Akuisisi F-15EX, Jalan Terang Menuju Supremasi-Superioritas Udara

Senin, 28 Agustus 2023 - 05:17 WIB
loading...
Akuisisi F-15EX, Jalan...
Ilustrasi: Masyudi/SINDOnews
A A A
BELANJAalutsista tak henti menghadirkan kejutan. Di antara kabar menggembirakan untuk masyarakat Indonesia adalah ditekennya memorandum of understanding (MoU) komitmen pembelian 24 unit pesawat tempur F-15EX dari Amerika Serikat (AS). Rencana pembelian 24 pesawat generasi 4,5 tersebut disampaikan Menhan Prabowo Subianto lewat akun Instagram-nya.

baca juga: Senjakala Militer Malaysia

Walaupun sudah menekan MoU komitmen, proses akuisisi pesawat canggih tersebut masih panjang. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan progres positif setelah Departemen Luar Negeri AS menyetujui potensi penjualan pesawat tempur F-15 dan piranti terkait pada Februari 2022, atau hampir bersamaan dengan pengumuman rencana pembelian Dassault Rafale dari Prancis.

Pada November 2022, Prabowo mengutarakan rencana pembelian jet tempur F-15 itu sedang menunggu persetujuan akhir dari pemerintah. Saat Menteri Pertahanan AS Llyod Austin berkunjung ke kantor Kementerian Pertahanan (Kemenhan) di Jakarta beberapa waktu lalu, terungkap Boeing sebagai produsen telah menyetujui tawaran finansial yang diberikan.

Konon, persetujuan AS terhadap pembelian F-15EX tersebut sebagai kompensasi atas penolakan proposal Indonesia mengakusisi F-35. Secara teoritis, kapasitas F- F-15EX di bawah pesawat generasi ke-5, yakni F-35. Meski begitu, secara secara battle proven keandalan F-15 tak perlu dipertanyakan. Betapa tidak, pesawat bermesin ganda ini memiliki rekor tak pernah kalah dalam duel udara. Dari informasi yang ada, F-15 memenangkan pertarungan udara ke udara 104:0. Capaian ini lebih baik dibanding F-16 (77:1) dan F-14 Tomcat (135:4).

F-15EX sendiri merupakan varian termutakhir dari seri F-15. Dari sejumlah informasi pesawat ini memiliki sejumlah keunggulan, antara lain dapat mengusung lebih banyak senjata seperti rudal udara ke udara, bom, hingga senjata khusus lainnya karena dapat membawa muatan 13.380 kilogram; kinerja mesin tinggi; dan struktur pesawat didesain mampu bertahan sampai 20.000 jam terbang.

Selain itu, pesawat ini dilengkapi sistem avionik canggih; sistem radar dan piranti avionik yang mendeteksi dan melacak target dengan akurasi tinggi; bisa dioperasikan untuk berbagai misi, mulai dari superioritas udara, serangan darat, hingga operasi maritim; serta bisa berkomunikasi dalam jaringan pertempuran yang sangat luas. Berkat kapasitas tersebut, F-15EX dianggap salah satu pesawat tempur paling canggih dan multirole di dunia saat ini.

Dalam konteks postur pertahanan udara Indonesia, belanja F-15EX tentu tidak bisa dibaca dalam perspektif tunggal, melainkan melibatkan secara keseluruhan belanja yang dilakukan Kemenhan untuk membekali kemampuan TNI AU. Sebelum F-15EX, Indonesia juga telah memborong sejumlah pesawat tempur seperti 42 Rafale, 12 Mirage 2000-5 eks Uni Emirat Arab, dan dalam proses pembangunan 48 Boromae bersama Korea Selatan.

Serial belanja pesawat tempur itu akan melengkapi keberadaan 33 pesawat F-16 AM, BM, C dan D yang sudah berusia lebih dari 30 tahun; 16 pesawat Sukhoi 27 dan 30 dengan usia hampir 20 tahun, serta 16 T-50 Golden Eagle. Jika tidak ada aral melintang, Kementerian Pertahanan juga mengincar 12 Mirage 2000-9 eks Qatar. Di luar itu masih ada sejumlah jenis pesawat lain yang mendukung operasional TNI AU dan TNI secara keseluruhan.

baca juga: Membangun Otot TNI AL

Dinamika belanja pesawat tempur kelas fighter secara besar-besaran yang ditunjukkan Menhan Prabowo belakangan ini, sudah barang tentu akan menggenjot secara signifkan kuantitas dan kualitas kekuatan udara Indonesia. Lantas untuk apa? Demikian pertanyaan yang muncul di publik. Apakah untuk sekadar mengganti pesawat tempur yang telah dinon-aktifkan seperti F-5 Tiger? Untuk mengejar target Minimum Essential Force (MEF) III yang berakhir pada 2024 (2000-2024)? Ataukah ada target lebih besar yang ingin dicapai TNI?

Penentu Perang Modern

‘’Kuasailah udara untuk melaksanakan kehendak nasional karena kekuatan nasional di udara adalah faktor yang menentukan dalam perang modern”. Demikian penggalan pidato Presiden pertama RI, Soekarno yang disampaikan pada Upacara Peringatan Hari AURI Ke-9, 9 April 1955.

Petikan yang disampaikan kembali oleh Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal TNI Fadjar Prasetyo pada peringatan HUT ke-77 TNI AU (9/4/2023) tersebut bukanlah tanpa arah dan makna. Satu sisi kekuatan udara yang kuat mutlak diperlukan menghadapi ancaman keadaulatan negara, dan di sisi lain menjadi variabel penting untuk memenangkan peperangan seperti terjadi pada Perang Dunia II, Perang Korea, Perang Vietnam, Perang Teluk, Perang Balkan, hingga Perang Rusia-Ukraina.

Dicontohkan KSAU, perang Rusia-Ukraina menunjukkan bagaimana pentingnya dominasikekuatan udara (air power), baik melibatkan pesawat berawak, tak berawak, dan berbagai varian alutsista udara dengan persenjataannya. Begitu juga bagi Indonesia, kekuatan udara nasional berperan penting menjaga kedaulatan NKRI di udara. Dengan keberadaan pesawat tempur andal, TNI AU akan disegani di kawasan.

Karena itulah, TNI harus terus meningkatkan kapasitas seiring tantangan tugas dan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat, khususnya kemajuan teknologi kedirgantaraan. Seperti terlihat dalam lima tahun terakhir, TNI AU mengoptimalkan berbagai alutsista modern, baik pesawat tempur, pesawat transpor, helikopter, pesawat UAV, radar, rudal, ataupun sejumlah alutsista udara lainnya.

Fadjar Prasetyo dalam bukunya berjudul “Plan Bobcat: Transformasi Menuju Angkatan Udara yang Disegani di Kawasan”, meyakini airpower atau kekuatan udara dan domain space power memiliki peran strategis dalam konteks peperangan modern. Untuk itu, TNI AU melalui rencana strategis berupaya membangun kemampuan tersebut.

Beberapa tahun sebelumnya, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto saat menyerahkan jabatan KSAU kepada MarsekalTNIYuyu Sutisna pada Januari 2018 telah membeberkan proyeksi Pembangunan TNI mencapaisupremasi udara (air supremacy)dankeunggulan udara (air superiority). Kekuatan itu mensyaratkan kekuatan pemukul udara strategis untuk menghadapi duatrouble spotsdalam bentuk komposit yang berisi pesawat-pesawat tempurmulti-roledari generasi empat setengah.

baca juga: TNI AL Siapkan Taktik Gerilya?

Hadi Tjahjanto juga menyebut, pembangunan TNI Angkatan Udara juga diarahkan pada kemampuan mobilitas serta proyeksi kekuatan pada lingkup nasional, regional dan global. Dengan begitu sistem pertahanan udara harus diintegrasikan dengan matra lainnya dalam suatu jaringan bertempur atauNetwork Centric Warfare(NCW).Pada pembangunan kekuatan selanjutnya juga akan mengaplikasikan konsep berperang denganUnmanned Combat Aerial Vehicles(UCAV) berbasis internet.

Berdasar referensi, kekuatan udara merupakan komponen strategis dari kekuatan militer suatu negara untuk menegakkan kedaulatan negara. Peran dimaksud antara lain melakukan patroli dan pengawasan ruang udara melalui fungsi intelligence, surveillance, and reconnaissance; memberikan dukungan tempur dalam bentuk bantuan tembakan atau serangan preemtif terhadap musuh dalam operasi militer gabungan; dan mengimplementasikan strategi anti-akses/tangkal wilayah untuk menghadang serangan musuh sekaligus mencegah musuh mengontrol ruang udara.

Peran kekuatan tersebut bisa maksimal bila kekuatan udara mampu mewujudkan supremasi udara dan superioritas udara, sehingga kekuatan udara memiliki kemampuan mempertahankan dan mengendalikan wilayah udara. Secara spesifik, supremasi udara dipahami sebagai tingkat superioritas suatu angkatan udara di mana lawan tidak mampu mengintervensi secara efektif. Sedangkan konsep superioritas udara didefinisikan sebagai tingkat dominasi suatu angkatan udara untuk dapat melakukan operasi darat, laut, dan udara tanpa dicegah.


Dinamika Kekuatan Udara

Urgensi penguasaan udara melalui kekuatan udara agar Indonesia memilikin kapasitas pada perang modern seperti disampaikan Soekarno, atau memiliki kemampuan supremasi dan superioritas udara sebenarnya telah diwujudkan di era kepemimpinan proklamator tersebut. Kala itu, pada 1960-an, negeri ini telah mengakusisi pesawat pembom strategis buatan Rusia, yakni Tu-16, yang memiliki daya jelajah sangat jauh dan menenteng senjata dalam jumlah besar.

Di era itu, pesawat sejenis hanya dimiliki Amerika (B-58 Hustler), Inggris (V-Bomber), dan Rusia. Keberadaan pesawat tersebut menjadikan kekuatan matra udara Indonesia sebagai terkuat di belahan bumi Selatan. Namun di era 1990-200-an, kekuatan udara Indonesia ambles hingga berada di titik nadir terendah. Kondisi ini terjadi bersamaan dengan embargo militer yang diberikan Amerika Serikat (AS) karena tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur sejak 1991.

Padahal sejak Orde Baru Indonesia memiliki ketergantungan terhadap pesawat tempur negeri Paman Sam tersebut. Sebagai dampak embaro, pesawat made in AS seperti F-16 Fighting Falcon, F-15 Tiger. C-130 Hercules hingga pesawat made in Inggris, Hawk 109/209 harus digrounded. Amerika tidak mau menjual alutsista ke Indonesia, termasuk suku cadang untuk meremajakan pesawat tempur.

Pasca-reformasi, Indonesia di bawah kepemimpinan Megawati mencari solusi dengan menoleh kembali ke Rusia dengan memborong pesawat Sukhoi Su-27 dan Su-30 hingga lengkap satu skadron. Baru pada 2005 embargo militer dicabut dan Indonesia mulai bisa memodernisasi pesawat tempurnya, terutama F-16, hingga menjadikan pesawat bermesin tunggal itu sebagai backbone kekuatan udara RI.

Baru kemudian di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, TNI AU mendapat tambahan kekuatan satu skadron TA-50 Golden Eagle dari Korea Selatan. Pada era yang sama, Indonesia juga meneken kerja sama jangka panjang mengembangkan pesawat KFX-IFX dengan Korea Selatan. Di era awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo , belanja pesawat tempur terbilang sangat lamban.

Rencana mendatangkan Sukhoi Su-35 melalui skema barter untuk menggantikan F-5 Tiger yang harus pensiun harus terhenti, karena sanksi CAATSA AS yang menghalangi setiap negara membeli alutsista dari Rusia. Baru pada era Prabowo, belanja pesawat tempur menunjukkan progresivitas, dengan memborong Rafale, Mirage, dan F-15EX. Hanya, pesawat tempur yang dibeli tidak bisa datang seketika. Rafale misalnya baru bisa memperkuat TNI AU pada 2026 nanti.

Berdasar data World Directory of Modern Military Aircraft (WDMMA) 2023, TNI AU saat ini memiliki 280 unit pesawat aktif. Dengan perincian 120 pesawat latih dasar, 65 pesawat tempur, 28 helikopter latih (helo training), 46 unit pengangkut khusus, 5 unit misi khusus, 1 pesawat pengisi bahan bakar (aerial refueler), serta 35 unit multiperan.Total kekuatan tersebut menempatkan Indonesia pada peringkat 29 dari 128 layanan udara di 101 negara.

Adapun data kekuatan udara lebih luas disampaikan Global Firepower 2023. Lembaga tersebut mencatat operasi militer udara Indonesia didukung 466 unit armada pesawat. Jumlah itu meliputi 176 unit helikopter, 127 pesawat latih, 67 pesawat angkut bersayap tetap, 41 pesawat jet tempur - dengan 37 unit di antaranya merupakan jet serang khusus, 17 unit pesawat misi khusus, serta satu unit pesawat tanker.

Progresivitas Belanja

Walaupun TNI AU ratusan pesawat seperti diungkapkan WDMMA 2023 dan Global Firepower 2023, harapan Indonesia memiliki supremasi dan superioritas udara masih jauh panggang dari api. Kondisi ini terjadi karena sebagian besar pesawat tempur yang dimiliki baru pesawat multi-role yang berorientasi ke serangan darat, yakni F-16 dan TA-50. Pesawat fighter yang dimiliki, yakni Su-27 dan Su-30 jumlahnya masih terbatas.

Kekuatan yang dimiliki saat ini belum mampu membuat kekuatan Indonesia disegani seperti pada era Soekarno. Apalagi beberapa negara di kawasan memiliki pesawat tempur termodern dengan jumlah banyak, terutama negara sekutu AS. Seperti Singapura yang memiliki F-15 dan F-35, serta Australia yang melengkapi kekuatan udara dengan F/A-18 Hornet, F-15, dan F-35.

Untuk mewujudkan asa memiliki kekuatan udara yang bisa menghadirkan supremasi dan superioritas udara, TNI AU membutuhkan pesawat tempur fighter seperti F-15, F-22, Su-30MKI, Eurofighter, F-35, dan Rafale yang dibekali kemampuan radar canggih dengan kemampuan beyond visual range (BVR), memiliki kemampuan interoperabilitas, dan rudal jarak jauh seperti AIM-120 AMRAAM yang bisa diandalkan untuk pertarungan udara.

Di awal kepemimpinan Presiden Jokowi atau saat Menhan Ryamizard Ryacudu, tidak ada sinyal Indonesia akan melengkapi kekuatan udaranya dengan pesawat kelas fighter. Malah realitas yang muncul justru stagnasi. Kemacetan transaksi Su-35 tidak juga menemukan solusi. Juga tidak ada terobosan baru yang dilakukan untuk mencari opsi lain.

Perubahan drastis penguatan alutsista terjadi di periode kedua pemerintahan Jokowi, dengan Menhan Prabowo Subianto. Pada momen itu terjadi perubahan orientasi kebijakan belanja pesawat tempur, yakni dengan keluarnya Rencana Strategis Pertahanan 2021-2045, yang mendorong progresivitas pembangunan kekuatan militer Indonesia.

Momentum yang bersamaan dengan fase ketiga MEF ini didukung dengan penambahan anggaran belanja pada 2020 sebesar Rp126 trilun, atau naik 16% dibanding 2019. Anggaran tersebut mengambil porsi 5% dari total APBN. Ditargetkan anggaran ini akan terus bertambah hingga akhir MEF III pada 2024.

Dengan dukungan komitmen kebijakan dan penganggaran, plus kemampuan diplomasi dan lobi kementerian pertahanan, muncullah kabar gembira berupa akuisisi alutsista matra udara seperti Rafale, Mirage, F-15EX. Seperti proyeksi yang tercantum program Perisai Dirga Nusantara, jika rencana berjalan mulus, TNI AU akan dilengkapi pesawat Boromae sebanyak 24 unit, pesawat Rafale (42 unit), pesawat Mirage 2000-5 dan 2000-9 (24 unit), pesawat T50 (19 unit, 6 unit baru), pesawat F-15 (36 unit), pesawat F-16 (33 unit), pesawat Sukhoi 27-30 (16 unit), pesawat Hawk MK 100-MK 200 (31 unit).

Semua pesawat tempur tersebut sudah dilengkapi rudal. Selain itu, masih ada lagi jet Falcon 7x dan 8 x, pesawat boeing 737 (tambah 2 unit, total 10 unit), pesawat Hercules (31 unit, 5 baru Super Hercules), pesawat Airbus A400 (2 unit), pesawat AWACS (25 radar baru, total 35) yang memiliki jangkauan rata-rata hingga 450 Km.

Tentu, gabungan kekuatan matra udara tersebut belum mampu menghadirkan dominasi udara di belahan selatan bumi seperti capaian era Soekarno. Apalagi di kawasan, kapasitas kekuatan udara Indonesia masih kalah dibanding Australia dan Singapura. Kendati demikian, jalan TNI AU mewujudkan supremasi dan superioritas udara sudah kian terang. Selain berharap agar berbagai program pembelian dan pengembangan pesawat tempur dan jenis alutsista matra udara lain berjalan lancar, konsistensi dukungan kebijakan dan anggaran pascakepemimpinan Jokowi sangat dibutuhkan.

Di tengah dinamika konflik dunia yang kian mengeras -termasuk di kawasan Indo-Pasifik, urgensi melindungi kedaulatan negara, serta pertumbuhan ekonomi yang diprediksi akan berlanjut hingga menjadikan Indonesia sebagai kekuatan lima besar ekonomi dunia pada 2045, belanja militer-di antaranya untuk memastikan terwujudnya supremasi dan superioritas udara-merupakan variabel penting untuk meningkatkan kewibawaan, bargaining position, dan mengamankan arah kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga. (*)
(hdr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1754 seconds (0.1#10.140)