Tok, MK Tolak Gugatan Perppu Cipta Kerja
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker) dengan Nomor Perkara 54/PUU-XXI/2023. Mahkamah menilai gugatan tersebut dinilai tak beralasan menurut hukum.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan perkara tersebut di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (2/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar mengatakan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Lalu, Permohonan para Pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan formil. "Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonanan a quo. Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," jelas Anwar.
Seperti diketahui, perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 itu digugat 43 elemen. Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu, 31 Mei 2023 tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerjayang semula merupakan Perppu Cipta Kerja disahkan dalam masa reses.
Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan.
Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.
Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman dalam sidang putusan perkara tersebut di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin, (2/10/2023).
Dalam konklusinya, Anwar mengatakan Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo. Lalu, Permohonan para Pemohon diajukan masih dalam tenggang waktu pengajuan permohonan formil. "Para Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonanan a quo. Pokok permohonan para Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," jelas Anwar.
Seperti diketahui, perkara nomor 54/PUU-XXI/2023 itu digugat 43 elemen. Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu, 31 Mei 2023 tersebut, Pemohon mendalilkan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada UU P3. Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerjayang semula merupakan Perppu Cipta Kerja disahkan dalam masa reses.
Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.
Selain itu, dalam permohonannya, Pemohon juga menjelaskan, ketakutan terhadap krisis ekonomi global yang dikhawatirkan akan berdampak ke perekonomian Indonesia merupakan alasan kedaruratan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sangat tidak beralasan.
Pemohon juga menegaskan pada permohonannya bahwa tidak ada kekosongan hukum yang harus dijawab karena undang-undang yang ada masih mampu menjawab permasalahan hukum yang timbul di masyarakat.
Terakhir, regulasi tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap putusan MK (contempt of constitutional court) adalah preseden buruk yang dilakukan oleh Presiden dan memberikan contoh bahwa putusan MK dapat tidak dihormati.