Cegah Klaster Baru, Protokol Perkantoran Disarankan Sama dengan Pesawat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Angka positif Covid-19 terus melonjak setiap harinya. Satuan Tugas (Satgas) Penanggulangan Covid-19 menyebut bahwa area perkantoran menjadi salah satu sumber yang banyak ditemukan kasus positif.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena mengatakan, pihaknya sudah mengingatkan bahwa protokol kesehatan di perkantoran harus disamakan dengan transportasi umum. Sebab, perkantoran itu termasuk yang berisiko tinggi karena kondisi di ruangan tertutup dan banyak orang dalam waktu yang lama. Terlebih, untuk ruangan berpendingin udara yang sirkulasi udaranya terbatas, maka protokol kesehatannya harus jauh lebih ketat.
“Orang yang naik pesawat saja naiknya diperiksa, turunnya diperiksa. Kemudian juga diberlakukan juga penanganan yang relatif lebih ketat ketimbang kita di tempat yang terbuka. Sehingga, penanganan di perkantoran harus disamakan ketika kita naik kereta api yang ber-AC, naik pesawat, Transjakarta, dan lain sebagainya itu harus lebih ketat ya,” kata Melki saat dihubungi SINDOnews, Minggu (26/7/2020). (Baca juga: Bertambah 1.492, Kini Ada 98.778 Kasus Positif Covid-19 di Indonesia)
Kemudian, selama pegawai beraktivitas di dalam kantor, direksi atau manajemen kantor maupun gedung harus melakukan pengecekan terhadap orang-orang yang ada dalam kantor atau gedung secara berkala. Seperti misalnya pengecekan suhu badan beberapa kali dalam sehari, dilihat jika ada orang yang bersin ataupun batuk yang sering dalam jam kerja itu. Itu semua dilakukan oleh petugas khusus yang akan berkeliling kantor.
“Semestinya harus ada petugas yang khusus, kalau kita bicara satpam kan untuk keamanan kan? nah semacam petugas untuk melihat pekerja ada yang terkena Covid atau tidak di ruangan tersebut,” ujarnya. (Baca juga: Butuh Rp30 Triliun untuk Pengadaan Vaksin Covid-19)
Politikus Golkar ini melanjutkan, pegawai kantor juga semestinya rutin dilakukan pemeriksaan kesehatan. Misalnya, ada dokter yang dipanggil khusus seminggu sekali untuk mengecek secara rutin dan acak kondisi orang dalam kantor tersebut.
Karena, orang dalam kantor itu bertemu dengan orang yang sama selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tentu semuanya harus diawasi oleh tenaga kesehatan dan juga dites menggunakan rapid test.
Meskipun rapid test kurang akurat, sambung dia, setidaknya bisa digunakan untuk menyisir orang yang reaktif untuk kemudian dilakukan swab test PCR. Karena tidak mungkin juga dilakukan swab test lebih sering karena harganya mahal.
“Kalau ditest di ruangan itu ada yang kena maka semua yang di ruangan itu potensial kena. Jadi tidak harus semua, diacak, diambil misalnya satu ruangan 10 orang diambil 1-2 saja untuk mengecek sampel yang ada di dalam ruangan tersebut aman atau enggak,” terang Melki.
Selain itu, legislator dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menambahkan, jam kerja dibuat shifting dan lebih longgar agar tidak ada penumpukan orang di kantor.
“Jam kerja juga harus dibikin lebih longgar, misalnya ada 20 orang, dikurangi menjadi 10 orang menjadi 2 shift. Intinya jaga jaraknya, protokol kesehatan, masker, cuci tangan,” tandasnya.
Wakil Ketua Komisi IX DPR Melkiades Laka Lena mengatakan, pihaknya sudah mengingatkan bahwa protokol kesehatan di perkantoran harus disamakan dengan transportasi umum. Sebab, perkantoran itu termasuk yang berisiko tinggi karena kondisi di ruangan tertutup dan banyak orang dalam waktu yang lama. Terlebih, untuk ruangan berpendingin udara yang sirkulasi udaranya terbatas, maka protokol kesehatannya harus jauh lebih ketat.
“Orang yang naik pesawat saja naiknya diperiksa, turunnya diperiksa. Kemudian juga diberlakukan juga penanganan yang relatif lebih ketat ketimbang kita di tempat yang terbuka. Sehingga, penanganan di perkantoran harus disamakan ketika kita naik kereta api yang ber-AC, naik pesawat, Transjakarta, dan lain sebagainya itu harus lebih ketat ya,” kata Melki saat dihubungi SINDOnews, Minggu (26/7/2020). (Baca juga: Bertambah 1.492, Kini Ada 98.778 Kasus Positif Covid-19 di Indonesia)
Kemudian, selama pegawai beraktivitas di dalam kantor, direksi atau manajemen kantor maupun gedung harus melakukan pengecekan terhadap orang-orang yang ada dalam kantor atau gedung secara berkala. Seperti misalnya pengecekan suhu badan beberapa kali dalam sehari, dilihat jika ada orang yang bersin ataupun batuk yang sering dalam jam kerja itu. Itu semua dilakukan oleh petugas khusus yang akan berkeliling kantor.
“Semestinya harus ada petugas yang khusus, kalau kita bicara satpam kan untuk keamanan kan? nah semacam petugas untuk melihat pekerja ada yang terkena Covid atau tidak di ruangan tersebut,” ujarnya. (Baca juga: Butuh Rp30 Triliun untuk Pengadaan Vaksin Covid-19)
Politikus Golkar ini melanjutkan, pegawai kantor juga semestinya rutin dilakukan pemeriksaan kesehatan. Misalnya, ada dokter yang dipanggil khusus seminggu sekali untuk mengecek secara rutin dan acak kondisi orang dalam kantor tersebut.
Karena, orang dalam kantor itu bertemu dengan orang yang sama selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, tentu semuanya harus diawasi oleh tenaga kesehatan dan juga dites menggunakan rapid test.
Meskipun rapid test kurang akurat, sambung dia, setidaknya bisa digunakan untuk menyisir orang yang reaktif untuk kemudian dilakukan swab test PCR. Karena tidak mungkin juga dilakukan swab test lebih sering karena harganya mahal.
“Kalau ditest di ruangan itu ada yang kena maka semua yang di ruangan itu potensial kena. Jadi tidak harus semua, diacak, diambil misalnya satu ruangan 10 orang diambil 1-2 saja untuk mengecek sampel yang ada di dalam ruangan tersebut aman atau enggak,” terang Melki.
Selain itu, legislator dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) ini menambahkan, jam kerja dibuat shifting dan lebih longgar agar tidak ada penumpukan orang di kantor.
“Jam kerja juga harus dibikin lebih longgar, misalnya ada 20 orang, dikurangi menjadi 10 orang menjadi 2 shift. Intinya jaga jaraknya, protokol kesehatan, masker, cuci tangan,” tandasnya.
(nbs)