketidakmampuan literasi atau pengetahuan dalam memahami agama, serta adanya perasaan diperlakukan tidak adil.

"Di hulu, masuknya ideologi transnasional ke Indonesia seperti ikhwanul muslimin, Hizbut Tahrir (HT), salafi wahabi, salafi jihad, syiah dan jamaah tabligh membawa agendanya masing-masing," kata Hamli.

Hamli menjelaskan, ideologi transnasional itu melakukan propaganda, sikap diri yang merasa paling benar dan suci. Faktor ini yang menjadi pintu yang mudah dimasuki oleh ideologi transnasional tersebut yang berbahaya.

"Di hilirnya adalah, kita kenal Jamaah Islamiyah (JI)didirikan oleh Ustaz Abu Bakar Basyir (ABB) kelompok yang paling militan, kemampuan endurance atau ketahanannya yag cukup kuat, termasuk Jamaah Ansharud Daulah (JAD)," kata Hamli.

Hamli mengungkapkan, saat ini JI masih melakukan propaganda dengan cara yang lebih halus, rekrutmen tetap berjalan, militan dan bisa me-maintainance orang-orangnya. Sedangkan, JAD, sejak penangkapan anggotanya cukup banyak, organisasi ini mulai mencari bentuk baru lagi.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1257 seconds (0.1#10.140)