Indonesia Tegak Lurus Hilirisasi SDA, IMF Meradang

Senin, 24 Juli 2023 - 16:13 WIB
loading...
Indonesia Tegak Lurus...
Riyanda Barmawi, Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Riyanda Barmawi
Ketua Bidang Ekonomi Pembangunan PB HMI

KOMODITAS nikel merupakan sumber daya mineral yang memiliki nilai strategis dalam pasar global. Badan Energi Internasional (IEA) di Southeast Asia Energy Outlook 2022 memprediksi permintaan nikel di pasar global akan terus meningkat pada periode 2020-2040, di tengah menguatnya trend transisi menuju Energi Baru Terbarukan (EBT).

Indonesia sendiri, sebagai salah satu negara yang memiliki potensi mineral terbesar, menguasai lebih 20 persen dari total ekspor nikel dunia. Bahkan di pasaran Uni Eropa, Indonesia tercatat menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri dimawasan tersebut. Sementara untuk kemampuan produksi, Indonesia mampu menyumbang produksi nikel hingga 1,6 juta metrik ton pada 2022 (Statista.com, 16/2/2023).

Dengan melihat nilai strategis nikel bagi masa depan industri membuat Indonesia pada masa Pemerintahan Jokowi, memikirkan kembali arah kebijakan di sektor pertambangan. Keinginan untuk mengamankan stok bijih nikel untuk menjawab kebutuhan ekonomi di dalam negeri, serta dorongan untuk mengembangkan industri hilir, akhirnya bermuara pada kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Kendati larangan ekspor telah muncul semenjak diterapkannya UU Minerba pada 2009 silam. Namun setelah memasuki era Jokowi, komitmen tersebut ditunaikan secara lebih konkret yang tertuang dalam Permen ESDM No 11/2019. Hanya saja, upaya pemerintah untuk membangun industri dalam negeri melalui program hilirisasi industri tampaknya harus menghadapi berbagai halang rintang.

Ketergantungan negara-negara Uni Eropa terhadap komoditas nikel telah memunculkan sikap resisten terhadap kebijakan hilirisasi dari Pemerintahan Jokowi. Sialnya, gugatan atas kebijakan tersebut tidak hanya datang dari Uni Eropa semata, melainkan lembaga-lembaga multilateral, seperti International Monetary Fund (IMF).

Resistensi IMF terhadap Indonesia
Kebijakan hilirisasi tampak dinilai menjadi ancaman bagi Uni Eropa. Sebab larangan ekspor nikel membuat akses produsen di UE terhadap komoditas ini menjadi terbatas. Sehingga pada November 2019 lalu, kebijakan larangan ekspor kemudian digugat Uni Eropa di World Trade Organization (WTO).

Menanggapi gugatan tersebut, Menteri BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan Indonesia tidak akan surut atas “tekanan” dari berbagai pihak terkait dengan kebijakan larangan ekspor. Sebab kebijakan tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya melakukan hilirisasi yang maksimal guna menyongsong masa depan industri nasional.

Pasalnya, hilirisasi dapat memberikan nilai tambah bagi perekonomian melalui kinerja ekspor yang positif. Sebagai contoh, pada 2017 atau sebelum ada larangan, ekspor produk besi dan baja Indonesia hanya USD3,3 miliar. Sementara setelah ada larangan, maka pada 2022 realisasi ekspor produk besi dan baja tercatat sebesar USD27,8 miliar.

Kendati hilirisasi membawa manfaat positif bagi kepentingan nasional, namun pandangan yang demikian tampaknya luput dilihat IMF. Dalam “IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia”, IMF justru menyarankan agar Pemerintah Indonesia mencabut larangan ekspor nikel secara bertahap. Menurutnya, kebijakan hilirisasi menimbulkan hambatan negatif bagi negara lain.

Sebagai lembaga yang memiliki catatan historis yang kelam sewaktu krisis moneter 1997, tentu saran IMF menjadi sangat problematik di tengah perjuangan bangsa ini membangun industri dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah. Tidak heran manakala saran tersebut menandakan IMF tidak menghendaki Indonesia menjadi negara maju.

Nasionalisme Sumber Daya Alam
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah. Potensi ini menjadi modal penting dalam mendorong transformasi menuju global key player. Di mana cadangan sumber daya harus didukung kebijakan yang benar-benar berpijak pada national interest, tanpa mengeliminasi peluang kerja sama lintas bangsa.

Pada masa Pemerintahan Jokowi, dorongan untuk membawa transformasi Indonesia menjadi global key player, telah diejawantahkan ke dalam kebijakan hilirisasi komoditas pertambangan. Hilirisasi merupakan strategi dalam meningkatkan nilai tambah komoditas. Selain itu, hilirisasi juga dapat memperkuat struktur industri dan meningkatkan peluang melalui penciptaan lapangan kerja.

Dengan kebijakan hilirisasi, maka Indonesia tidak lagi terjebak pada posisi sebagai negara pengekspor bahan mentah, melainkan bertransformasi menjadi pengekspor barang setengah jadi atau jadi. Tentu keinginan ini sangatlah logis. Mengingat potensi sumber daya alam yang tinggi mengharuskan Indonesia harus mampu mendapatkan manfaat besar atas sumber daya yang dimilikinya.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1274 seconds (0.1#10.140)