Pemerintah Diminta Telaah Dampak Menyeluruh Sebelum Terbitkan PP UU Kesehatan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta menelaah dampak secara menyeluruh saat menyusun Peraturan Pemerintah (PP) terkait produk tembakau sebagai aturan turunan Undang-Undang ( UU) Kesehatan . Permintaan itu berkaitan dengan banyaknya wacana larangan terhadap produk tembakau , mulai dari penjualan rokok eceran, iklan, hingga dorongan untuk alih tanam dalam draf regulasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), I Ketut Budhyman Mudara mengatakan, ketika UU Kesehatan masih berbentuk draf dan belum disahkan DPR, publik sempat dikagetkan dengan pasal yang menyetarakan produk tembakau dengan narkotika. Setelah mendapat masukan dari banyak pihak, pasal tersebut akhirnya dihapus.
Ketut melanjutkan, masalah yang sama kini terjadi saat penyusunan aturan turunannya meski dengan narasi berbeda. Walau tidak disetarakan lagi dengan narkotika, tapi sejumlah wacana larangan terhadap produk tembakau di draf aturan turunan UU Kesehatan ini adalah bentuk baru untuk memposisikan produk tembakau seolah produk terlarang.
"Padahal di UU Kesehatan sebagai payung hukumnya tidak melarang penjualan dan promosi produk tembakau," kata Ketut.
Di luar rezim kesehatan, kata Ketut, sebenarnya pemerintah memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap eksistensi industri hasil tembakau. Sebab, industri ini memiliki kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara dan dalam penyerapan tenaga kerja.
"Ada 1,5 juta petani cengkih, ada pedagang rokok eceran, dan pekerja pabrik. Itu kan diperkirakan ada jutaan orang yang terlibat di industri ini," katanya.
Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur, K Mudi mengatakan, ketika bicara tentang harmonisasi regulasi, semestinya tidak boleh ada pertentangan antara bunyi peraturan dalam UU dengan peraturan pelaksananya, termasuk PP.
"Tugas kami belum berakhir karena isunya kan harmonisasi aturan ini. Artinya konsentrasi kita juga akan ke sana lagi. Supaya harmonisasi PP 109/2012 itu jangan dilakukan perubahan. Cukup dengan PP itu saja lah, tinggal diberlakukan secara efektif," katanya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Cengkih Indonesia (APCI), I Ketut Budhyman Mudara mengatakan, ketika UU Kesehatan masih berbentuk draf dan belum disahkan DPR, publik sempat dikagetkan dengan pasal yang menyetarakan produk tembakau dengan narkotika. Setelah mendapat masukan dari banyak pihak, pasal tersebut akhirnya dihapus.
Ketut melanjutkan, masalah yang sama kini terjadi saat penyusunan aturan turunannya meski dengan narasi berbeda. Walau tidak disetarakan lagi dengan narkotika, tapi sejumlah wacana larangan terhadap produk tembakau di draf aturan turunan UU Kesehatan ini adalah bentuk baru untuk memposisikan produk tembakau seolah produk terlarang.
"Padahal di UU Kesehatan sebagai payung hukumnya tidak melarang penjualan dan promosi produk tembakau," kata Ketut.
Di luar rezim kesehatan, kata Ketut, sebenarnya pemerintah memiliki kepentingan yang sangat besar terhadap eksistensi industri hasil tembakau. Sebab, industri ini memiliki kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara dan dalam penyerapan tenaga kerja.
"Ada 1,5 juta petani cengkih, ada pedagang rokok eceran, dan pekerja pabrik. Itu kan diperkirakan ada jutaan orang yang terlibat di industri ini," katanya.
Di kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Timur, K Mudi mengatakan, ketika bicara tentang harmonisasi regulasi, semestinya tidak boleh ada pertentangan antara bunyi peraturan dalam UU dengan peraturan pelaksananya, termasuk PP.
"Tugas kami belum berakhir karena isunya kan harmonisasi aturan ini. Artinya konsentrasi kita juga akan ke sana lagi. Supaya harmonisasi PP 109/2012 itu jangan dilakukan perubahan. Cukup dengan PP itu saja lah, tinggal diberlakukan secara efektif," katanya.
(abd)