Membangun Otot TNI AL
loading...
A
A
A
"Insya Allah dalam waktu yang bisa kelihatan bahwa TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara, Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera."
Sekilas, pernyataan yang disampaikan Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Kamis (27/1) biasa-biasa saja. Apalagi dalam kapasitas sebagai menteri pertahanan yang memang harus menyampaikan apa yang telah dan akan dilakukan untuk membangun kekuatan Indonesia, dalam hal ini alutsista TNI.
Di lingkup Asia Tenggara (Asean) TNI secara tradisional juga menempati posisi nomor satu atau terkuat. Posisi ini diteguhkan situs Global Fire Power 2022 yang diterbitkan pertengahan Januari ini. Pun di level global, kekuatan TNI bahkan naik peringkat, menjadi nomor 15. Posisinya mengungguli Jerman, Australia dan Israel. Postur TNI AL tentu menjadi variabel signifkan dalam pembentukan kekuatanTNI.
Lantas apa yang perlu digarisbawahi? Ada dua kalimat yang perlu mendapat perhatian, yakni ‘TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara’ dan ‘Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera’. Penggalan pertama menunjukkan penekanan TNI akan jauh lebih kuat dari kapasitas saat ini vis- a-vis negara ASEAN, sedangkan penggalan kedua mengingatkan memori tentang era kejayaan TNI AL di era 60-an. Saat itu TNI AL menjelma sebagai paling terkuat di bumi bagian selatan.
Bila dibanding dengan menteri pertahanan sebelumnya, apa yang disampaikan Prabowo mengandung tensi lebih, yakni komitmen sekaligus optimisme untuk menghadirkan postur TNI , khususnya TNI AL, yang jauh lebih berotot. Pesan tegas seperti inilah yang telah ditunggu masyarakat, terutama TNI AL.
Dalam momen yang sama, Prabowo bahkan membeberkan target yang akan dicapai dalam waktu dua tahun ke depan, yakni Indonesia bakal memiliki 50 kapal perang siap tempur. Belum jelas apakah hal dimaksud merujuk pada pembekalan terhadap kapal yang sudah ada hingga siap tempur, atau pembelian baru. Namun dia memastikan anggaran yang disebut terbesar sepanjang sejarah perjalanan Indonesia itu sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
Berdasar data, termasuk yang digunakan Global Fire Power dalam memberikan penilaian, secara kuantitas kapal perang yang dimiliki TNI terbilang banyak. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 296 buah, terdiri atas kapal fregat sebanyak 7 unit, kapal korvet (24), kapal selam (4), kapal patroli (181), mine warfare (11).
Namun, bila diukur secara kualitas yang melibatkan sejumlah variabel seperti kecangguhan sistem rudal, sistem manajemen tempur, sistem pertahana udara, dan lainnya, tentu akan menimbulkan tanda tanya karena faktanya mayoritas kapal perang yang dimiliki TNI AL berusia tua.
Pembangunan kekuatan alutsista tentu harus mempertimbangkan perkembangan tekhnologi. Belum lagi ancaman kian meningkat, termasuk menghadapi agresivitas China di Indo Fasifik. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono telah menegaskan, bagi Indonesia memiliki kapal-kapal dengan teknologi modern bukan hanya kebutuhan tetapi sebuah keniscayaan, sebab ancaman yang harus dihadapi semakin kompleks.
Prabowo memahami betul dinamika lingkungan yang berkembang dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Karena itu, kebijakan yang diambil sejak diamanahi sebagai menteri pertahanan tampak ambisius. Lihatlah bagaimana dia memborong enam kapal FREMM dari galangan Fincantieri Italia plus dua kapal bekas, Kelas Maestrale. Indonesia juga sudah teken kontrak untuk pembangunan dua kapal fregat dari Inggris, Arrowhead 140, yang bakal dibangun di PT PAL. Tidak hanya itu, negeri ini juga ancang-ancang mengakusisi kapal seram baru, dan membeli Fregat Mogami Kelas dari Jepang.
Pemenuhan kapal perang juga semakin banyak melibatkan galangan kapal dalam negeri. Teranyar pemerintah telah meresmikan KRI Golok-688 buatan PT Lindungi Industri Invest. Saat ini Indonesia juga sudah memulai pembangunan kapan Offshore Patrol Vessel (OPV) di galangan kapal dalam negeri, PT Daya Radar Utama (DRU), yang bekerja sama dengan perusahaan alutsista ternama dunia, Haveksan Turki dan Thales Belanda. Bukan hanya itu, PT PAL juga tengah meneruskan kontrak kapal cepat rudal (KCR) yang dilengkapi dengan sistem manajemen tempur atau CMS canggih dari Terma Denmark.
Alutsista memang sangat mahal. Misalnya, untuk pembelian 6 FREMM dari Italia, pemerintah harus menggelontorkan anggaran sebesar Rp72 triliun. Dana yang dibutuhkan sudah pasti akan berlipat ganda untuk kebutuhan pembelian dan pembangunan fregat lain, kapal selam, atau kapal perang yang ditarget mencapai 50 unit. Tentu pembayaran tidak sekaligus, tapi menggunakan skema long term. Namun, dana itu tidak berarti bila dibandingkan dengan kedaulatan yang harus dipertahankan. Si vis pacem para bellum, jika Indonesia ingin damai maka harus bersiap perang. Kekuatan TNI AL menjadi kunci untuk mewujudkan harapan tersebut.
Sekilas, pernyataan yang disampaikan Prabowo Subianto dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Kamis (27/1) biasa-biasa saja. Apalagi dalam kapasitas sebagai menteri pertahanan yang memang harus menyampaikan apa yang telah dan akan dilakukan untuk membangun kekuatan Indonesia, dalam hal ini alutsista TNI.
Di lingkup Asia Tenggara (Asean) TNI secara tradisional juga menempati posisi nomor satu atau terkuat. Posisi ini diteguhkan situs Global Fire Power 2022 yang diterbitkan pertengahan Januari ini. Pun di level global, kekuatan TNI bahkan naik peringkat, menjadi nomor 15. Posisinya mengungguli Jerman, Australia dan Israel. Postur TNI AL tentu menjadi variabel signifkan dalam pembentukan kekuatanTNI.
Lantas apa yang perlu digarisbawahi? Ada dua kalimat yang perlu mendapat perhatian, yakni ‘TNI akan menjadi sangat kuat di Asia Tenggara’ dan ‘Angkatan Laut kita akan kembali jaya di samudera’. Penggalan pertama menunjukkan penekanan TNI akan jauh lebih kuat dari kapasitas saat ini vis- a-vis negara ASEAN, sedangkan penggalan kedua mengingatkan memori tentang era kejayaan TNI AL di era 60-an. Saat itu TNI AL menjelma sebagai paling terkuat di bumi bagian selatan.
Bila dibanding dengan menteri pertahanan sebelumnya, apa yang disampaikan Prabowo mengandung tensi lebih, yakni komitmen sekaligus optimisme untuk menghadirkan postur TNI , khususnya TNI AL, yang jauh lebih berotot. Pesan tegas seperti inilah yang telah ditunggu masyarakat, terutama TNI AL.
Dalam momen yang sama, Prabowo bahkan membeberkan target yang akan dicapai dalam waktu dua tahun ke depan, yakni Indonesia bakal memiliki 50 kapal perang siap tempur. Belum jelas apakah hal dimaksud merujuk pada pembekalan terhadap kapal yang sudah ada hingga siap tempur, atau pembelian baru. Namun dia memastikan anggaran yang disebut terbesar sepanjang sejarah perjalanan Indonesia itu sudah disetujui Presiden Joko Widodo.
Berdasar data, termasuk yang digunakan Global Fire Power dalam memberikan penilaian, secara kuantitas kapal perang yang dimiliki TNI terbilang banyak. Secara keseluruhan jumlahnya mencapai 296 buah, terdiri atas kapal fregat sebanyak 7 unit, kapal korvet (24), kapal selam (4), kapal patroli (181), mine warfare (11).
Namun, bila diukur secara kualitas yang melibatkan sejumlah variabel seperti kecangguhan sistem rudal, sistem manajemen tempur, sistem pertahana udara, dan lainnya, tentu akan menimbulkan tanda tanya karena faktanya mayoritas kapal perang yang dimiliki TNI AL berusia tua.
Pembangunan kekuatan alutsista tentu harus mempertimbangkan perkembangan tekhnologi. Belum lagi ancaman kian meningkat, termasuk menghadapi agresivitas China di Indo Fasifik. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono telah menegaskan, bagi Indonesia memiliki kapal-kapal dengan teknologi modern bukan hanya kebutuhan tetapi sebuah keniscayaan, sebab ancaman yang harus dihadapi semakin kompleks.
Prabowo memahami betul dinamika lingkungan yang berkembang dan tantangan yang dihadapi Indonesia. Karena itu, kebijakan yang diambil sejak diamanahi sebagai menteri pertahanan tampak ambisius. Lihatlah bagaimana dia memborong enam kapal FREMM dari galangan Fincantieri Italia plus dua kapal bekas, Kelas Maestrale. Indonesia juga sudah teken kontrak untuk pembangunan dua kapal fregat dari Inggris, Arrowhead 140, yang bakal dibangun di PT PAL. Tidak hanya itu, negeri ini juga ancang-ancang mengakusisi kapal seram baru, dan membeli Fregat Mogami Kelas dari Jepang.
Pemenuhan kapal perang juga semakin banyak melibatkan galangan kapal dalam negeri. Teranyar pemerintah telah meresmikan KRI Golok-688 buatan PT Lindungi Industri Invest. Saat ini Indonesia juga sudah memulai pembangunan kapan Offshore Patrol Vessel (OPV) di galangan kapal dalam negeri, PT Daya Radar Utama (DRU), yang bekerja sama dengan perusahaan alutsista ternama dunia, Haveksan Turki dan Thales Belanda. Bukan hanya itu, PT PAL juga tengah meneruskan kontrak kapal cepat rudal (KCR) yang dilengkapi dengan sistem manajemen tempur atau CMS canggih dari Terma Denmark.
Alutsista memang sangat mahal. Misalnya, untuk pembelian 6 FREMM dari Italia, pemerintah harus menggelontorkan anggaran sebesar Rp72 triliun. Dana yang dibutuhkan sudah pasti akan berlipat ganda untuk kebutuhan pembelian dan pembangunan fregat lain, kapal selam, atau kapal perang yang ditarget mencapai 50 unit. Tentu pembayaran tidak sekaligus, tapi menggunakan skema long term. Namun, dana itu tidak berarti bila dibandingkan dengan kedaulatan yang harus dipertahankan. Si vis pacem para bellum, jika Indonesia ingin damai maka harus bersiap perang. Kekuatan TNI AL menjadi kunci untuk mewujudkan harapan tersebut.
(ynt)