Dana Desa Belum Efektif

Kamis, 30 Maret 2017 - 08:07 WIB
Dana Desa Belum Efektif
Dana Desa Belum Efektif
A A A
ANGKA ketimpangan antara penduduk miskin dan kaya di negeri ini makin terjal. Dalam laporan Oxfam Indonesia bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) yang telah dipublikasikan beberapa hari lalu, terungkap bahwa ketimpangan di Indonesia bertengger pada peringkat keenam terbawah di dunia.

Lebih mencengangkan, ternyata harta empat orang terkaya setara dengan gabungan harta 100 juta orang miskin di Indonesia. Laporan tersebut sempat membuat geger di kalangan petinggi negeri ini dengan segala bantahan, mulai dari mempertanyakan metode perhitungan yang dipakai Oxfam dan INFID hingga perbandingan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dinilai lebih kredibel karena menjadi dasar pengambilan kebijakan pemerintah.

Sebenarnya para pejabat yang berwenang dengan urusan kesenjangan ekonomi antarpenduduk di negeri ini tidak perlu terlalu reaktif. Sebab faktanya memang tidak bisa disembunyikan bahwa angka ketimpangan atau kesenjangan di negeri ini masih terlalu lebar meski belakangan ini pertumbuhan perekonomian nasional cukup baik di level 5% lebih di tengah gejolak perekonomian global.

Justru dalam rapat kabinet terbatas kemarin, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan rasa khawatir yang dalam terhadap angka kemiskinan di desa yang masih tinggi. Presiden membeberkan bahwa jumlah penduduk miskin di desa hampir dua kali lipat dari yang ada di perkotaan. Persentase penduduk miskin di desa sekitar 13,96%, sedangkan persentase penduduk miskin di kota tercatat sekitar 7,7%.

Perbedaan persentase penduduk miskin di desa dan kota yang sangat mencolok itu membuat Presiden Jokowi keheranan. Mengapa? Sejak menjadi orang nomor satu di negeri ini, mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengklaim dana desa yang telah digelontorkan tidak sedikit jumlahnya. Karena itu dalam bayangan Jokowi yang terkenal dengan slogan kerja, kerja, dan kerja, sudah seharusnya terjadi perubahan yang signifikan di desa yang telah dikucuri dana selama ini.

Dana yang digelontorkan ke desa bukan isapan jempol. Pada 2015 dianggarkan sebesar Rp20,76 triliun, kemudian meningkat menjadi sebanyak Rp46,98 triliun pada tahun lalu. Dan pada tahun ini dana desa yang dikucurkan naik signifikan, yaitu tembus pada angka Rp60 triliun.

Jadi wajar saja kalau Presiden meminta para menteri terkait untuk mengevaluasi program dana desa seraya mengingatkan bahwa pengembangan potensi ekonomi desa harus integratif dari hulu hingga hilir.

Sebelumnya Oxfam Indonesia bersama INFID telah membeberkan kenyataan yang mengejutkan tentang ketimpangan yang terjadi dalam 20 tahun terakhir ini di Indonesia. Dalam laporan lembaga tersebut diakui bahwa belakangan ini pertumbuhan ekonomi negeri berpenduduk 250 juta ini relatif stabil dan berimbang.

Namun ada fakta lain bahwa hal itu justru tidak berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berimbang, yakni distribusi pendapatan yang tidak merata. Akibatnya, ketimpangan antara orang miskin dan kaya bertumbuh lebih cepat bila dibandingkan dengan sejumlah negara yang ada di kawasan Asia Tenggara.

Terbitlah laporan yang mengejutkan bahwa ketimpangan di Indonesia berada di peringkat keenam terbawah di dunia dan harta empat orang terkaya sama dengan harta 100 juta orang miskin di Indonesia.

Namun laporan Oxfam Indonesia bersama INFID seputar perbandingan kepemilikan harta antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia justru dipertanyakan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Malah mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) itu menyatakan laporan tersebut harus diklarifikasi kebenarannya.

Darmin mengakui bahwa ketimpangan memang ada, tetapi tak seburuk yang dilaporkan Oxfam dan INFID. Alasannya rasio gini dalam dua tahun terakhir ini terjadi perbaikan.

Sementara itu pihak BPS menghindari polemik soal angka ketimpangan di tengah masyarakat versi Oxfam dan INFID. Secara bijak, Kepala BPS Kecuk Suhariyanto menilai bahwa antara BPS dan kedua lembaga tersebut menggunakan metode pengukuran yang berbeda.

Versi BPS menghitung rasio gini berdasarkan jumlah pengeluaran masyarakat, sedangkan Oxfam dan INFID memakai data kekayaan. Meski demikian pihak BPS tetap sepakat dengan Oxfam dan INFID bahwa telah terjadi ketimpangan sangat lebar yang termonitor dari angka rasio gini Indonesia yang berada di level 0,394 pada September tahun lalu.

Jadi mengikis angka ketimpangan di tengah masyarakat adalah sebuah problem besar yang menjadi pekerjaan rumah pemerintah, yaitu harus segera diminimalkan. Setidaknya dimulai dengan kebijakan yang memudahkan masyarakat miskin mendapatkan akses modal, pendidikan, dan dilibatkan dalam redistribusi aset dan lahan sebagai penerima.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5070 seconds (0.1#10.140)