Memborong Alutsista, Indonesia dalam Ancaman Perang?
loading...
A
A
A
Berdasar citra satelit pula, diketahui keberadaan struktur serupa dengan atap yang dapat dibuka terdeteksi di terumbu Subi, Mischief, dan Fiery Cross yang merupakan bagian dari Kepulauan Spratly. Di pangkalan-pangkalan itu pulalah, China menimbun berbagai alutsista strategis, mulai dari kapal induk, kapal selam, destroyer, hingga pesawat tempur yang belakangan masif dibangun negeri tersebut.
Masih di wilayah LCS, China juga dilaporkan telah membangun kota seluas 800.000 mil persegi di Kepulauan Paracel. Kota yang dinamai Shansa itu memiliki luas 1.700 kali wilayah New York City. Di kota itu, China sudah membuat beberapa fasilitas kelas kota yang memiliki fasilitas seperti desalinasi air laut dan fasilitas pengolahan limbah, perumahan publik baru, sistem peradilan yang berfungsi, jangkauan jaringan 5G, sekolah, dan penerbangan charter reguler.
Dari sisi lain, negeri Paman Sam telah membentuk Aukus bersama Inggris dan Australia. Kehadiran aliansi yang diarahkan untuk mengimbangi kekuatan China sudah barang tentu kian memanaskan konflik di Indo-Pasifik. Apalagi melalui aliansi ini, AS membantu Australia membuat kapal selam bertenaga nuklir.
Selain melalui Aukus, militer AS juga memperluas jejaringnya dengan membuat pangkalan baru yang dekat dengan Indo-Pasifik, tepatnya di Papua Nugini. Melalui kesepakatan yang telah dibuat dengan negara yang berbatasan darat langsung dengan Papua tersebut, AS dapat menempatkan tentara dan kapal perangnya dengan akses tanpa batas di enam pelabuhan dan bandar udara penting, termasuk Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus dan sejumlah fasilitas lain di ibu kota, Port Moresby.
Walaupun belum pecah menjadi perang, intensitas gesekan militer China versus AS dan sekutunya kian terasa. Apalagi sejak China memberlakukan hukum maritim terbarunya di LCS. Sejak 1 September, China memberlakukan aturan identifikasi maritim, yakni meminta setiap kapal khusus melaporkan posisinya ketika memasuki perairan yang diklaim. AS misalnya telah mengirim kapal induk USS Ronald Reagan dan beberapa armada tempur. Dengan dalih untuk menjamin kebebasan navigasi, Inggris juga telah mengerahkah HMS Spey and HMS Tamar untuk melakukan patrol di sana.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan baik China maupun AS telah menggerakkan bidak-bidak militer untuk saling berhadap-hadapan di kawasan Indo-Pasifik.
Kepala Komando Mobilitas Udara AS, Jenderal Mike Minihan melalui memo dinas yang terungkap ke publik memprediksi perang kedua negara raksasa akan pecah pada 2025. Perang dipicu pemilihan presiden Taiwan pada 2024. Walaupun berfokus di selat Taiwan, dampaknya juga pasti akan terasa hingga Indo-Pasifik.
Pembelian alutsista ternyata juga bukan sekadar formalitas mengejar target MEF III, tapi juga diproyeksikan sebagai bagian rencana besar pertahanan nasional untuk 25 tahun ke depan. Dengan proyeksi ini, Indonesia akan memiliki sistem pertahanan mumpuni yang mampu menaungi seluruh wilayah kedaulatan NKRI, dengan berbagai alutsista yang canggih dan gahar.
Seperti apa proyeksi dimaksud? Dalam YouTube "Dialog Kebangsaan Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebhinekaan" yang digelar Sespim Lemdiklat Polri pada 16 Juni, Prabowo memaparkan sistem pertahanan yang akan dibangun Indonesia dikonsepsikan sebagai Perisai Trisula Nusantara. Perisai tersebut terbagi dalam tiga matra kekuatan, yakni Perisai Samudera Nusantara, Perisai Darat Nusantara, dan Perisai Dirga Nusantara.
Pada tiap perisai akan dilengkapi berbagai macam alutsista. Untuk Perisai Samudera Nusantara, misalnya, akan dilengkapi dengan 12 Fregat Merah Putih yang dibekali surface to air missile (SAM) yang memiliki jangkauan hingga 120 km, surface to surface missile (SSM) 180 km, kapal cepat rudal atau KCR (14 unit).
Masih di wilayah LCS, China juga dilaporkan telah membangun kota seluas 800.000 mil persegi di Kepulauan Paracel. Kota yang dinamai Shansa itu memiliki luas 1.700 kali wilayah New York City. Di kota itu, China sudah membuat beberapa fasilitas kelas kota yang memiliki fasilitas seperti desalinasi air laut dan fasilitas pengolahan limbah, perumahan publik baru, sistem peradilan yang berfungsi, jangkauan jaringan 5G, sekolah, dan penerbangan charter reguler.
Dari sisi lain, negeri Paman Sam telah membentuk Aukus bersama Inggris dan Australia. Kehadiran aliansi yang diarahkan untuk mengimbangi kekuatan China sudah barang tentu kian memanaskan konflik di Indo-Pasifik. Apalagi melalui aliansi ini, AS membantu Australia membuat kapal selam bertenaga nuklir.
Selain melalui Aukus, militer AS juga memperluas jejaringnya dengan membuat pangkalan baru yang dekat dengan Indo-Pasifik, tepatnya di Papua Nugini. Melalui kesepakatan yang telah dibuat dengan negara yang berbatasan darat langsung dengan Papua tersebut, AS dapat menempatkan tentara dan kapal perangnya dengan akses tanpa batas di enam pelabuhan dan bandar udara penting, termasuk Pangkalan Angkatan Laut Lombrum di Pulau Manus dan sejumlah fasilitas lain di ibu kota, Port Moresby.
Walaupun belum pecah menjadi perang, intensitas gesekan militer China versus AS dan sekutunya kian terasa. Apalagi sejak China memberlakukan hukum maritim terbarunya di LCS. Sejak 1 September, China memberlakukan aturan identifikasi maritim, yakni meminta setiap kapal khusus melaporkan posisinya ketika memasuki perairan yang diklaim. AS misalnya telah mengirim kapal induk USS Ronald Reagan dan beberapa armada tempur. Dengan dalih untuk menjamin kebebasan navigasi, Inggris juga telah mengerahkah HMS Spey and HMS Tamar untuk melakukan patrol di sana.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan baik China maupun AS telah menggerakkan bidak-bidak militer untuk saling berhadap-hadapan di kawasan Indo-Pasifik.
Kepala Komando Mobilitas Udara AS, Jenderal Mike Minihan melalui memo dinas yang terungkap ke publik memprediksi perang kedua negara raksasa akan pecah pada 2025. Perang dipicu pemilihan presiden Taiwan pada 2024. Walaupun berfokus di selat Taiwan, dampaknya juga pasti akan terasa hingga Indo-Pasifik.
Perisai Trisula Nusantara
Melihat dinamika yang terjadi di Indo-Pasifik, terutama pergerakan China vis a vis AS, ancaman yang terjadi sangat lah nyata dan harus diantisipasi serius. Langkah cepat Prabowo memborong alutsista, baik impor bekas, baru, atau pun produk industri pertahanan domestik, sebagai langkah tepat untuk menghadirkan daya gentar agar Indonesia tetap aman dan damai.Pembelian alutsista ternyata juga bukan sekadar formalitas mengejar target MEF III, tapi juga diproyeksikan sebagai bagian rencana besar pertahanan nasional untuk 25 tahun ke depan. Dengan proyeksi ini, Indonesia akan memiliki sistem pertahanan mumpuni yang mampu menaungi seluruh wilayah kedaulatan NKRI, dengan berbagai alutsista yang canggih dan gahar.
Seperti apa proyeksi dimaksud? Dalam YouTube "Dialog Kebangsaan Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa dalam Kebhinekaan" yang digelar Sespim Lemdiklat Polri pada 16 Juni, Prabowo memaparkan sistem pertahanan yang akan dibangun Indonesia dikonsepsikan sebagai Perisai Trisula Nusantara. Perisai tersebut terbagi dalam tiga matra kekuatan, yakni Perisai Samudera Nusantara, Perisai Darat Nusantara, dan Perisai Dirga Nusantara.
Pada tiap perisai akan dilengkapi berbagai macam alutsista. Untuk Perisai Samudera Nusantara, misalnya, akan dilengkapi dengan 12 Fregat Merah Putih yang dibekali surface to air missile (SAM) yang memiliki jangkauan hingga 120 km, surface to surface missile (SSM) 180 km, kapal cepat rudal atau KCR (14 unit).