Korona, Kiai, dan Immune Booster

Kamis, 30 April 2020 - 06:30 WIB
loading...
Korona, Kiai, dan Immune Booster
Akh. Muzakki Sekretaris PWNU Jawa Timur, Guru Besar dan Dekan FISIP UINSA Surabaya. Foto/Ist
A A A
Akh. Muzakki
Sekretaris PWNU Jawa Timur, Guru Besar dan Dekan FISIP UINSA Surabaya

MUNGKIN Anda sering mendengar kalimat ini: “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!”. Mungkin pula Anda pernah menyimak ungkapan seperti ini: “Tenanglah, tak perlu takut korona. Jangan gelisah. Pasrahlah kepada Allah.”

Kalimat-kalimat tersebut banyak beredar di medsos dan berbagai pemberitaan saat ini. Ya, saat virus korona menyebar dengan cepatnya di negeri ini. Penularannya dahsyat. Dan, siapa pun tercengang tanpa kuasa mengendalikannya.

Kalimat dan ungkapan di atas keluar dari lisan kiai. Dan, sejumlah kiai merasa harus menyebarkan nasihat-nasihat itu kepada publik dalam “bahasa” agama, tidak dengan bahasa selainnya yang membuat mereka melebihi kapasitasnya sebagai pemegang otoritas keagamaan.

Lalu pertanyaannya, bagaimana membaca nasihat para kiai seperti yang tercermin dalam untaian kalimat dan ungkapan di atas? Apakah para kiai itu kehilangan akal sehat? Apakah para kiai itu sudah kehilangan nalar dan logika yang waras?

Tentu, kemunculan pertanyaan-pertanyaan tersebut terjadi di benak sejumlah warga masyarakat dengan menabrakkan untaian kalimat dan ungkapan para kiai di atas dengan fakta yang terjadi di lapangan, yakni bahwa virus korona menyebar dengan cepatnya, mengenai siapa saja tanpa pandang bulu (jabatan, agama, ras, etnis, dan kelompok sosial apa pun), serta melumpuhkan hampir semua sektor kehidupan.

Dahsyatnya tingkat persebaran dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan membuat virus korona lalu menjadi “musuh bersama” masyarakat. Namun, masyarakat sendiri juga tak tahu harus bagaimana melawan virus korona itu karena antivirusnya juga belum ditemukan dan amunisi yang dibutuhkan pemerintah untuk memunculkan antivirusnya serta menurunkan daya sebarnya juga memakan biaya yang superbesar.

Lalu, situasi itu memberikan tekanan yang sungguh kuat nan besar kepada semua pihak. Maka, galau, resah, gelisah, dan takut yang menghantui hampir semua orang adalah konsekuensi logis dari lemahnya kuasa berbagai pihak dalam mencegah, menangani, dan sekaligus menyelesaikan dampak medis, sosial, dan ekonomi dari virus korona di atas.

Dalam situasi seperti itu, lalu sejumlah masyarakatpun tampak mempertanyakan nasihat para kiai di atas. Sebagian mereka mungkin selanjutnya mempermasalahkan ungkapan “Jangan takut kepada korona; takutlah kepada Allah SWT!” dan sejenisnya di atas. Bahkan, sebagian lainnya tampak cenderung mencibir para kiai karena nasihat keagamaannya tersebut dianggap menabrak prinsip kesehatan-medis.

Dalam hemat saya, membaca kalimat dan ungkapan para kiai yang dikeluarkan sebagai nasihat kepada warga masyarakat di atas tak seharusnya berhenti pada uraian verbatimnya. Kalimat dan ungkapan oleh sejumlah kiai di atas harus diletakkan dalam konteks serta ranah kejiwaan dan spiritualitas publik.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1028 seconds (0.1#10.140)