Belum Ada Pemenangnya
loading...
A
A
A
Dinna Prapto Raharja, Ph.D
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
KOMPETISI politik tidak bisa dilepaskan dalam upaya penangangan sebuah krisis, khususnya dalam meredam penyebaran virus Covid-19 ini. Setiap pemimpin berusaha untuk mengambil kredit dalam pendekatan yang diambilnya.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, misalnya, mengatakan bahwa Selandia Baru telah memenangkan pertarungan melawan virus Covid-19 dalam sebuah konferensi pers pada Senin lalu. Selandia Baru memang sudah berhasil menurunkan kurva warganya yang terinfeksi virus lebih mendatar. Pengumuman ini sejauh yang saya dapat catat adalah pengumuman pemimpin negara kedua yang menyatakan diri menang melawan virus Covid 19 setelah China.
Ada juga negara yang tidak mengklaim mengatakan menang melawan Covid 19, tetapi percaya diri bahwa pendekatan mereka yang terbaik seperti Swedia. Pendekatan Swedia memang sangat liberal karena tidak melakukan karantina ketat, seperti Selandia Baru atau China.
Pemerintahnya tetap membiarkan beberapa sekolah, restoran, dan tempat-tempat umum lainnya dibuka. Mereka hanya melarang kerumunan lebih dari 50 orang dan mengimbau warganya untuk jaga jarak.
Pendekatan Swedia ini sangat kontroversial karena angka kematiannya mencapai 2.274 orang lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga yang berbatasan langsung, seperti Denmark (kematian 427 orang), Norwegia (205 orang), atau Finlandia (193 orang). Meski demikian, angka itu memang kecil dibandingkan dengan Inggris (21.000 orang), Perancis (23.293 orang), atau Jerman (6.126 orang). Terhadap negara-negara itu, Swedia dapat mengklaim pendekatan mereka lebih berhasil.
Duta Besar Swedia untuk Amerika Serikat, Karin Ulrika Olofsdotter, bahkan mengatakan bahwa herd-immunity akan tercapai di Swedia pada akhir bulan Mei ini, khususnya di ibu kota negara. Pemerintah Swedia tetap bergeming dan tidak mengubah pendekatannya walaupun ada lebih 1.000 surat protes dari kalangan akademisi yang menuntut pembatasan sosial lebih keras bulan lalu.
Pernyataan menang melawan Covid-19 atau menyatakan klaim pendekatannya paling baik tetap harus dikritisi karena kemenangan atau keberhasilannya hanya di negara tersebut. Kemenangan itu bukan semata-mata karena negaranya berhasil mengontrol pergerakan warga di dalam negaranya secara internal, tetapi juga karena negara lain juga membatasi warganya untuk bergerak secara eksternal.
Contoh yang paling jelas adalah di daratan Eropa, dengan mobilitas penduduk antara warga yang keluar masuk ke Swedia dibatasi. Kita tidak tahu apa yang terjadi apabila empat negara tidak membatasi pergerakan warganya, tentu penyebaran virus Covid 19 ini akan sulit dideteksi.
Setiap negara memang memiliki latar belakang ekonomi dan sosial yang tidak sama sehingga pendekatan atau kebijakan yang diambil juga tidak sama. Meski demikian, seperti yang dikatakan Tae Hoon Kim, mungkin benar bahwa negara yang berbeda harus mengikuti pendekatan berbeda untuk menangani Covid-19 berdasarkan keadaan sosial ekonomi mereka. Namun, sesuatu yang pasti bahwa kebijakan suatu negara memiliki dampak terhadap negara lain, terutama ketika menyangkut virus pembunuh menular.
Praktisi & Pengajar Hubungan Internasional
@Dinna_PR
KOMPETISI politik tidak bisa dilepaskan dalam upaya penangangan sebuah krisis, khususnya dalam meredam penyebaran virus Covid-19 ini. Setiap pemimpin berusaha untuk mengambil kredit dalam pendekatan yang diambilnya.
Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern, misalnya, mengatakan bahwa Selandia Baru telah memenangkan pertarungan melawan virus Covid-19 dalam sebuah konferensi pers pada Senin lalu. Selandia Baru memang sudah berhasil menurunkan kurva warganya yang terinfeksi virus lebih mendatar. Pengumuman ini sejauh yang saya dapat catat adalah pengumuman pemimpin negara kedua yang menyatakan diri menang melawan virus Covid 19 setelah China.
Ada juga negara yang tidak mengklaim mengatakan menang melawan Covid 19, tetapi percaya diri bahwa pendekatan mereka yang terbaik seperti Swedia. Pendekatan Swedia memang sangat liberal karena tidak melakukan karantina ketat, seperti Selandia Baru atau China.
Pemerintahnya tetap membiarkan beberapa sekolah, restoran, dan tempat-tempat umum lainnya dibuka. Mereka hanya melarang kerumunan lebih dari 50 orang dan mengimbau warganya untuk jaga jarak.
Pendekatan Swedia ini sangat kontroversial karena angka kematiannya mencapai 2.274 orang lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga yang berbatasan langsung, seperti Denmark (kematian 427 orang), Norwegia (205 orang), atau Finlandia (193 orang). Meski demikian, angka itu memang kecil dibandingkan dengan Inggris (21.000 orang), Perancis (23.293 orang), atau Jerman (6.126 orang). Terhadap negara-negara itu, Swedia dapat mengklaim pendekatan mereka lebih berhasil.
Duta Besar Swedia untuk Amerika Serikat, Karin Ulrika Olofsdotter, bahkan mengatakan bahwa herd-immunity akan tercapai di Swedia pada akhir bulan Mei ini, khususnya di ibu kota negara. Pemerintah Swedia tetap bergeming dan tidak mengubah pendekatannya walaupun ada lebih 1.000 surat protes dari kalangan akademisi yang menuntut pembatasan sosial lebih keras bulan lalu.
Pernyataan menang melawan Covid-19 atau menyatakan klaim pendekatannya paling baik tetap harus dikritisi karena kemenangan atau keberhasilannya hanya di negara tersebut. Kemenangan itu bukan semata-mata karena negaranya berhasil mengontrol pergerakan warga di dalam negaranya secara internal, tetapi juga karena negara lain juga membatasi warganya untuk bergerak secara eksternal.
Contoh yang paling jelas adalah di daratan Eropa, dengan mobilitas penduduk antara warga yang keluar masuk ke Swedia dibatasi. Kita tidak tahu apa yang terjadi apabila empat negara tidak membatasi pergerakan warganya, tentu penyebaran virus Covid 19 ini akan sulit dideteksi.
Setiap negara memang memiliki latar belakang ekonomi dan sosial yang tidak sama sehingga pendekatan atau kebijakan yang diambil juga tidak sama. Meski demikian, seperti yang dikatakan Tae Hoon Kim, mungkin benar bahwa negara yang berbeda harus mengikuti pendekatan berbeda untuk menangani Covid-19 berdasarkan keadaan sosial ekonomi mereka. Namun, sesuatu yang pasti bahwa kebijakan suatu negara memiliki dampak terhadap negara lain, terutama ketika menyangkut virus pembunuh menular.