Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan Tanpa Kemanfaatan

Senin, 03 Juli 2023 - 15:33 WIB
loading...
Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Tiada Kesalahan Tanpa Kemanfaatan
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

ASAS tiada pidana tanpa kesalahan (asas I) lahir pada abad 18 dan dalam praktik telah dilaksanakan sampai hari ini di negara-negara yang menganut sistem hukum kontinental (civil law system). Asas hukum pidana tersebut merupakan asas hukum universal, yang diyakini para ahli hukum pidana merupakan satu-satunya asas hukum yang sepantasnya dianut dan dipertahankan.

Asas ini menyatakan bahwa tanpa pembuktian yang meyakinkan hakim akan kesalahan perbuatan pelaku dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya maka tiada pidana ( penjeraan/penderitaan) yang boleh dijatuhkan kepadanya.

Di balik asas hukum tiada pidana tanpa kesalahan (TPTK) terkandung maksud dan tujuan baik. Yakni demi kemanusiaan harus ada ketelitian dalam memeriksa perbuatan pidana yang dapat dipertanggungjawabkan pada pembuat/ pelaku sehingga tidak ada hukuman yang dijatuhkan terhadap seseorang yang terbukti kemudian tidak bersalah.

Contoh kasus seperti itu telah terjadi pada peristiwa Jean Callas yang telah dijatuhi hukuman mati pada abad 18 dan ternyata orang lain yang melakukan kejahatan itu. Contoh yang sama terjadi di era 1960-an dalam perkara Sengkon dan Karta yang dijatuhi hukuman atas dugaan pembunuhan, yang terbukti kenudian orang lain yang nelakukannya.

Asas hukum TPTK memiliki visi kemanusiaan namun lebih memgutamakan tujuan pembalasan atas suatu kejahatan yang ditujukan kepada pelakunya dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Di dalam praktik telah terbukti asas hukum TPTK telah diterapkan sewenang-wenang dan tidak dilakukan dengan hati-hati/ teliti sehingga telah banyak menimbulkan korban-korban tidak berdosa.

Seiring dengan perubahan perkembangan pandangan atas nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab dari masa ke masa terjadi perubahan pandangan hidup. Nilai kemanusiaan yang bersifat universal tidak terbatas pada nilai kesusilaan-keagamaan semata. Nilai universal-riil wajib dihormati dan diwujudkan oleh setiap umat manusia yang dikenal dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

HAM telah diakui seluruh bangsa-bangsa pada tahun 1948 melalui suatu deklarasi yang dikenal dengan Universal Decklaration Of Human Rights. Sejalan dengan perkembangan pandangan mengenai nilai kemanusiaan yang adil dan beradab terkini (HAM) dan peristiwa sosial yang merupakan efek samping negatif dari asas TPTK telah muncul eksistensi pandangan relatif baru yaitu Utilitarianisme (Jeremy Bentham-1781) yang mengutamakan kemanfaatan sosial bagi mayoritas masyarakat.

Aliran Utilitarianisme sejalan dengan tujuan hukum kemanfaatan. Di samping kepastian hukum dan keadilan, akan tetapi tidak pernah terpikirkan bahkan dipertimbangkan dalam praktik penyelesaian perkara pidana yang sejatinya adalah mengungkapkan kebenaran materiel (sesungguhnya/senyatanya) dari proses peradilan pidana.

Dalam konteks kebenaran materiil inilah, praktik penerapan hukum pidana, terutama dalam perkara tindak pidana khusus seperti tindak pidana korupsi selama kurang lebih lebih dari 50 tahun kemerdekaan Indonesia, tidak pernah tercapai secara memadai. Artinya, lebih banyak kemudaratan dari pada kemaslahatannya. Tidak jarang malah mengakibatkan kezaliman terhadap terduga pelaku tipikor.

Selain efek negatif dari upaya menemukan kebenaran materiil, dalam kenyataan praktik hukum pidana in casu UU Tipikor, telah mengakibatkan penderitaan lahiriah dan batiniah. Ini karena negara tidak berhasil dan tidak mampu menyediakan fasilitas terpidana untuk menjalankan hukumannya di dalam lapas karena penjara telah melebihi batas hunian (overcrowding). Hal ini telah menimbulkan efek samping negatif pada penghuni lapas.

Selain hal tersebut efek jera/penjeraan yang merupakan tujuan hukum pidana beraliran klasik juga tidak tercapai, terbukti meningkatnya residivis dan narapidana baru setiap tahun. Intinya asas TPTK tidak banyak membawa atau menghasilkan kemanfaatan maksimal untuk mencapai tujuan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan terutama bagi negara maupun bagi terpidana.

Asas hukum pidana klasik tiada pidana tanpa kesalahan sudah sepatutnya dipertimbangkan praktisi hukum juga dikritisi teoritisi hukum pidana. Dilengkapi dengan asas hukum tiada kesalahan tanpa kemanfaatan-ATKTK (Asas hukum pidana II).

Asas hukum -TKTK menjelaskan sekalipun perbuatan seseorang telah memenuhi unsur rumusan suatu tindak pidana, akan tetapi jika penjatuhan pidana (penjeraan) tidak dapat memenuhi tujuan kemanfaatan sosial melainkan hanya pada tujuan kepastian hukum semata, merupakan suatu kemudaratan.

Tidak memberikan efek jera apapun malah membawa penderitaan bagi pelaku dan keluarganya bahkan semakin. Jauh dari kemanfaatan baik bagi pelaku itu sendiri, masyarakat maupun bagi negara yang harus menanggung biaya tinggi dalam pengelolaan lapas. Berlandaskan pemikiran tersebut, kiranya asas hukum pidana yang baru,TKTK (tiada kesalahan tanpa kemanfaatan/no guilty without utility) perlu diwujudkan.

Perwujudan asas TKTK diharapkan setiap orang yang memiliki hak dan kewajiban asasi manusia memperoleh tempat yang layak dalam kehidupannya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan nilai HAM. Juga sejalan dengan tujuan hukum pidana, kepastian, keadilan dan kemanfaatan; dan prinsip efisiensi, keseimbangan dan maksimisasi-prinsip efisiensi secara ekonomi.
(poe)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1743 seconds (0.1#10.140)