Pemerintah Didorong Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM 1998 lewat Restorative Justice
loading...
A
A
A
JAKARTA - Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera mendorong penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) 1998 lewat restorative justice atau keadilan restoratif. Mereka menginginkan adanya pengakuan negara terhadap penghilangan nyawa secara paksa dan pemulihan hak-hak para korban.
"Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarga korban, oleh karena itu korban korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM," ujar Ketua Umum Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera Revitriyoso Husodo dalam keterangannya, Senin (31/7/2023).
Dia memberikan contoh perdamaian di Aceh di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) sampai sekarang berjalan dengan damai. Bahkan, kata dia, banyak perubahan yang signifikan di Tanah Rencong tersebut.
"Pengakuan negara terhadap terjadinya pelanggaran HAM dan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam-idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan hak asasi termasuk hak korban," ucapnya.
Dia mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan belum menemukan titik terang yang dapat melindungi korban. "Hingga muncul sebuah pemikiran tentang kemungkinan penerapan restorative justice, keadilan restoratif dalam pelanggaran HAM," ucapnya.
Dia melanjutkan, sistem hukum pidana Indonesia mengalami babak baru. Dia menerangkan, restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
"Alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait," katanya.
Dia menuturkan, prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
"Penyelesaian masalah hukum diselesaikan di luar pengadilan. Penyelesaian dengan cara musyawarah mufakat sesuai dengan landasan Pancasila sila ke 4," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tujuan utama dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang
seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekadar mengedepankan penghukuman.
"Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam bidang hukum pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht” para ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam pendekatan HAM," imbuhnya.
Dia membeberkan ada tiga aspek pendekatan untuk membangun sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum. Yakni, segi struktur, segi substansi, segi budaya yang semuanya layak berjalan secara integral, simultan, dan paralel.
Adapun dasar hukum restorative justice di antaranya adalah Pasal 310 dan Pasal 205 KUHP, Peraturan Kejaksaan Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Tuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
"Proses restorative justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengombinasikan satu mekanisme dengan yang lain," katanya.
"Pelanggaran HAM akan menimbulkan kerugian yang harus diderita oleh korban maupun oleh keluarga korban, oleh karena itu korban korban merupakan pihak yang harus mendapatkan pemulihan kerugian dari terjadinya pelanggaran HAM," ujar Ketua Umum Yayasan Gerak Nusantara Sejahtera Revitriyoso Husodo dalam keterangannya, Senin (31/7/2023).
Dia memberikan contoh perdamaian di Aceh di era Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) sampai sekarang berjalan dengan damai. Bahkan, kata dia, banyak perubahan yang signifikan di Tanah Rencong tersebut.
"Pengakuan negara terhadap terjadinya pelanggaran HAM dan ganti kerugian bagi korban pelanggaran HAM merupakan sesuatu yang selama ini diidam-idamkan, negara seharusnya bertanggung jawab dan memberikan jaminan hak asasi termasuk hak korban," ucapnya.
Dia mengatakan, berbagai upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keadilan belum menemukan titik terang yang dapat melindungi korban. "Hingga muncul sebuah pemikiran tentang kemungkinan penerapan restorative justice, keadilan restoratif dalam pelanggaran HAM," ucapnya.
Dia melanjutkan, sistem hukum pidana Indonesia mengalami babak baru. Dia menerangkan, restorative justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
"Alternatif penyelesaian perkara dengan mekanisme yang berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan semua pihak terkait," katanya.
Dia menuturkan, prinsip dasar restorative justice adalah adanya pemulihan pada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja sosial maupun kesepakatan-kesepakatan lainnya.
"Penyelesaian masalah hukum diselesaikan di luar pengadilan. Penyelesaian dengan cara musyawarah mufakat sesuai dengan landasan Pancasila sila ke 4," ucapnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, tujuan utama dari restorative justice itu sendiri adalah pencapaian keadilan yang
seadil-adilnya terutama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, dan tidak sekadar mengedepankan penghukuman.
"Restorative Justice adalah suatu pendekatan baru dalam bidang hukum pidana yang telah menggantikan pendekatan perbuatan atau pelaku atau “daad dader straftecht” para ahli hukum telah memperkenalkan formula keadilan khususnya dalam pendekatan HAM," imbuhnya.
Dia membeberkan ada tiga aspek pendekatan untuk membangun sistem hukum dalam rangka modernisasi dan pembaharuan hukum. Yakni, segi struktur, segi substansi, segi budaya yang semuanya layak berjalan secara integral, simultan, dan paralel.
Adapun dasar hukum restorative justice di antaranya adalah Pasal 310 dan Pasal 205 KUHP, Peraturan Kejaksaan Negeri Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Tuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020, tanggal 22 Desember 2020 Tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
"Proses restorative justice dapat dilakukan dalam beberapa mekanisme tergantung situasi dan kondisi yang ada dan bahkan ada yang mengombinasikan satu mekanisme dengan yang lain," katanya.
(abd)