Hak Angket KPK Ibarat Mimpi di Siang Bolong

Jum'at, 28 April 2017 - 18:54 WIB
Hak Angket KPK Ibarat Mimpi di Siang Bolong
Hak Angket KPK Ibarat Mimpi di Siang Bolong
A A A
JAKARTA - Langkah DPR menghadapi Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menggunakan hak angket diibaratkan sebagai mimpi pada siang bolong.

Pasalnya hak angket atau hak penyelidikan yang dimiliki DPR tidak selalu bersifat eksekutorial atau memiliki daya paksa.

Mantan Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji mengatakan, mendukung penuh sikap pimpinan KPK yang menolak permintaan Komisi III DPR membuka rekaman pemeriksaan Miryam S Haryani, tersangka kasus pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP).

Dia mengakui hak angket merupakan hak politik konstitusionalitas DPR untuk menyelidiki pelaksanaan kebijakan pemerintah atas pelaksanaan regulasi. "Tetapi tidak selalu hak angket itu memiliki kekuatan eksekutorial. Ingat hak angket Ahok Gate dan hak angket sadap terhadap SBY, juga pansus kasus Pelindo yang tidak ada implementasi hukumnya," ungkap Indriyanto di Jakarta, Jumat (28/4/2017).

Menurut dia, isi rekaman pemeriksaan Miryam menjadi kewenangan penuh KPK dalam upaya penegakan hukum yang bersifat tertutup. "Proses pra-ajudikasi, baik penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, secara universal adalah rahasia dan tertutup," ujar ahli hukum pidana ini.

Indriyanto menegaskan, kerahasiaan proses penyelidikan berpotensi terganggu bila dibuka dengan dalih hak angket. Menurut dia, proses penegakan hukum harus bersih dari intervensi dalam bentuk dan cara apapun.

Dia mengatakan, KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen harus bebas dari intervensi. Untuk itu, Indriyanto berharap KPK memiliki otoritas untuk tetap menolak membuka rekaman Miryam di DPR dan hanya bisa dilakukan di pengadilan atas perintah hakim.

"KPK sebagai lembaga penegak hukum yang independen, memiliki imunitas terhadap intervensi politik atas penanganan teknis kasus hukum yang telah, sedang dan yang akan ditangani," ucapnya.

Menurut dia, keinginan DPR membuka rekaman Miryam adalah pelanggaran hukum dalam sistem peradilan pidana.

Dia menjelaskan, Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menempatkan Bab Khusus yang terkait contempt of court. Antara lain, Pasal 21 (obstruction of justice/menghalang-halangi proses penegakan hukum) dan Pasal 22 (pemberian keterangan tidak benar/palsu).

"Bagi saya, perbuatan DPR dengan dalih hak angket terhadap suatu kasus yang sedang berjalan adalah bentuk obstruction of justice," ujarnya.

Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif mengatakan, sudah mendengar kabar DPR mengesahkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki lembaganya.
Dia juga mendengar ada penolakan dari sejumlah anggota DPR menggunakan angket.

"Apalagi sejumlah fraksi sudah mengatakan menolak hak angket dan ada syarat di UU MD3, bahwa usul menjadi Hak Angket jika dihadiri lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengn persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir'," ujar Syarif di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (28/4/2017).

Dia mengungkapkan, usulan penggunaan hak angket berawal dari keberatan yang disampaikan sejumlah anggota Komisi III DPR yang namanya disebut oleh Penyidik KPK Novel Baswedan saat menjadi saksi di persidangan perkara korupsi proyek pengadaan e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis 30 Maret lalu.

Syarif menggariskan, sangat berisiko nagi KPK jika membuka bukti-bukti penyidikan karena akan menghambat proses hukum dan dberdampak pada penanganan kasus e-KTP.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4951 seconds (0.1#10.140)