Suara Hati dalam Dua Fiksi

Senin, 17 Juli 2023 - 12:23 WIB
loading...
Suara Hati dalam Dua...
Kemala Atmojo - Peminat Filsafat, Hukum, dan Seni. Foto/Dok Pribadi
A A A
Kemala Atmojo
Peminat filsafat, hukum, dan seni

Andai saja Marti, seorang pelacur profesional, lebih mementingkan harta daripada cinta, maka dia akan memilih Alex dan bersedia menjadi istrinya. Pria kaya raya itu bahkan rela menceraikan istrinya agar bisa kawin dengan Marti. Beberapa kali ia mengajak Marti untuk segera menikah.

Tetapi Marti selalu berusaha memberi alasan kepada Alex untuk tidak segera memberi jawaban tegas, hingga suatu kali terucaplah kata penolakannya: “Karena aku tidak menyintai kamu.” Lelaki itu terkejut. Marti melanjutkan: ”Aku seorang profesional. Kujual tubuhku, tapi tidak kujual hatiku.”

Marti adalah seorang pelacur yang bekerja di klab malam dan tak jarang membawa laki-laki ke rumah atau ajakan ke luar kota. Di rumah itu Sandra, anaknya yang masih kelas V Sekolah Dasar, sudah terbiasa dengan putung rokok, botol bir, celana dalam, dan kaus kaki yang berserakan di lantai. Meski sering bersikap kasar dan meninggalkan rumah, Marti tetap ingin agar nantinya Sandra menjadi “orang baik-baik” alias tidak seperti dirinya saat ini.

Marti lebih menyintai Ronggur, pria yang selalu datang dan pergi – dan ternyata justru tidak ingin menikah dengan Marti. Sampai akhir hayatnya, Marti tidak menikah lagi. Benar atau salah atas keputusannya, Marti telah menentukan sikapnya, menunjukkan siapa dirinya, bagaimana kepribadiannya.

Begitu sebagian kisah Novel Marti & Sandra karya Seno Gumira Ajidarma. Novel ini pada mulanya adalah cerita pendek berjudul Pelajaran Mengarang yang ditulis pada 1991. Setelah itu dikembangkan menjadi skenario dengan judul Ibuku Seorang Pelacur pada 1997, dan diproduksi menjadi film televisi (FTV) pada 2013. Selanjutnya disunting ulang menjadi prosa pada Maret 2022 dengan judul Marti & Sandra, yang diterbitkan oleh PT Kompas Media Nusantara.

Sebagai pribadi, sebagai individu, manusia memang mempunyai kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri. Setiap individu bersifat unik, dan ini berkaitan dengan kerohaniannya. Kata “individu” itu merujuk pada keutuhan aspek kerohanian dan aspek kejasmanian sekaligus. Kata lain yang berdekatan adalah “persona”. Kata “persona” yang aslinya berarti “topeng”, kini dimengerti sebagai kualitas-kualitas pribadi yang ada dalam diri seseorang. Secara lebih umum, kini persona dipahami sebagai “jati diri” seseorang. Beberapa filosof yang menaruh perhatian tentang “pribadi” atau “persona” ini, antara lain lain, Boethius, Thomas Aquinas, Sigmund Freud, Mounier, Martin Buber, dan lain-lain.

Ada beberapa elemen yang melekat dalam sebuah kepribadian. Setidaknya ada 6 (enam) elemen yang sering disebut, yakni: karakter, akal budi, kebebasan, nama, suara hati, dan perasaan. Beberapa filosof yang banyak melakukan refleksi soal elemen kepribadian ini, antara lain, Francis Bacon, Alfred North Whitehead, John Dewey, dan lain-lain.

Pilihan Marti menolak Alex, menurut saya, adalah ungkapan suara hatinya -- salah satu dari enam elemen kepribadian. Suara hatinya memutuskan bahwa dia harus menolak Alex. Dia tidak menyintai Alex, meskipun ia kaya raya dan bakal menjamin masa depannya secara materi.

Lain lagi dengan kisah Bagus Burhan dalam novel Penari dari Serdang karya Yudhistira ANM Massardi tahun 2018. Bagus, seorang sastrawan dan wartawan nasional, mula-mula diundang untuk menjadi juri lomba pidato di kota Medan. Tetapi, karena aktivitasnya yang lain, ia harus lebih lama tinggal di sana.

Mula-mula Bagus bertemu dengan Putri Chaya, seorang penari cantik dari Serdang dan pemilik sanggar tari. Hubungan mereka makin lama semakin intim. Chaya hidup menjanda dengan satu anak bernama Lenggang. Selain itu, Bagus juga berkenalan dengan Tengku Natashya, pengelola perpustakaan keluarga, pakar tari Melayu, dan penjual kain tradisional. Dengan kedua perempuan itulah Bagus terlibat dalam “hubungan emosional” yang sangat mendalam.

Tetapi Bagus punya istri (Mia) serta dua anak (Daru dan Ratri) di Jakarta. Jadi mau tak mau ia harus kembali kepada keluarganya. Rasa bersalah menghantui Bagus. Ia merasa sudah terlalu lama dan terlalu banyak berdusta kepada Mia dan anak-anaknya. Rasa bersalahnya makin lama makin membesar dan menghantuinya. Apalagi, perkembangan terakhir hubungannya dengan Putri Chaya, sudah melibatkan Lenggang, gadis yang sudah terbiasa memanggilnya “Papa”.

Bagus merasa sedih dan takut. Ia tak tahu bakal ke mana hubungannya dengan kedua wanita itu. Ia seperti tak bsa menghentikannya. Tapi ia juga membutuhkan Mia. Ia membutuhkan bantuan dan kepercayaan Mia sekaligus pengampunan darinya. Bagus mengharapkan belas kasih dan pengertian Mia, lalu bersama-sama mencari solusinya.

Tetapi, bagaimana Bagus harus memulai pengakuan dosa itu? Bagaimana ia menanggalkan satu per satu topeng dusta dan dosanya? Bagaimana pula dia akan menghadapi semua akibatnya? Murka Mia. Luka jiwa Daru dan Ratri? Rasanya ia ingin menjerit. Menangisi semua kebodohan yang memabokkan, menimbulkan demam, ketagihan, dan rindu-dendam yang tak tertahankan!

Nah, tentang rasa bersalah ini, saya teringat apa yang digambarkan oleh Ernest R. Hilgard dalam Introduction to Psychology. Katanya, rasa bersalah bisa disebabkan oleh adanya konflik antara ekspresi impuls dan standar moral. Secara kultural, setiap kelompok masyarakat memiliki peraturan untuk mengendalikan impuls yang diawali dengan pendidikan sejak masa anak-anak hingga dewasa, termasuk pengendalian seks.

Seks dan agresi merupakan dua wilayah yang selalu menimbulkan konflik yang dihadapkan pada standar moral. Pelanggaran terhadap standar moral inilah yang bisa menimbulkan rasa bersalah. Bagus, secara moral merasa bersalah kepada Mia, istrinya, dan kedua anaknya.

Perasaan bersalah ini bisa ringan atau berat, bisa berlangsung lama atau singkat. Ini tergantung pada derajat rasa bersalah dan kemampuan mereka untuk mengatasinya. Rasa bersalah dengan derajat rendah dapat dihapuskan karena si individu mengingkarinya dan ia merasa benar.

Ada juga orang yang sadar apa yang harus dilakukannya dan ia sungguh-sungguh memahami bahwa ia telah melanggar suatu keharusan tertentu. Biasanya rasa bersalah jenis ini bertahan agak lama karena pelanggaran yang dia lakukan memiliki derajat yang cukup tinggi, khususnya dalam ukuran moral yang dia yakini. Menurut saya, rasa bersalah yang dialami oleh Bagus dan apa yang harus ia lakukan itu muncul dari suara hatinya.

Diskursus filosofis mengenai suara hati memang punya banyak dimensi. Mulai dari fakta adanya suara hati itu sendiri, kemutlakannya, potensi kekeliruannya, rasionalitasnya, sampai bagaimana melatih atau mengembangkannya. Di sini saya hanya akan mengutarakan hal-hal yang pokok yang mungkin sudah dimengerti banyak orang.

Suara hati adalah bagian hakiki dari kepribadian manusia. Suara hati ini bersifat personal. Urusan pribadi masing-masing orang. Tidak ada pihak luar yang bisa mengetahui kedalaman suara suara hati seseorang. Pembentukan mutu sura hati ini terkait dengan latar belakang, pendidikan, lingkungan, dan budaya seseorang.

Suara hati ini, antara lain berperan sebagai pedoman hidup bagi setiap orang dalam mengambil keputusannya pada momen tertentu. Jadi dia berfungsi etis karena mengarahkan seseorang untuk mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya, dalam putusannya.

Dengan kata lain, suara hati menjadi pangkal otonomi manusia, karena ia merupakan kesadaran langsung tentang apa yang menjadi kewajibannya sebagai manusia dalam situasi konkret. Suara hati sekaligus menegaskan kebebasan manusia, yakni kemampuannya untuk menentukan diri lepas dari penentuan pihak luar atau orang lain.

Dalam dunia nyata, sering kita mendengar bahwa seseorang mengaku telah membuat keputusan yang keliru. Atau kita menghadapi situasi yang ragu-ragu. Dalam keadaan ragu-ragu, jika suatu keputusan masih dapat ditunda, maka sebaiknya orang tersebut pertama-tama wajib untuk mencari informasi lebih banyak untuk memperoleh kejelasan tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, jika keputusan yang harus diambil tidak dapat ditunda, dan seseorang tetap ragu-ragu, maka sebaiknya ia mengikuti suara hatinya pada saat itu.

Akhirnya, bagaimana menurut Anda keputusan yang diambil Marti dalam novel Seno Gumira? Sudah benar? Lalu bagaimana jika Anda sebagai Bagus Burhan dalam novel Yudhistira?
(wur)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1579 seconds (0.1#10.140)