Perppu 1/2020 Digugat, Ini Penilaian Mantan Hakim MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas), aktivis, dan tokoh nasional mengajukan gugatan uji materiil terkait Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan menilai beberapa permohonan uji materiil atau judicial review atas Perppu 1/2020 itu sesungguhnya tidak tepat. Ia pun mengkritik adanya tudingan bahwa beleid tersebut sebagai bentuk kesewenangan Presiden Joko Widodo.
"Langkah untuk mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945. Kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemi global terjadi di negara-negara besar dan tergolong maju berdasarkan hukum dan konstitusi yang demokratis," kata Maruarar kepada SINDOnews, Rabu (29/4/2020).
Hakim Konstitusi periode 2003-2006 itu juga berpendapat, memang perlu instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat, dan negara, sehingga membutuhkan langkah cepat dan keras. Karena itu, keberadaan Perppu 1/2020 menurutnya memang diperlukan dalam kondisi negara saat ini yang membutuhkan penanganan tak biasa. ( ).
“Pandemi Covid-19 bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, angka kematian yang tinggi, dan belum ada obat yang dapat mengatasinya,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1967 tersebut.
Karena itu, Maruarar mengatakan perlu banyak langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan. Apalagi, pandemi virus corona telah mengakibatkan dampak ekonomi dan keuangan, sosial, bahkan politik.
Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, telah memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Eks Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara itu merujuk pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar mengenai ikhwal kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. ( ).
Dasar berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan menilai beberapa permohonan uji materiil atau judicial review atas Perppu 1/2020 itu sesungguhnya tidak tepat. Ia pun mengkritik adanya tudingan bahwa beleid tersebut sebagai bentuk kesewenangan Presiden Joko Widodo.
"Langkah untuk mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 merupakan kewenangan Presiden yang sah dalam UUD 1945. Kewenangan yang diberikan secara konstitusional tersebut berdasarkan pandangan subjektif seorang Presiden, sesungguhnya telah diobjektivisir dengan melihat kondisi pandemi global terjadi di negara-negara besar dan tergolong maju berdasarkan hukum dan konstitusi yang demokratis," kata Maruarar kepada SINDOnews, Rabu (29/4/2020).
Hakim Konstitusi periode 2003-2006 itu juga berpendapat, memang perlu instrumen mengatasi krisis jenis tertentu yang mengancam wilayah, masyarakat, dan negara, sehingga membutuhkan langkah cepat dan keras. Karena itu, keberadaan Perppu 1/2020 menurutnya memang diperlukan dalam kondisi negara saat ini yang membutuhkan penanganan tak biasa. ( ).
“Pandemi Covid-19 bukanlah hal yang biasa atau kondisi normal. Tidak perlu pembuktian lagi tentang hal itu dengan sifatnya yang meliputi dunia, angka kematian yang tinggi, dan belum ada obat yang dapat mengatasinya,” ujar lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1967 tersebut.
Karena itu, Maruarar mengatakan perlu banyak langkah yang dapat dilakukan untuk pencegahan. Apalagi, pandemi virus corona telah mengakibatkan dampak ekonomi dan keuangan, sosial, bahkan politik.
Semua hal itu membutuhkan langkah cepat dan pengerahan keuangan negara, yang harus diberi landasan hukum yang baru sesuai dengan kondisi yang dihadapi. Kondisi yang terjadi sekarang, telah memenuhi bunyi Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menyebut bahwa dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Eks Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara itu merujuk pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 sebagai dasar mengenai ikhwal kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. ( ).
Dasar berikutnya, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai. Terakhir, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan.
(zik)