Tempat dan Pengisahan
loading...
A
A
A
Hairus Salim berasal dari Kalimantan Selatan. Ia perlahan mengetahui “segala” untuk menjadi santri dan “pemilik” dunia. Pilihan membentuk diri di pesantren. Tempat dalam babak awal belajar dan beriman itu bernama Pondok Pesantren Al Falah. Pada masa 1980-an, ia menunaikan misi dan bertaruh dalam nasib. Ia jauh dari pusat-pusat keilmuan di Jawa. Di pesantren, ia tetap merasa mendapat pintu-pintu terbuka untuk mengetahui pelbagai hal dan bergerak ke segala arah (pemikiran). Tempat itu terbukti menentukan perjalanan sampai ke Jogjakarta.
baca juga: Hari Buku Anak Sedunia, MNC Peduli Bagikan Buku ke PAUD Muara Gembong Bekasi
Pengalaman menjadi santri: “Hari-hari pertama hingga beberapa minggu awal, saya betul-betul mengalami guncangan hebat. Bagaimana pun sampai lulus SD itu, saya tidak pernah berpisah dengan kedua orangtua dan saudara. Karena itu, saya merasa seperti dicabut dari akar dan kehilangan pegangan atau sandaran.” Ia berhasil betah dan bermakna di pesantren. Identitas sebagai santri memberi derajat “berlebih” saat mengetahui kepustakaan dan keindonesiaan. Kesadaran pada masa berbeda, terhubung tempat-tempat biografis.
Pada masa dewasa, Hairus Salim tekun dalam perbukuan, tak menjauh dari tema (pemikiran) agama. Pilihan sesuai alur bermula saat masih kecil dan remaja. Ia mengenang: “Sejak di bangku SD suka sekali membaca buku, entah itu novel, biografi, komik, dan lain-lain.” Ia terpikat tulisan. Tangan itu memegang buku, ditambah pelbagai majalah. “Di rumah berhamburan majalah-majalah seperti Kiblat, Panjimas, Gema Islam, Tempo,” ingat Hairus Salim. Pada masa berbeda, ia pernah menulis sejenis surat meralat resensi buku dimuat di Tempo. Hairus Salim pun menulis esai kebahasaan. Dulu, ia sebagai pembaca. Pada saat berpindah tempat dan mengalami gejolak keintelektualan, ia menulis di Tempo.
Hairus Salim saat masih murid SD sudah bergerak jauh dengan buku-buku. Kita mengira itu takdir. Di Jogjakarta, ia memang penggerak buku. Ia tak sekadar menulis. Peran-peran dimainkan dalam diskusi dan penerbitan. Ia memang berada di Kalimantan Selatan tapi lekas terhubung dengan pusat-pusat pengetahuan di Jawa.
Dulu, ia sudah membaca tulisan atau buku dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Ia mengerti sosok-sosok dalam asuhan pendidikan di pesantren. Di buku-buku, Hairus Salim seperti mendapat peta atau kompas untuk babak-babak lanjutan dalam hidup. Ia tak harus selalu berada di Kalimantan.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Buku di hadapan kita masih babak awal, belum tengah dan akhir. Hairus Salim berkisah saat berada di Pondok Pesantren Al Falah diakui menjadi “pintu gerbang yang besar dan bermakna untuk perjalanan kehidupan saya lebih lanjut”. Pesantren itu menjadi “candradimuka yang menggodok jiwa dan menyiramkan pengetahuan ke diri saya.”
Pada 1990, terbit buku berjudul Mencari Islam: Kumpulan Otobiografi Intelektual Kaum Muda Muslim Indonesia Angkatan 80-an dengan editor Ihsan Ali Fauzi dan Haidar Bagir. Kita mengenali dan mengakrabi Hamid Basyaib, Saiful Muzani, Yudi Latif, Budhy Munawar-Rachman, Samsu Rizal Panggabean, Nurul Agustina, dan Miranda Risang Ayu. Mereka bercerita diri, tempat, alur keintelekualan, gejolak iman, dan bacaan. Pada saat buku itu terbit, Hairus Salim belum memutuskan menulis diri.
Kini, kita mengira Hairus Salim sedang membuat buku jilid pertama. Ia mungkin berlanjut menggarap jilid-jilid lanjutan untuk mengisahkan babak keintelektualan masa 1990-an atau awal abad XXI. Situasi sudah berubah dan perpindahan terjadi dengan meninggalkan tanah asal. Selera telah ditentukan Hairus Salim: menulis buku berbeda dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Buku dengan “esai-esai” tetap mengajak kita masuk ke biografi. Begitu.
baca juga: Hari Buku Anak Sedunia, MNC Peduli Bagikan Buku ke PAUD Muara Gembong Bekasi
Pengalaman menjadi santri: “Hari-hari pertama hingga beberapa minggu awal, saya betul-betul mengalami guncangan hebat. Bagaimana pun sampai lulus SD itu, saya tidak pernah berpisah dengan kedua orangtua dan saudara. Karena itu, saya merasa seperti dicabut dari akar dan kehilangan pegangan atau sandaran.” Ia berhasil betah dan bermakna di pesantren. Identitas sebagai santri memberi derajat “berlebih” saat mengetahui kepustakaan dan keindonesiaan. Kesadaran pada masa berbeda, terhubung tempat-tempat biografis.
Pada masa dewasa, Hairus Salim tekun dalam perbukuan, tak menjauh dari tema (pemikiran) agama. Pilihan sesuai alur bermula saat masih kecil dan remaja. Ia mengenang: “Sejak di bangku SD suka sekali membaca buku, entah itu novel, biografi, komik, dan lain-lain.” Ia terpikat tulisan. Tangan itu memegang buku, ditambah pelbagai majalah. “Di rumah berhamburan majalah-majalah seperti Kiblat, Panjimas, Gema Islam, Tempo,” ingat Hairus Salim. Pada masa berbeda, ia pernah menulis sejenis surat meralat resensi buku dimuat di Tempo. Hairus Salim pun menulis esai kebahasaan. Dulu, ia sebagai pembaca. Pada saat berpindah tempat dan mengalami gejolak keintelektualan, ia menulis di Tempo.
Hairus Salim saat masih murid SD sudah bergerak jauh dengan buku-buku. Kita mengira itu takdir. Di Jogjakarta, ia memang penggerak buku. Ia tak sekadar menulis. Peran-peran dimainkan dalam diskusi dan penerbitan. Ia memang berada di Kalimantan Selatan tapi lekas terhubung dengan pusat-pusat pengetahuan di Jawa.
Dulu, ia sudah membaca tulisan atau buku dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Ia mengerti sosok-sosok dalam asuhan pendidikan di pesantren. Di buku-buku, Hairus Salim seperti mendapat peta atau kompas untuk babak-babak lanjutan dalam hidup. Ia tak harus selalu berada di Kalimantan.
baca juga: Gaya Asyik Kedai Kopi Bumi Citarik Menguliti Buku “Susuk Kapal Borobudur”
Buku di hadapan kita masih babak awal, belum tengah dan akhir. Hairus Salim berkisah saat berada di Pondok Pesantren Al Falah diakui menjadi “pintu gerbang yang besar dan bermakna untuk perjalanan kehidupan saya lebih lanjut”. Pesantren itu menjadi “candradimuka yang menggodok jiwa dan menyiramkan pengetahuan ke diri saya.”
Pada 1990, terbit buku berjudul Mencari Islam: Kumpulan Otobiografi Intelektual Kaum Muda Muslim Indonesia Angkatan 80-an dengan editor Ihsan Ali Fauzi dan Haidar Bagir. Kita mengenali dan mengakrabi Hamid Basyaib, Saiful Muzani, Yudi Latif, Budhy Munawar-Rachman, Samsu Rizal Panggabean, Nurul Agustina, dan Miranda Risang Ayu. Mereka bercerita diri, tempat, alur keintelekualan, gejolak iman, dan bacaan. Pada saat buku itu terbit, Hairus Salim belum memutuskan menulis diri.
Kini, kita mengira Hairus Salim sedang membuat buku jilid pertama. Ia mungkin berlanjut menggarap jilid-jilid lanjutan untuk mengisahkan babak keintelektualan masa 1990-an atau awal abad XXI. Situasi sudah berubah dan perpindahan terjadi dengan meninggalkan tanah asal. Selera telah ditentukan Hairus Salim: menulis buku berbeda dari Saifuddin Zuhri dan Mahbub Djunaidi. Buku dengan “esai-esai” tetap mengajak kita masuk ke biografi. Begitu.