Tempat dan Pengisahan
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Pedagang buku bekas
TEMPAT-tempat terus teringat dan tercatat. Tokoh, bahasa, benda, dan segala hal di pelbagai tempat turut membentuk biografi. Tempat tak sekadar alamat. Tempat memuat penggalan atau babak keimanan, keintelektualan, dan kekuasaan. Kita diajak mengartikan tempat meski berubah setelah ditinggalkan raga dan berjarak dengan pergumulan hidup lanjutan.
baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy
Mahbub Djunaidi (1974) bercerita: “Minggu lalu, saya serahkan naskah roman otobiografi ‘Dari Hari Ke Hari’ ke redaksi Pustaka Jaya. Menurut pendapat saya, naskah itu tergolong kesusasteraan. Artinya, fakta-peristiwa yang ditulis bagus-bagus begitu rupa sehingga hampir-hampir bukan seperti fakta lagi. Tentu saja, sebuah hasil sastra atau bukan, bisa dibukukan atau tidak, akhirnya tergantung pada redaksi.” Buku itu memang terbit. Orang-orang mengakui sebagai novel.
Di novel gubahan Mahbub Djunaidi, kita membaca babak ia menjadi bocah di Solo. Ia mengenali pergaulan keagamaan di Kauman (Solo). Tempat itu jauh dari tanah asal. Di Solo, ia merasa tak salah tempat. Biografi tetap disusun dengan belajar di sekolah, ibadah, bermain, dan lain-lain. Ia mencatat tempat, mengingat peristiwa dan tokoh berkaitan masa kecil. Pada suatu masa, tempat itu diceritakan kepada pembaca berakibat merasa mengenali tokoh dan menilik sejarah Indonesia.
Tempat-tempat pun menentukan biografi Saifuddin Zuhri. Kita membaca buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) mencatat tempat-tempat penting dalam urusan agama, ilmu, politik, seni, dan lain-lain. Ia memang mengutamakan pemuliaan tokoh-tokoh di pesantren tapi kita mengetahui ia bergerak di pelbagai tempat. Ingatan atas pengalaman-pengalaman itu menjadikan Saifuddin Zuhri mengerti diri, Islam, dan Indonesia.
Dua tokoh kondang itu mewariskan buku. Kita dapat mengenali dan mengagumi setela khatam buku. Kita bertambah akrab bila mengikuti berita dan wawancara bersama mereka di pelbagai koran dan majalah. Buku memuat biografi, buku menguak ketokohan dengan beragam latar tempat. Pada masa berbeda, kita menafsirkan berkaitan dakwah, revolusi, kebijakan pendidikan, pers, dan lain-lain.
baca juga: Buku dan Kertas Berlalu
Kini, kita berada di depan buku berjudul Kitab, Buku, Sepak Bola (2023) susunan Hairus Salim. Sosok berpengaruh dalam gerakan keagamaan, perbukuan, dan keintelektualan. Kita mengetahui ketenaran Hairus Salim di Jogjakarta. Alamat penting bagi pergumulan ilmu, sastra, dan dakwah. Ia tak lahir dan besar di Jogjakarta. Penulis itu berasal dari tempat berbeda.
Hairus Salim menerangkan: “Ketika menulis ini saya membayangkan sedang bercerita kepada anak-anak saya, para keponakan, atau cucu-cucu saya sendiri. Semacam centang perenang menjelang senja buat mereka. Mereka itulah para pembaca saya. Kalau kemudian ada pembaca di luar itu, siapa pun mereka, maka itu sungguh suatu kehormatan. Hairus Salim tak sekadar menulis diri. Di esai-esai berkaitan dalam buku, ia mengingat dan “menghidupkan” tokoh-tokoh dalam alur hidup: sejak kecil sampai tua. Ia tampak sengaja memilih mengisahkan “bersama” meski diri tetap pokok.
Pedagang buku bekas
TEMPAT-tempat terus teringat dan tercatat. Tokoh, bahasa, benda, dan segala hal di pelbagai tempat turut membentuk biografi. Tempat tak sekadar alamat. Tempat memuat penggalan atau babak keimanan, keintelektualan, dan kekuasaan. Kita diajak mengartikan tempat meski berubah setelah ditinggalkan raga dan berjarak dengan pergumulan hidup lanjutan.
baca juga: Buku-Buku Terlarang Abad 21, Da Vinci Code Terjual 80 Juta Copy
Mahbub Djunaidi (1974) bercerita: “Minggu lalu, saya serahkan naskah roman otobiografi ‘Dari Hari Ke Hari’ ke redaksi Pustaka Jaya. Menurut pendapat saya, naskah itu tergolong kesusasteraan. Artinya, fakta-peristiwa yang ditulis bagus-bagus begitu rupa sehingga hampir-hampir bukan seperti fakta lagi. Tentu saja, sebuah hasil sastra atau bukan, bisa dibukukan atau tidak, akhirnya tergantung pada redaksi.” Buku itu memang terbit. Orang-orang mengakui sebagai novel.
Di novel gubahan Mahbub Djunaidi, kita membaca babak ia menjadi bocah di Solo. Ia mengenali pergaulan keagamaan di Kauman (Solo). Tempat itu jauh dari tanah asal. Di Solo, ia merasa tak salah tempat. Biografi tetap disusun dengan belajar di sekolah, ibadah, bermain, dan lain-lain. Ia mencatat tempat, mengingat peristiwa dan tokoh berkaitan masa kecil. Pada suatu masa, tempat itu diceritakan kepada pembaca berakibat merasa mengenali tokoh dan menilik sejarah Indonesia.
Tempat-tempat pun menentukan biografi Saifuddin Zuhri. Kita membaca buku berjudul Guruku Orang-Orang dari Pesantren (1977) mencatat tempat-tempat penting dalam urusan agama, ilmu, politik, seni, dan lain-lain. Ia memang mengutamakan pemuliaan tokoh-tokoh di pesantren tapi kita mengetahui ia bergerak di pelbagai tempat. Ingatan atas pengalaman-pengalaman itu menjadikan Saifuddin Zuhri mengerti diri, Islam, dan Indonesia.
Dua tokoh kondang itu mewariskan buku. Kita dapat mengenali dan mengagumi setela khatam buku. Kita bertambah akrab bila mengikuti berita dan wawancara bersama mereka di pelbagai koran dan majalah. Buku memuat biografi, buku menguak ketokohan dengan beragam latar tempat. Pada masa berbeda, kita menafsirkan berkaitan dakwah, revolusi, kebijakan pendidikan, pers, dan lain-lain.
baca juga: Buku dan Kertas Berlalu
Kini, kita berada di depan buku berjudul Kitab, Buku, Sepak Bola (2023) susunan Hairus Salim. Sosok berpengaruh dalam gerakan keagamaan, perbukuan, dan keintelektualan. Kita mengetahui ketenaran Hairus Salim di Jogjakarta. Alamat penting bagi pergumulan ilmu, sastra, dan dakwah. Ia tak lahir dan besar di Jogjakarta. Penulis itu berasal dari tempat berbeda.
Hairus Salim menerangkan: “Ketika menulis ini saya membayangkan sedang bercerita kepada anak-anak saya, para keponakan, atau cucu-cucu saya sendiri. Semacam centang perenang menjelang senja buat mereka. Mereka itulah para pembaca saya. Kalau kemudian ada pembaca di luar itu, siapa pun mereka, maka itu sungguh suatu kehormatan. Hairus Salim tak sekadar menulis diri. Di esai-esai berkaitan dalam buku, ia mengingat dan “menghidupkan” tokoh-tokoh dalam alur hidup: sejak kecil sampai tua. Ia tampak sengaja memilih mengisahkan “bersama” meski diri tetap pokok.