4 Pendapat soal Kurban Hewan Iduladha, Denny JA: Biarkan Pandangan Itu Hidup
loading...
A
A
A
"Penulisnya menyebut hal itu hanya mimpi Ibrahim karena mengira mimpi itu perintah Tuhan. Sebagai manusia yang tunduk pada Tuhan, loyalitas Ibrahim mengalahkan cinta pada anak," tuturnya.
"Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal dan diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun-temurun kurban hewan untuk Tuhan," sambungnya.
Namun, Ali Muttaqi juga mengutip ayat Al-qur'an Surat Al-Hajj Ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Melalui surat itu, Ali Muttaqi menyatakan yang mencapai Allah bukan daging atau darah kurban namun ketakwaan. Muttaqi menganjurkan kurban hewan di Iduladha ditafsir ulang.
Pada zaman modern saat ini, dengan animal rights, kurban hewan massal dinilai tak lagi sesuai. Sebab, yang penting dalam kurban bukan hewannya namun sikap ketakwaan.
“Ini sikap ketiga: mempromosikan untuk tak lagi kurban hewan masif dalam rangka ritual agama. Alasannya diambil dari tafsir atas surat Al-Qur'an sendiri,” terang Denny JA.
Keempat, media Inggris, The Sun menulis artikel yang berjudul “Blood in the Street. Eid Al Adha animal sacrifice festival sees road turn red with blood as cow beheaded.” Dalam Bahasa Indonesia: “Darah di Jalan. Festival kurban hewan Iduladha jalan berubah merah dengan darah saat sapi dipenggal.”
Dalam berita tersebut, dilihat dari kacamata dunia modern non Islam, digambarkan bahwa anak-anak menyaksikan begitu banyak hewan meronta kesakitan dibunuh atas nama Tuhan.
“Ini sikap keempat: mengkritik kurban hewan di publik yang disaksikan anak-anak. Seraya mempertanyakan apakah kurban hewan secara masif itu higienis, sehat, dan masih tepat untuk zaman ini,” ungkap Denny JA.
Dia menilai pemerintah tidak perlu ikut campur dalam tafsir publik atas tiga sikap yang berbeda soal kurban hewan dan dibiarkan sebagai hak pemeluk menafsir agama.
"Tapi kemudian, pembunuhan atas anak sendiri batal dan diganti dengan kurban hewan. Itulah awal dari tradisi turun-temurun kurban hewan untuk Tuhan," sambungnya.
Namun, Ali Muttaqi juga mengutip ayat Al-qur'an Surat Al-Hajj Ayat 37: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah. Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Melalui surat itu, Ali Muttaqi menyatakan yang mencapai Allah bukan daging atau darah kurban namun ketakwaan. Muttaqi menganjurkan kurban hewan di Iduladha ditafsir ulang.
Pada zaman modern saat ini, dengan animal rights, kurban hewan massal dinilai tak lagi sesuai. Sebab, yang penting dalam kurban bukan hewannya namun sikap ketakwaan.
“Ini sikap ketiga: mempromosikan untuk tak lagi kurban hewan masif dalam rangka ritual agama. Alasannya diambil dari tafsir atas surat Al-Qur'an sendiri,” terang Denny JA.
Keempat, media Inggris, The Sun menulis artikel yang berjudul “Blood in the Street. Eid Al Adha animal sacrifice festival sees road turn red with blood as cow beheaded.” Dalam Bahasa Indonesia: “Darah di Jalan. Festival kurban hewan Iduladha jalan berubah merah dengan darah saat sapi dipenggal.”
Dalam berita tersebut, dilihat dari kacamata dunia modern non Islam, digambarkan bahwa anak-anak menyaksikan begitu banyak hewan meronta kesakitan dibunuh atas nama Tuhan.
“Ini sikap keempat: mengkritik kurban hewan di publik yang disaksikan anak-anak. Seraya mempertanyakan apakah kurban hewan secara masif itu higienis, sehat, dan masih tepat untuk zaman ini,” ungkap Denny JA.
Dia menilai pemerintah tidak perlu ikut campur dalam tafsir publik atas tiga sikap yang berbeda soal kurban hewan dan dibiarkan sebagai hak pemeluk menafsir agama.