Pemilu 2024 dan Pentingnya Komitmen Melindungi Seluruh Warga Negara
loading...
A
A
A
Ketika pemerintah Indonesia tidak mampu mempertahankan ketertiban politik, peristiwa ini memaksa Soeharto mengundurkan diri secara terpaksa dan digantikan oleh penerusnya, BJ Habibie, untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan menyelesaikan berbagai masalah yang timbul akibat kerusuhan dan kegagalan Orde Baru.
Periode transisi ini menandai proses demokratisasi di Indonesia, mengakhiri pemerintahan otoriter jangka panjang Soeharto, dan membuka jalan bagi reformasi politik dan pluralisme. Namun, proses demokratisasi tidak berjalan mulus, dan Indonesia masih menghadapi tantangan dan kesulitan dalam tahun-tahun berikutnya. Namun, krisis keuangan Asia 1997 dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang memicu transformasi politik di Indonesia.
Setelah Habibie menjadi presiden, dia mendorong serangkaian langkah-langkah demokratisasi, termasuk melalui undang-undang partai politik, undang-undang pemilu, dan undang-undang organisasi parlemen. Berdasarkan undang-undang ini, pada Mei 1998, Indonesia menghapus larangan terhadap berdirinya partai politik lain selama masa Orde Baru, dan pada tahun 1999 diadakan pemilihan umum nasional pertama dengan jumlah parpol yang besar. Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, memperoleh dukungan pemilih dengan citra nasionalisme dan reformasi kelas menengah, dan menjadi partai terbesar di parlemen. Meskipun partai reformis meraih kemenangan, namun karena divergensi yang beragam dalam struktur sosial Indonesia, tidak ada satu partai pun yang mampu memperoleh mayoritas kursi di parlemen.
Berdasarkan kesamaan ideologi agama, partai Islamis membentuk aliansi politik "Poros Tengah" dan berhasil memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Mereka mencalonkan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden Indonesia. Konfigurasi politik ini mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia dan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan berbagai faksi.
Dalam proses demokratisasi Indonesia, orang Tionghoa pertama kali mendirikan partai politik. Pada tanggal 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma mendirikan Partai Reformasi Tionghoa, sementara Muhammad Yusuf Hamka, seorang Muslim Tionghoa peranakan, mendirikan Partai Pembauran Indonesia. Namun, kedua partai ini tidak dapat menarik minat orang Tionghoa, salah satunya karena adanya ketakutan di kalangan orang Tionghoa terhadap keterlibatan politik, terutama dalam hal yang terkait dengan Tiongkok.
Setelah peristiwa 30 September 1965, orang Tionghoa menjadi korban antikomunisme, yang menyebabkan banyak keluarga Tionghoa ingin menjauhkan anak-anak mereka dari politik. Selain itu, orang Tionghoa sering merasa sebagai "outsider" dan memilih untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berbau politik. Hal ini juga menyebabkan kesan masyarakat pribumi bahwa orang Tionghoa enggan berbaur dan menolak untuk terintegrasi dalam masyarakat lokal, sementara masyarakat pribumi juga merasa bahwa orang Tionghoa menganggap diri mereka lebih superior.
Namun, organisasi-organisasi Tionghoa yang didirikan setelah tahun 1998, seperti Ikatan Nasional Tionghoa Indonesia (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), menekankan bahwa mereka adalah organisasi budaya dan tidak ikut campur dalam politik. Namun, sebenarnya menurut ilmu politik, baik organisasi yang didirikan untuk kegiatan budaya maupun sosial, begitu ada pendirian organisasi, itu menunjukkan keterlibatan dalam kegiatan politik atau berpolitik.
Hambatan partisipasi politik orang Tionghoa sering melibatkan faktor sejarah, sosial, dan budaya yang mendalam. Penyelesaian masalah-masalah ini membutuhkan waktu dan upaya untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana semua warga negara dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan setara.
Sikap orang Tionghoa ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam menjamin prinsip "keadilan sosial tanpa diskriminasi", misalnya dalam beberapa peristiwa khusus yang memiliki dampak negatif bagi orang Tionghoa di Indonesia, dan mencerminkan bahwa dalam beberapa kasus, orang Tionghoa masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil. Sebagai contoh, dalam pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2004 yang menyebut bahwa orang Tionghoa mengendalikan ekonomi seluruh negara Indonesia.
Pernyataan pejabat negara seperti itu mencerminkan perilaku yang tidak pantas dari beberapa pejabat pemerintah atau otoritas lokal dan sikap diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Perilaku dan sikap seperti itu merugikan dalam membangun masyarakat yang adil dan setara, dan mungkin memperkuat keraguan dan ketakutan orang Tionghoa dalam berpartisipasi dalam politik.
Periode transisi ini menandai proses demokratisasi di Indonesia, mengakhiri pemerintahan otoriter jangka panjang Soeharto, dan membuka jalan bagi reformasi politik dan pluralisme. Namun, proses demokratisasi tidak berjalan mulus, dan Indonesia masih menghadapi tantangan dan kesulitan dalam tahun-tahun berikutnya. Namun, krisis keuangan Asia 1997 dapat dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang memicu transformasi politik di Indonesia.
Setelah Habibie menjadi presiden, dia mendorong serangkaian langkah-langkah demokratisasi, termasuk melalui undang-undang partai politik, undang-undang pemilu, dan undang-undang organisasi parlemen. Berdasarkan undang-undang ini, pada Mei 1998, Indonesia menghapus larangan terhadap berdirinya partai politik lain selama masa Orde Baru, dan pada tahun 1999 diadakan pemilihan umum nasional pertama dengan jumlah parpol yang besar. Pemilu 1999, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri, memperoleh dukungan pemilih dengan citra nasionalisme dan reformasi kelas menengah, dan menjadi partai terbesar di parlemen. Meskipun partai reformis meraih kemenangan, namun karena divergensi yang beragam dalam struktur sosial Indonesia, tidak ada satu partai pun yang mampu memperoleh mayoritas kursi di parlemen.
Berdasarkan kesamaan ideologi agama, partai Islamis membentuk aliansi politik "Poros Tengah" dan berhasil memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Mereka mencalonkan pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Abdurrahman Wahid, sebagai Presiden Indonesia. Konfigurasi politik ini mencerminkan pluralitas masyarakat Indonesia dan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan berbagai faksi.
Dalam proses demokratisasi Indonesia, orang Tionghoa pertama kali mendirikan partai politik. Pada tanggal 5 Juni 1998, Lieus Sungkharisma mendirikan Partai Reformasi Tionghoa, sementara Muhammad Yusuf Hamka, seorang Muslim Tionghoa peranakan, mendirikan Partai Pembauran Indonesia. Namun, kedua partai ini tidak dapat menarik minat orang Tionghoa, salah satunya karena adanya ketakutan di kalangan orang Tionghoa terhadap keterlibatan politik, terutama dalam hal yang terkait dengan Tiongkok.
Setelah peristiwa 30 September 1965, orang Tionghoa menjadi korban antikomunisme, yang menyebabkan banyak keluarga Tionghoa ingin menjauhkan anak-anak mereka dari politik. Selain itu, orang Tionghoa sering merasa sebagai "outsider" dan memilih untuk tidak terlibat dalam hal-hal yang berbau politik. Hal ini juga menyebabkan kesan masyarakat pribumi bahwa orang Tionghoa enggan berbaur dan menolak untuk terintegrasi dalam masyarakat lokal, sementara masyarakat pribumi juga merasa bahwa orang Tionghoa menganggap diri mereka lebih superior.
Namun, organisasi-organisasi Tionghoa yang didirikan setelah tahun 1998, seperti Ikatan Nasional Tionghoa Indonesia (INTI) dan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), menekankan bahwa mereka adalah organisasi budaya dan tidak ikut campur dalam politik. Namun, sebenarnya menurut ilmu politik, baik organisasi yang didirikan untuk kegiatan budaya maupun sosial, begitu ada pendirian organisasi, itu menunjukkan keterlibatan dalam kegiatan politik atau berpolitik.
Hambatan partisipasi politik orang Tionghoa sering melibatkan faktor sejarah, sosial, dan budaya yang mendalam. Penyelesaian masalah-masalah ini membutuhkan waktu dan upaya untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan setara, di mana semua warga negara dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik dengan setara.
Sikap orang Tionghoa ini disebabkan oleh ketidakpercayaan terhadap pemerintah dalam menjamin prinsip "keadilan sosial tanpa diskriminasi", misalnya dalam beberapa peristiwa khusus yang memiliki dampak negatif bagi orang Tionghoa di Indonesia, dan mencerminkan bahwa dalam beberapa kasus, orang Tionghoa masih menghadapi diskriminasi dan perlakuan yang tidak adil. Sebagai contoh, dalam pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada tahun 2004 yang menyebut bahwa orang Tionghoa mengendalikan ekonomi seluruh negara Indonesia.
Pernyataan pejabat negara seperti itu mencerminkan perilaku yang tidak pantas dari beberapa pejabat pemerintah atau otoritas lokal dan sikap diskriminatif terhadap orang Tionghoa. Perilaku dan sikap seperti itu merugikan dalam membangun masyarakat yang adil dan setara, dan mungkin memperkuat keraguan dan ketakutan orang Tionghoa dalam berpartisipasi dalam politik.