Pulihkan Kondisi, Pemerintah Diminta Tak Diskriminasi Perempuan

Senin, 03 Agustus 2020 - 15:17 WIB
loading...
Pulihkan Kondisi, Pemerintah Diminta Tak Diskriminasi Perempuan
Maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak, termasuk di masa pandemi virus Corona (Covid-19), terus menggugah sejumlah aktivis perempuan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Maraknya kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan anak , termasuk di masa pandemi virus Corona (Covid-19), terus menggugah sejumlah aktivis perempuan. (Baca juga: Presiden Jokowi Sebut Dua Minggu Ini Kita Fokus Kampanye Pakai Masker)

Ironisnya lagi, persoalan itu ditambah dengan dicoretnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. (Baca juga: PB IDI Bilang Hanya Fokus pada Ekonomi Tidak Akan Ada Artinya)

Pendiri Institut Perempuan Rotua Valentina Sagala menuding negara belum hadir melindungi rakyat, khususnya perempuan dan anak yang kerap menjadi korban kekerasan.

Padahal, Indonesia telah menjadi bagian internasional yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan dan telah menerbitkan UU Nomor 7 Tahun 1984.

"Baru-baru ini Indonesia sudah memasukkan laporan kedelapan dan Komite CEDAW sudah merespon dengan memberikan sejumlah daftar isu. Di dalamnya ada terkait dampak dari Covid-19 terhadap hak asasi perempuan dan kesetaraan gender," terang Valen, Senin (3/8/2020).

Ada tiga hal yang diminta Komite CIDEW untuk menjadi perhatian dari negara Indonesia. Pertama, terkait dengan upaya-upaya efektif untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Berikutnya yaitu equal participation. Komite CIDEW mempertanyakan Indonesia untuk memastikan agar ada upaya-upaya konkret adanya partisipasi dari perempuan dalam segala level terkait penanganan Covid-19.

Terlebih lagi, pemerintah juga baru membentuk Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi. Ia berharap agar perempuan juga dapat berpartisipasi dari organ yang dibuat pemerintah untuk menangani masalah kesehatan dan ekonomi.

"Kalau tidak ada partisipasi dalam hal decision making atau pengambilan keputusan, termasuk juga penyusunan rencana, (maka) masalah akan terus berlanjut dan menimbulkan kefatalan," imbuhnya.

Ketiga lanjut Valen, yaitu kepastian adanya pemanfaatan yang sama (equal benefit) antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut berkaitan juga dalam kebijakan paket stimulus, realokasi APBN/APBD yang dibenarkan melalui Perppu 1/2020 dan telah sah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020 mencakup kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan Corona.

Menurutnya, semua kebijakan itu penting untuk dipertanyakan agar negara betul-betul memastikan adanya pemanfaatan yang sama, terutama pada kelompok-kelompok perempuan marjinal. Tak terkecuali juga, pemerintah harus memperhatikan persoalan perempuan menyangkut kesehatan seksual dan reproduksi.

"Tanpa ini semua, respons penanganan Covid-19 tidak akan menghadirkan negara untuk melindungi perempuan," tukasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2759 seconds (0.1#10.140)